PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI

PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI
TABIB BERIJIN RESMI, HERBAL 100% ALAMI, AMAN SUDAH IJIN B-POM DAN HALAL MUI, PENGOBATAN MENGGUNAKAN HERBAL YANG SUDAH DIPERKAYA DENGAN RUQYAH ISLAMI YANG SYAR'I. HARGA TERJANGKAU. INFO LENGKAP KLIK PADA GAMBAR. SMS/WA TABIB UNTUK KONSULTASI DAN PEMESANAN OBAT DI: 08121341710 ATAU 0811156812

Wednesday, October 12, 2016

Pendapat dan kaidah yang global adalah sebab terjadinya bid’ah, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi

Lafadz global adalah lafadz yang mempunyai beberapa makna, sebagian benar dan sebagian yang lain bathil.

Orang yang memperhatikan sejarah umat, maka dia akan mendapati bahwa termasuk ciri ahli bid’ah adalah membawa lafadz-lafadz global yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, kemudian dijadikan sebagai panduan yang harus diikuti, sebagai jalan untuk membatalkan apa yang ditunjukan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah, seperti lafadz jism (jasad renik), lafadz hayyiz (tempat), dan perkataan mereka, ” ’Aradl itu hanya ada pada jism (jasad renik), sedangkan jism itu serupa satu sama lainnya.”

Orang yang pertama kali berbicara tentang jism dalam rangka meniadakan atau menetapkan lafadz tersebut adalah Hisyam bin Al-Hakam seorang syi’ah rafidlah., “Seorang mufti selayaknya berfatwa sesuai dengan lafadz nash walaupun mampu (menggunakan lafadz lainnya) karena lafadz itu mengandung hukum dan dalil disertai penjelasan yang sempurna, hukum yang terkandung didalamnya kebenaran serta dalil dalam bentuk penjelasan yang sangat bagus, tidak sesuai dengan perkataan ahli fiqih tersebut, padahal para sahabat, tabi’in dan para ulama yang menapaki jejak mereka senantiasa menyeleksinya dengan sangat hati-hati. Kemudian datanglah generasi setelah mereka yang tidak menyukai nash (dalil) dan membuat-buat lafadz-lafadz yang tidak ada dalam nash yang berakibat ditinggalkannya nash tersebut.”

Dan sudah maklum bahwa lafadz-lafadz itu tidak akan menyamai lafadz-lafadz nash yang mengandung hukum, dalil dan penjelasan yang sempurna, sehingga berapa banyak kerusakan yang dihasilkan karena mengisolir lafadz nash dan mengambil lafadz-lafadz baru serta mengaitkan hukum dengan lafadz tersebut, hanya Allah saja yang mengetahui. Jadi lafadz-lafadz nash itu terjaga, merupakan hujjah dan bersih dari kesalahan, pertentangan, kesamaran dan keguncangan.

Perselisihan adalah perkara yang telah ditaqdirkan

Tidak ragu lagi bahwa Allah I telah mentaqdirkan dan menghendaki adanya perselisihan sebagaimana firman Allah I,

وَلاَ يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ إِلّاَ مَن رَّحِمَ رَبُّكَ...

“Dan mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu….” (QS Huud : 118-119).

Sebagaimana Nabi r bersabda, “…sesungguhnya orang yang hidup (setelahku) nanti akan melihat perselisihan yang banyak….”

Juga sabda beliau r, “Umatku akan berpecah menjadi 73 golongan….”

Sebagian orang jahil berdalil dengan dalil-dalil tersebut wajibnya tunduk dan pasrah pada perpecahan, alasannya bahwa Allah I sudah menghendakinya. Orang ini tidak bisa membedakan antara kehendak Allah I yang bersifat kauniyyah dan kehendak Allah I yang bersifat syar’iyyah.

Perpecahan itu termasuk kehendak kauniyyah Allah I yang mempunyai hikmah yang agung, sehingga menjadi beda antara pengikut sunnah (muttabi’) dengan ahli bid’ah, dan para pengikut sunnah itu pun memerangi ahli bid’ah dengan menggunakan hujjah dan keterangan.

Perselisihan itu sama dengan kekufuran dari sudut kehendak kauniyyah Allah I, Allah I menghendaki adanya kekufuran secara taqdir tetapi Allah I tidak mencintainya.

Abu Muhammad bin Hazm berkata, ”Allah I telah menyatakan bahwa perselisihan itu bukan dari sisi Allah I, maknanya adalah bahwa Allah I tidak meridloinya, tapi Allah I hanya menghendakinya secara kauniyyah sebagaimana Allah I menghendaki adanya kufur dan seluruh kemaksiatan.”

Seorang muslim tidak boleh rela kepada kekufuran demikian pula tidak boleh rela kepada perpecahan.

Perselisihan ini tidak hanya terjadi antara ahlus sunnah dan ahli bid’ah saja tapi terjadi pula pada sesama ahlus sunnah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, ”Pastilah kelompok-kelompok yang menisbatkan kepada sunnah berselisih, tetapi pasti pula diantara mereka ada yang berpegang teguh dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagaimana pasti terjadi perselisihan dalam tubuh kaum muslimin, tetapi akan senantiasa ada kelompok yang tegak diatas al-haq, tidak akan dirugikan oleh orang-orang yang menentang dan mencemoohkan mereka sampai hari kiamat berdiri.”

Perselisihan adalah ciri khas ahli bid’ah

Allah Ta’ala berfirman :

مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ وَكَانُوا شِيَعًا

“Yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan.” (Ar-Ruum : 32)

Al-Baghawy menafsirkan, ”Mereka adalah ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu.” Ibnul Mubarak berkata, ”Ahlul haq tidak akan berselisih.”

Kata Asy-Syathiby, ”Perpecahan adalah sifat paling jelek dari ahli bid’ah.”

Syaikhul Islam berkata, ”Bid’ah itu selalu diiringi perpecahan sebagaimana sunnah diiringi oleh persatuan (jama’ah), sehingga dikatakan ahlus sunnah wal jama’ah sebagaimana dikatakan ahli bid’ah dan perpecahan (furqah).”

Berkata Abul Mudloffar As-Sam’aniy, ”Diantara hal yang menunjukkan bahwa ahli hadits adalah ahlul haq. Jika anda membaca buku-buku tulisan mereka dari awal sampai akhir, yang dahulu maupun sekarang, walaupun negeri dan zaman mereka berbeda dan berjauhan, kamu dapati mereka semua di atas satu garis dalam menerangkan aqidah, berjalan diatas satu metode tidak menyimpang dari jalan itu, pendapat dan nukilan mereka satu, anda tidak mendapati mereka berselisih dalam masalah sekecil apapun, bahkan jika anda kumpulkan seluruh pendapat mereka dan apa yang mereka nukil dari salaf, anda dapati seakan-akan berasal dari satu hati dan satu kata. Adakah dalil yang menunjukkan kepada kebenaran lebih terang dari hal ini ?!”

Adapun ahli bid’ah dan hawa nafsu anda lihat mereka senantiasa berpecah dan berselisih menjadi beberapa kelompok, hampir tidak anda dapati dua orang dari mereka berada diatas satu metode dalam aqidah sebagian mereka saling membid’ahkan kelompok lainnya bahkan mengkafirkannya, seorang anak mengkafirkan bapaknya, saudara mengkafirkan saudaranya, tetangga mengkafirkan tetangganya, mereka terus menerus berselisih, dan saling bermusuhan, umur mereka habis sementara kalimat mereka tidak pernah bersatu.

تَحْسَبُهُمْ جَمِيعًا وَقُلُوبُهُمْ شَتَّى ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ قَوْمٌ لاَ يَعْقِلُونَ

“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka berpecah belah. Yang demikian itu karena sesungguhnya mereka adalah kaum yang tiada mengerti.” (Al-Hasyr : 14).

Perselisihan adalah akibat dosa

Nabi r bersabda, “Bagaimana menurutmu wahai Abdullah, jika kamu berada ditengah tengah manusia rusak yang sudah tidak menepati janji dan tidak menjaga amanat, mereka berselisih sehingga menjadi seperti ini ?! beliaupun menyilangkan jari jemarinya.”

Dari Anas secara marfu’, “Tidaklah ada dua orang yang saling mencintai karena Allah kemudian berpisah kecuali disebabkan dosa yang dilakukan oleh salah seorang dari mereka.”

Qatadah berkata, “Yang berhak mendapat rahmat Allah adalah ahli jama’ah walaupun badan dan negeri mereka berjauhan, dan ahli kemaksiatan adalah ahli perpecahan walaupun badan dan rumah mereka bersatu.”

Syaikhul Islam berkomentar tentang pengaruh dosa terhadap perpecahan, ”Oleh karena itu para sahabat masih diatas hanifiyah (kelurusan) pada zaman rasulullah r, demikian pula pada zaman Abu Bakar keadaan mereka lebih baik dari zaman Umar, kemudian ketika zaman Umar sebagian mereka jatuh kedalam dosa sehingga Umar harus menjatuhkan hukuman yang cukup keras dengan ijtihad beliau, seperti melarang mereka untuk haji tamattu, menjatuhkan talaq tiga dalam satu kalimat sebagai talaq ba’in dan menambah jumlah pukulan bagi peminum arak. Adapun orang yang ta’at kepada Allah dan zuhud seperti Abu ‘Ubaidah diperlakukan oleh umar dengan hormat.”

Terkadang tersembunyi dari mereka beberapa permasalahan ilmu waris dan lainnya sehingga mereka berselisih tapi tetap saling mencintai dan berkasih sayang, setiap mereka menghormati ijtihad saudaranya.

Ketika di akhir masa khilafah Utsman t, perubahan serta mengumpulkan dunia semakin bertambah serta terjadi perbuatan-perbuatan yang tidak pernah ada pada zaman Umar t, maka timbullah perselisihan sampai akhirnya Utsman terbunuh, merekapun tertimpa fitnah yang besar, Allah I berfirman :

وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لا تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاصَّة

“Dan takutlah suatu fitnah yang tidak hanya menimpa orang-orang zalim diantara kalian saja... .” (Al-Anfaal : 52).

Maksudnya adalah adzab yang tidak hanya menimpa orang zalim saja tapi juga menimpa orang yang diam dari kemungkaran sebagaimana sabda Nabi r, ”Sesungguhnya manusia jika melihat kemungkaran lantas tidak merubahnya, Allah pasti akan mengumpulkan mereka semua dengan adzab-Nya.”

Hal ini adalah penyebab terhalangnya mereka dari kebaikan yang banyak, mereka pun berselisih tentang hukum haji tamattu’ sesuatu yang tidak pernah terjadi pada zaman Umar, sebagian mereka melarang haji tamattu’ secara mutlak seperti Ibnu Zubair, sebagian lagi melarang fasakh seperti bani umayyah dan mayoritas manusia, serta menghukum orang yang berhaji tamattu. Sebagian lainnya mewajibkan tamattu’ dan mereka semua tidak bermaksud untuk menyalahi Rasul tapi ilmulah yang tersembunyi dari mereka.

Penyebab semua ini adalah dosa, sebagaimana Nabi r bersabda, “Aku keluar untuk mengabari kalian tentang lailatul qadar, tapi ternyata ada dua orang yang saling mencaci sehingga kabar itu diangkat, mudah-mudahan hal itu menjadi kebaikan buat kalian. ”

Itu adalah perkataaan beliau (Ibnu Taimiyah) tentang generasi terbaik, bagaimana jadinya dengan zaman kita ini ?

Perpecahan itu jahat

Ahlus sunnah mengambil kaidah dari Al-Qur’an dan As-Sunnah sehingga kaidah mereka selalu sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sedangkan ahli bid’ah kebalikanya, mereka mencetuskan kaidah terlebih dahulu baru melihat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu anda dapati mereka merubah-rubah nash, mentakwil dan menempatkannya pada tempat yang tidak diinginkan oleh Allah dan Rasul-Nya yang membuat seorang muslim sejati terkejut. Inilah perbuatan orang yang berkeyakinan dulu baru mencari dalil, pasti jatuh tergelincir dan menyimpang, karena boleh jadi nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah) menyalahi kaidah tersebut.

Jika kita kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah serta pendapat para sahabat, kita dapati semuanya menunjukkan bahwa perpecahan itu jahat, Allah I berfirman :

وَلاَ يَزَالُوْنَ مُخْتَلِفِيْنَ إِلاَّ مَن رَّحِمَ رَبُّكَ

“Dan mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu...” (QS Huud : 118-119).

Umar bin Abdul ’Aziz berkata, “Allah I menciptakan ahli rahmat-Nya supaya mereka tidak berselisih.”

Kata Abu Muhamad bin Hazm, “Allah I mengecualikan orang yang Dia rahmati dari jumlah manusia yang berselisih, Dia mengeluarkan orang-orang yang dirahmati tersebut dari perselisihan.”

Asy-Syathiby berkata, “Sesungguhnya ayat itu menunjukkan bahwa ahli perselisihan berbeda dengan ahli rahmat, berdasarkan firman Allah I “Mereka senantiasa berselisih kecuali orang yang dirahmati oleh Tuhanmu.” Ayat ini mambagi manusia menjadi dua bagian : Ahli ikhtilaf (perselisihan) dan orang-orang yang dirahmati.

Zhahir pembagian ini menunjukkan bahwa ahli rahmat bukanlah termasuk ahli ikhtilaf, karena jika tidak demikian berarti merupakan bagian dari yang lain, sehingga pengecualian dalam ayat itu tidak lurus maknanya.”

Ibnu Wahb berkata, saya mendengar Imam Malik berkata, ”Orang yang Allah I Rahmati tidak akan berselisih.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, Allah I berfirman:

وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ، إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ وَلِذَلِكَ خَلَقَهُمْ

“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka.“ (Al-Huud : 118-119)

Allah I mengabarkan bahwa ahli rahmat tidak akan berselisih dan ahli rahmat adalah para pengikut Nabi r baik perkataan maupun perbuatan, mereka adalah ahlul qur’an dan hadits dari umat ini, barangsiapa yang menyalahi mereka akan kehilangan rahmat sesuai dengan kadar penyimpangannya.”

Beliau berkata lagi, ”Allah I menciptakan suatu kaum untuk berselisih dan menciptakan kaum lainnya untuk dirahmati.”

Ibnu Abil ’Izz Al-Hanafy berkata, ”Allah I mengecualikan ahli rahmat-Nya dari perselisihan.”

Allah I berfirman :

وَلاَ تَكُوْنُوا كَالَّذِيْنَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوْا مِن بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ البَيِّنَاتِ وَأُوْلَئِكَ لَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ

“Dan janganlah kalian menjadi seperti orang yang berpecah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan dan bagi mereka adzab yang pedih.” (QS Ali Imran : 105).

Al-Muzaniy berkata, “Allah I mencela perselisihan dan memerintahkan untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah ketika terjadi perselisihan, kalaulah perselisihan itu berasal dari agama-Nya tentu Allah I tidak akan mencelanya, kalaulah perselisihan itu berasal dari hukum-Nya tentu Allah I tidak akan menyuruh untuk kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah ketika terjadi perselisihan.”

Abu Tsa’labah Al-Khusyany berkata, “Orang-orang berhenti disuatu tempat, mereka berpencar dilembah dan jalan perbukitan, maka Nabi r bersabda, ‘Sesungguhnya berpencarnya kalian dilembah dan jalan perbukitan berasal dari syetan.’ Setelah itu mereka pun berkumpul disetiap kali berhenti di suatu tempat.”

Lihatlah bagaimana Nabi r menisbatkan kepada syetan berpencarnya para sahabat secara zhahir walaupun hati mereka bersatu padu sebagaimana disifati oleh Allah : وألف بين قلوبهم “dan (Dia) mempersatukan hati kalian.” (Al-Anfaal : 36) dan penisbatan perbuatan itu kepada syetan sudah cukup buruk karena syetan hanya menyuruh kepada perbuatan keji dan mungkar.

Bagaimana jadinya jika perselisihan itu lebih besar dari berpencarnya tempat ? seperti perselisihan dalam masalah aqidah, masalah ilmiyah dan amaliyah …

Ibnu Mas’ud t berkata, ”Perselisihan itu jahat.”

Kata Ali bin Abi Thalib t, ”Putuskanlah sesuatu sesuai dengan keputusan terdahulu, karena aku tidak suka perselisihan, hingga manusia menjadi satu jama’ah atau aku mati sebagaimana para sahabatku mati.”

Perkataan Ali bin Abi Thalib t ini adalah tentang masalah hukum menjual budak wanita yang mempunyai anak dari majikannya (ummul walad), tadinya beliau sependapat dengan Umar akan haramnya menjual budak wanita tersebut, tapi kemudian beliau memperbolehkannya sebagaimana tertera dalam riwayat Hammad bin Zaid dari Ayyub.

Perkataan Ali bin Abi Thalib t “Aku tidak suka perselisihan” tentang perkara menjual ummul walad adalah dalam masalah yang dalil-dalilnya sama kuat tentang boleh atau haramnya menjual ummul walad, bagaimana jadinya jika masalah tersebut tidak ada dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tapi hanya berasal dari hawa nafsu sesat yang sekarang dijadikan oleh golongan-golongan hizbiyyah sebagai kaidah dan diikuti serta dijadikan panduan oleh pengikutnya ??!

Abu Ja’far Ath-Thahawy berkata, ”Dan kami melihat jama’ah itu benar dan haq, sedangkan perpecahan itu sesat dan adzab.”

Kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, “Sesungguhnya jama’ah itu adalah rahmat sedangkan perpecahan itu adalah adzab.”

Martabat hadits, ”Perselisihan umatku adalah rahmat”.

Hadits ini sanad dan matannya dla’if, tidak terdapat dalam kitab-kitab hadits dengan lafadz seperti ini, yang masyhur adalah hadits, ”Perselisihan sahabatku adalah rahmat.” Disebutkan oleh sebagian ahli ushul fiqih seperti Ibnul Hajib dalam ringkasan beliau tentang ushul fiqih.

As-Subkiy berkata, ”(Hadits ini) tidak dikenal oleh para pakar hadits, dan saya tidak menemukan sanadnya yang sahih, atau dlai’if tidak pula sanad yang maudlu’.”

Abu Muhammad bin Hazm berkata, ”Hadits tersebut adalah hadits bathil dan palsu yang dibuat oleh orang fasiq”.

Al-Qasimiy mengkritik hadits ini dari sudut matan dan sanadnya, kata beliau, ”Sebagian ahli tafsir menyebutkan riwayat hadits, ”Perselisihan umatku adalah rahmat.” Padahal tidak ada sanadnya yang sahih. Ath-Thabrany dan Al-Baihaqy dalam kitabnya Al-Madkhal meriwayatkan hadits tersebut dengan sanad lemah dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’.

Sebagian ahli tahqiq menyatakan, ”Hadits itu bertentangan dengan nash-nash Al-Qur’an dan hadits seperti firman Allah :

وَلاَ يَزَالُونَ مُخْتَلِفِينَ، إِلاَّ مَنْ رَحِمَ رَبُّكَ

“Tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat. Kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu.“ (Al-Huud : 118-119)

Dan sabda Nabi r, ”Janganlah kalian berselisih maka hati kalianpun akan berselisih”. Dan banyak hadits lainnya yang menunjukkan secara yakin bahwa persatuan itu lebih baik dari perselisihan.”

Hadits yang diisyaratkan oleh Al-Qasimiy tadi diriwayatkan oleh Al-Baihaqy dalam kitab Al-Madkhal tapi sanadnya sangat lemah karena didalamnya ada tiga cacat yaitu :

Pertama : Sulaiman bin Abi Karimah dilemahkan oleh Abu Hatim.

Kedua : Juwaibir haditsnya matruk sebagaimana dikatakan oleh An-Nasa’iy dan Ad-Daraquthny. Juwaibir meriwayatkan dari Adl-Dlahhak hadits-hadits palsu sedangkan hadits tersebut termasuk riwayat dia dari Adl-Dlahhak.

Ketiga : Sanadnya terputus antara Adl-Dlahhak dan Ibnu ‘Abbas.

Yang jelas, tidak ada satupun dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa perselisihan itu rahmat.

Al-’Allamah Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albany berkata, ”Ringkasnya bahwa perselisihan itu tercela dalam syari’at ini, justru yang wajib adalah melepaskan diri darinya semampu mungkin karena perselisihan itu sebab lemahnya umat ini sebagaimana firman Allah, ولا تنازعوا فتفشلوا وتذهب ريحكم “dan janganlah kalian berselisih yang menyebabkan kalian menjadi gentar dan hilang kekuatanmu.”

Saya hanya bisa mengatakan, ”Apabila perselisihan umat ini adalah rahmat, apakah persatuannya adalah adzab ?!”

Adapun rela terhadap perselisihan bahkan menyebutnya sebagai rahmat jelas menyalahi ayat-ayat yang begitu gamblang mencelanya, dan tidak ada dalilnya kecuali hadits yang tidak ada asalnya dari Rasulullah r itu.”

Perselisihan yang berdasarkan dalil

Perselisihan macam ini, setiap kelompok yang berselisih tidak bersalah karena adanya dalil yang mensyari’atkan kedua pendapat tersebut, justru tercela jika salah satu kelompok menganggap sesat kelompok lainnya.

Perselisihan macam ini dinamakan oleh para ulama sebagai ikhtilaf tanawwu’ (variatif) yang tidak saling bertentangan seperti perbedaan dalam sifat adzan, sifat iqamat, do’a istiftah, bacaan tasyahhud, tata cara shalat khouf dan qiro’at.

Dari Abdullah bin Mas’ud t dia berkata, ”Saya mendengar seseorang membaca ayat yang meyalahi bacaan yang aku dengar dari Rasulullah r, akupun membawanya kepada Rasulullah lantas aku ceritakan kejadian tersebut, tapi aku melihat kemarahan pada raut wajah beliau seraya bersabda, ‘Kalian berdua benar, janganlah berselisih karena orang-orang sebelum kalian berselisih lantas merekapun binasa’.”

Kebenaran itu disisi Allah I hanya satu dan selainnya salah.

Kaidah ini telah ditunjukkan oleh dalil-dalil yang banyak dari Al-Qur’an dan As-Sunnah juga perbuatan para sahabat y.

Dalil-dalil dari Al-Qur’an :

1. Firman Allah I :

فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلاَلُ

“Maka tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kesesatan.” (QS Yunus : 32).

Al-Qurthuby berkata, ”Ayat ini memutuskan bahwa tidak ada antara kebenaran dan kebatilan itu kedudukan yang ketiga dalam masalah tauhidullah dan masalah lainnya yang semisal yang merupakan masalah pokok, karena kebenaran itu hanya ada pada salah satu saja.”

Mungkin ada orang bertanya, zhahir ayat tadi menunjukan bahwa selain Allah itu sesat karena awal ayat itu mengatakan,

فَذَلِكُمُ اللَّهُ رَبُّكُمُ الْحَقُّ فَمَاذَا بَعْدَ الْحَقِّ إِلاَّ الضَّلَالُ

“Maka itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya, maka tidak ada sesudah kebenaran itu melainkan kesesatan.”

Mengapa dijadikan dalil dalam perkara yang lebih luas ?

Jawabnya adalah bahwa salafus shalih berdalil dengan keumuman ayat ini untuk seluruh kebatilan seperti Imam Malik berdalil dengan ayat ini akan haramnya catur sebagaimana disebutkan dalam riwayat Asyhab. Alasannya adalah bahwa kekufuran itu menutupi kebenaran dan setiap perkara selain Al-Haq sama hukumnya dengan hal itu.

2. Allah I berfirman :

وَلاَّ تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ

“Dan janganlah kalian seperti orang orang yang berpecah belah dan berselisih setelah datang kepada mereka keterangan.” (Ali Imron : 105).

Juga firman Allah Ta’ala :

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا

“Berpegang teguhlah kalian semuanya dengan tali Allah dan jangan berpecah belah.” (Ali Imron : 103).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, ”Ayat ini melarang dan mencela perselisihan dan saksi yang jelas bahwa kebenaran itu hanya satu disisi Allah, selainnya adalah salah. Kalaulah semua pendapat itu benar pasti Allah dan Rasul-Nya tidak akan melarang kebenaran itu tidak juga mencelanya.”

3. Firman Allah I :

وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا

Kalaulah (Al-Qur’an itu) tidak berasal dari Allah niscaya mereka mendapati didalamnya pertentangan yang banyak.” (QS An-Nisaa: 82).

Ibnul Qayyim berkata, ”Allah I mengabarkan bahwa perselisihan itu bukan berasal dari Allah I, dan sesuatu yang tidak berasal dari sisi-Nya bukanlah kebenaran.”

4. Firman Allah I :

وَدَاوُدَ وَسُلَيْمَانَ إِذْ يَحْكُمَانِ فِي الْحَرْثِ إِذْ نَفَشَتْ فِيهِ غَنَمُ الْقَوْمِ وَكُنَّا لِحُكْمِهِمْ شَاهِدِينَ (78) فَفَهَّمْنَاهَا سُلَيْمَانَ وَكُلًّا ءَاتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا

“Dan (ingatlah kisah) Daud dan Sulaiman, diwaktu keduanya memberikan keputusan mengenai tanaman, karena tanaman itu dirusak oleh kambing-kambing kepunyaan kaumnya. Dan adalah Kami Menyaksikan keputusan yang diberikan oleh mereka itu. Maka Kami telah memberikan pengertian kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat) dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu.” (Al-Anbiyaa’ : 78-79)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, ”Inilah dua Nabi yang mulia telah menghukumi sebuah masalah, Allah I menghususkan salah satunya dengan diberi pemahaman (yang lebih tepat) disertai pujian Allah I kepada keduanya bahwa Dia memberinya hikmah dan ilmu. Demikian pula para ulama mujtahidin bagi mereka yang benar diberikan dua pahala sedangkan yang salah diberikan satu pahala, setiap mereka (berusaha) untuk mentaati Allah I sesuai dengan kemampuan, Allah I tidak akan membebani seseorang dengan ilmu yang tidak dia kuasai, akan tetapi tidak boleh Rasul r dan syari’at yang beliau bawa diatur oleh sebuah pendapat dari pendapat manusia lebih-lebih jika pendapat tersebut sesat.”

Disini ada peringatan penting yang harus diperhatikan yaitu tidak boleh berdalil dengan ayat ini bahwa mencela orang yang salah tidak boleh secara mutlak, karena perkara yang dihukumi oleh kedua (Nabi) tersebut bukan berasal dari wahyu tapi hanya sebuah perkara yang bersifat ijtihadiyah sehingga yang salah tidak tercela.

Al-’Allaamah Al-Mufasir Syaikh Muhammad Al-Amin Asy-Syanqithy berkata, ”Dalam ayat ini ada isyarat bahwa hukum yang mereka putuskan itu berasal dari ijtihad bukan dari wahyu, dan Nabi Sulaimanlah yang benar sehingga beliau pun berhak mendapatkan pujian atas ijtihadnya yang tepat, sedangkan (keputusan) Nabi Daud u itu salah maka beliau berhak mendapat pujian atas ijtihadnya dan tidak tercela karena kesalahannya tersebut.”

Allah I memuji Nabi Sulaiman u karena (ijtihadnya) yang benar, firman-Nya, ففهمناها سليمان “maka Kami memberikan pemahaman (yang tepat) kepada Sulaiman.” Allah pun memuji keduanya dalam firman-Nya, وكلا اتينا حكما وعلما “dan masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu.” Dan firman Allah I, إذ يحكمان “diwaktu keduanya memberikan keputusan.” Menunjukkan bahwa kedua-duanya menghukumi dalam perkara itu dengan keputusan yang berlainan, kalaulah berasal dari wahyu tentu tidak boleh berlainan.

Kemudian firman-Nya, ففهمناها سليمان “maka Kami memberikan pemahaman (yang tepat) kepada Sulaiman.” Menunjukkan bahwa Nabi Daud u belum memahaminya, kalaulah berasal dari wahyu tentu beliau juga diberi kefahaman dalam perkara itu. Maka firman-Nya, “Diwaktu keduanya memberikan keputusan.” Disertai firman-Nya, “Maka Kami memberikan pemahaman (yang tepat) kepada Sulaiman.” Alasan kuat bahwa keputusan tersebut bukan berasal-dari wahyu tapi hasil ijtihad, dan Nabi Sulaimanlah yang benar berkat pemahaman yang Allah I berikan kepadanya.”

Dalil-dalil dari As-Sunnah

1. Dari Abi Sa’id t, bahwa Bani Quraidzah tunduk kepada keputusan Sa’ad bin Mu’adz t, kemudian Nabi r memanggil Sa’ad, beliau pun datang dengan mengendarai seekor keledai, ketika telah dekat dengan masjid, Nabi bersabda kepada kaum anshar, “Berdirilah kepada tuan kalian.” Beliau r berkata lagi, “Mereka siap tunduk kepada keputusanmu.” Sa’ad berkata, “Orang-orang yang ikut perang dibunuh sedangkan anak-anaknya ditawan.” Nabi I bersabda, “Sungguh engkau telah memutuskan dengan hukum Allah Ta’ala.”

Lihatlah bagaimana Nabi r memuji Sa’ad t dengan sabdanya, “Sungguh anda telah memutuskan dengan hukum Allah I.” Menunjukkan bahwa Sa’ad telah sesuai dengan hukum Allah. Jika Sa’ad memutuskan bukan dengan hukum tersebut, tentu menyimpang dari hukum Allah I.

2. Dari Abu Hurairah, Rasulullah r bersabda,

إذا حكم الحاكم فاجتهد فأصاب فله أجران وإذا حكم فأخطأ فله أجر واحد

”Jika seorang hakim memutuskan sebuah perkara kemudian benar, dia mendapatkan dua pahala. Dan jika keputusannya salah maka dia mendapatkan satu pahala.”

Hadits ini sangat gamblang menjelaskan bahwa Al-haq itu hanya satu, karena (Nabi) menyalahkan pendapat yang menyimpang.

3. Hadits Sulaiman bin Buraidah dari bapaknya bahwa Nabi I bersabda, “Jika kamu mengepung musuh dalam benteng, kemudian mereka menyatakan siap tunduk kepada hukum Allah, jangan sekali-kali kamu memutuskan mereka dengan hukum Allah, tapi putuskanlah dengan hukum anda, karena kamu tidak tahu apakah hukum Allah tepat untuk mereka atau tidak !”

Hadits ini merupakan dalil yang paling jelas bahwa hukum Allah I itu satu, terkadang menjadikan benar seorang hamba namun terkadang salah, dan alasan Nabi r menyuruh demikian karena hukum-hukum syari’at masih terus-menerus turun dan terkadang hukum tersebut dihapus dengan ayat lainnya.

4. Nabi r menerangkan bahwa umat ini akan berpecah belah menjadi 73 golongan dan beliau menyatakan bahwa hanya satu yang selamat.

Kata Imam Asy-Syathiby, ”Sesungguhnya sabda Nabi r, ‘kecuali satu.’ Menunjukkan secara nash bahwa Al-haq itu satu tidak banyak, karena jika Al-haq itu banyak tentu beliau tidak akan bersabda, ‘kecuali satu’.”

5. Kisah dua wanita yang mempunyai anak ketika serigala datang dan menerkam salah satu anak dari dua wanita itu, yang satu mengatakan, ”Serigala itu menerkam anakmu.” Yang lain mengatakan, ”Serigala itu menerkam anakmu.” Kemudian keduanya berhukum kepada Nabi Daud u, beliau memutuskan untuk wanita yang tertua. Kemudian kedua wanita itu pergi kepada Nabi Sulaiman bin Daud u dan mengabarkan kejadian tersebut, beliau berkata, ”Ambillah pisau untuk membelah dua bayi ini!” Wanita yang paling muda berkata, ”Jangan anda lakukan mudah-mudahan Allah merahmati anda, anak itu miliknya.” Beliaupun memberikannya kepada wanita muda itu.

Ibnu Hajar berkata ketika menyebutkan faidah-faidah hadits ini, “Hadits ini menunjukkan bahwa Al-haq itu hanya satu.”

Amalan para sahabat.

1. Ibnu Mas’ud t ketika dimintai persetujuannya terhadap Abu Musa Al-Asy’ary t dalam masalah (pembagian harta waris untuk) seorang anak wanita (bintun), anak wanita dari saudara laki-lakinya (bintu ibnin) dan bibinya (ukhtun) yang memutuskan setengah untuk bintun, setengah lagi untuk bintu ibnin, beliau berkata, ”Kalau begitu kamu sesat sehingga aku tidak termasuk dari orang-orang yang mendapat petunjuk, saya akan memutuskan perkara ini dengan keputusan Nabi r; setengah (1/2) untuk bintun, seperenam (1/6) untuk bintu ibnin sebagai penyempurna dua pertiga (2/3) dan sisanya untuk bibinya.”

Kemudian Abu Musa t dikabari tentang keputusan Ibnu Mas’ud t tersebut, beliau pun berkata, ”Kamu jangan bertanya kepadaku lagi selama ulama ini masih ada ditengah-tengah kalian.”

Lihatlah Ibnu Mas’ud t bagaimana beliau menganggap pendapat yang dianggap benar itu sebagai sebuah kesalahan disisi Allah I ?!

2. Ibnu Abbas t berkata, ”Aku ingin berkumpul dengan orang-orang yang menyalahiku dalam masalah warisan dan meletakkan tangan kami diatas pondasi kemudian bermubahalah minta kepada Allah I agar melaknat orang yang berdusta.”

Ibnu Abbas t ingin bermubahalah dengan orang yang menyelisihinya, sedangkankan mubahalah itu sumpah yang sangat berat yang dihadiri oleh istri dan anak-anak disertai dengan laknat Allah I, sebagaimana firman Allah I :

فَمَنْ حَاجَّكَ فِيهِ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ فَقُلْ تَعَالَوْا نَدْعُ أَبْنَاءَنَا وَأَبْنَاءَكُمْ وَنِسَاءَنَا وَنِسَاءَكُمْ وَأَنْفُسَنَا وَأَنْفُسَكُمْ ثُمَّ نَبْتَهِلْ فَنَجْعَلْ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَى الْكَاذِبِينَ

“Maka siapa yang membantahmu tentang kisah Isa sesudah datang ilmu (yang meyakinkanmu) maka katakanlah kepadanya: ”Marilah kita memanggil anak-anak kami dan anak-anak kamu, istri-istri kami dan istri-istri kamu, diri kami dan diri kamu kemudian marilah kita bermubahalah kepada Allah dan kita minta supaya laknat Allah ditimpakan kepada orang-orang yang dusta.” (Ali Imran:61)

Oleh karena itu Imam Malik berkata, ”Al-haq itu hanyalah satu, mungkinkah ada dua pendapat yang saling berlainan benar kedua-duanya ?! Kebenaran itu hanya satu.”

Dengan alasan ini anda mengetahui salahnya pendapat sebagian orang yang mengatakan, ”Setiap mujtahid (orang yang berijtihad) itu benar”, karena ungkapan ini jelas bertabrakan dengan banyak dalil terutama yang paling gamblang adalah hadits, ”Apabila seorang hakim berijtihad kemudian salah… .”

Ungkapan tersebut bukan berasal dari generasi utama, bahkan pokok-pokoknya bid’ah”.

Berkata Al-Qadli Abu Thayyib Ath-Thabary, ”Abul Hasan Al-Asy’ary telah menyebutkan dua pendapat dan menjelaskan bahwa kebenaran itu hanya satu, tapi dia malah condong untuk memilih, ”Setiap mujtahid itu benar”. Sedangkan ini adalah pendapat mu’tazilah dari kota bashrah, merekalah yang mencetuskan bid’ah ini disebabkan kejahilan mereka terhadap makna-makna fiqih serta jalan-jalannya yang menunjukkan kepada kebenaran yang membedakannya dengan selainnya berupa syubhat-syubhat yang batil.”

Bahkan para ahli bid’ah itu mengagung-agungkan ilmu kalam yang mereka sebut sebagai ushuluddin (pokok agama), dan menjadikannya sebagai perkara yang pasti serta melecehkan fiqih yang tidak mereka pandang sebagai ilmu tapi hanya sangkaan belaka !?

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Pokok-pokok ini yang mereka agungkan adalah batil dan lemah sebagaimana akan kami terangkan diselain tempat ini, yang demikian itu dikarenakan mereka tidak menjadikan hukum Allah sebagai hukum yang pasti sehingga orang yang berijtihad terbagi kepada yang benar dan yang salah, tetapi setiap orang dihukumi sesuai dengan ijtihadnya.

Kami telah menjelaskan dalam selain pembahasan ini kerancuan dan kerusakan pendapat itu, mereka sama sekali tidak berhukum kepada Allah dalam ijtihad-ijtihadnya, tidak pula berpegang kepada dalil. Bahkan Ibnul Baaqillany dan lainnya berkata, ”Disana tidak ada pengaruh dalam jiwa tapi hanya sebuah sangkaan yang lebih absah dari sangkan lainnya, dan (yang benar) hanyalah perkara yang disepakati”. Menurutnya zhann (prasangkaan) itu tidak bersandar pada dalil dan tanda-tanda yang menunjukkannya, sebagaimana yang maklum itu bersandar pada dalil.”

Kata Ibnu Taimiyah lagi, ”Oleh karena itu kamu dapati banyak permasalahan yang diperselisihkan oleh umat ini, sedangkan yang sesuai dengan ajaran Rasul hanyalah satu.”

Al-Haq itu jelas dan mudah buat orang yang mencarinya dengan niat yang baik.

Allah I berfirman :

وَلَقَدْ يَسَّرْنَا الْقُرْءَانَ لِلذِّكْرِ فَهَلْ مِنْ مُدَّكِرٍ

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al-Qur'an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?.” (Al-Qamar: 40).

Ayat ini umum (mudah) untuk dibaca dan difahami, Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata ketika menafsirkan ayat ((ولقد يسرنا القرآن للذكر فهل من مدكر , “Maksudnya, Kami mudahkan lafadz dan maknanya bagi orang yang menginginkannya, agar manusia menjadi ingat.”

Ibnul Qayyim berkata, “Kamu tidak akan mendapati perkataan yang paling bagus dan sempurna tafsirnya dari Firman Allah r, oleh karena itu Allah menamainya ‘bayaan’ dan mengabarkan bahwa Al-Qur’an itu mudah dipelajari, lafadznya mudah dihafal, maknanya mudah difahami, perintah dan larangannya mudah dipraktikkan. Dan sudah maklum jika sebuah lafadz tidak difahami oleh pendengar bukan mudah namanya tapi sulit, lebih-lebih jika si pendengar diminta untuk memahami makna yang tidak ditunjukkan oleh lafadz tersebut atau yang bertentangan dengannya, ini jelas lebih sulit.”

Rasulullah r bersabda, “ Halal itu jelas dan haram itu jelas dan antara keduanya ada perkara syubhat (samar)… .”

Dan kesamaran itu hanya buat orang yang belum mengetahuinya, Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahulah berkata, “Perkara itu samar buat orang yang belum mengetahuinya, bukan samar dengan sendirinya.”

Kata Ibnu Abil’izz Al-Hanafy, “Agama islam adalah apa yang Allah I syari’atkan kepada hamba-hamba-Nya melalui lisan Rasul-Nya, dan pokok-pokok serta cabang agama ini juga diambil dari Rasul dan semua itu sudah jelas dengan sejelas-jelasnya. Setiap orang baik besar maupun kecil, (arab) fasih maupun ‘ajam, pintar maupun bodoh dapat memasukinya dengan waktu yang sangat singkat, tapi juga bisa keluar darinya dengan cepat pula disebabkan mengingkari sebuah kalimat, atau mendustakan, atau menentang, atau berdusta atas nama Allah, atau ragu terhadap firman Allah, atau menolak apa yang Allah turunkan, atau ragu terhadap keraguan yang Allah tiadakan darinya, atau lainnya yang semakna dengan itu.

Al-Qur’an dan As-Sunnah sudah menerangkan kejelasan agama Islam ini, serta kemudahan mempelajarinya, dan bahwa ada orang yang mempelajarinya kemudian berpaling pada waktu itu juga.”

Ulama kota Qassim Syaikh Abdurrahman As-sa’dy berkata: “Ketahuilah bahwa makna nash-nash syari’at dari Al-Qur’an dan sunnah tersusun begitu jelas tidak mengandung makna lain, dan telah disepakati oleh seluruh ulama kaum muslimin yang mengetahui maksud pembuat syari’at dalam sumber-sumbernya, mereka telah terbiasa dengan lafadz dan makna-maknanya.”

Sebagaimana mereka tidak meragukan nash-nash dalam masalah furu’ (cabang) juga tidak meragukan nash-nash dalam masalah ushul (pokok), justru mereka memandang jenis ini (masalah pokok) lebih banyak dan jelas keterangannya, karena manusia sangat butuh kepadanya.

Dan dibawah derajat para ulama adalah orang yang belum sampai kepada apa yang mereka dapatkan, karena perhatian mereka terhadap nash tidak seperti perhatian para ulama, mereka memandang nash syara’ itu sebatas zhahirnya –(yaitu) zhahir maknanya dalam pemahaman mereka- terkadang sebagian mereka ditimpa oleh problem-problem yang tidak mampu mereka jawab.

Perbedaan antara mereka dan generasi pertama sangatlah jauh dalam bab dan pokok besar ini, perbedaan ini bukan karena kurangnya pemahaman mereka tapi karena tidak adanya perhatian mereka yang sempurna terhadap perkataan Asy-Syari’ (Allah).

Oleh karena itu anda dapati mereka tentang madzhab yang mereka dalami begitu yakin dengan maksud-maksud lafadz dan perkataan imamnya, karena mereka mengeluarkan seluruh kemampuan untuk mendalami hal itu sehingga mereka hanya berjalan diatas (pendapat madzhab saja).”

Tempat perselisihan dan sangkaan itu sedikit

Kami telah menerangkan berdasar dalil-dalil syar’i tentang gamblangnya Al-haq. Dan diikutkan dengan kaidah agung tersebut (sebuah bab) bahwa tempat-tempat perselisihan dan sangkaan itu sedikit.

Prasangka (zhann) hanya ada dalam masalah ijtihad saja, adapun masalah iman dan aqidah dalilnya lebih banyak meyakinkan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesuatu yang maklum bahwa zhann itu kebanyakan hanya ada dalam masalah ijtihad, adapun masalah iman dan ijma’ (kesepakatan ulama) dalilnya lebih banyak meyakinkan.”

Kata beliau lagi, “Mayoritas masalah fiqih yang dibutuhkan oleh manusia dan difatwakan (oleh ulama) berpijak diatas dalil dan ijma’ sedangkan zhann dan perselisihan itu sedikit terjadi dalam perkara yang dibutuhkan oleh manusia dan ini ada pada semua disiplin ilmu.

Dan kebanyakan masalah yang diperselisihkan itu ada pada perkara yang sedikit terjadinya dan bersifat rekaan, adapun ilmu yang dibutuhkan manusia berupa perkara wajib, haram dan mubah kebanyakan meyakinkan dan pasti. Sedangkan perkara agama yang meyakinkan itu bagian dari fiqih. Mengeluarkan perkara tersebut dari fiqih adalah pendapat yang tidak pernah dikatakan oleh para ulama terdahulu.”

Jika anda berkata, “Masalah khilafiyah dalam fiqih itu sangat banyak, dan ini menunjukkan bahwa prasangka (zhann) juga banyak, seperti Al-Qadly Abu Ya’la yang telah mengumpulkan masalah khilafiyyah sampai sekitar empat ribu lebih, ada juga ulama yang meringkas masalah besarnya saja seperti yang dilakukan oleh Abu Muhammad Isma’il bin Abdussalaam ada sekitar seratus masalah.”

Jawabnya dari dua sudut :

Pertama : Bahwa masalah-masalah yang bersifat pasti, nash dan ijma’ berlipat-lipat kali lebih banyak.

Kedua : Bahwa zhann ini bukan sifat untuk nash yang mereka perselisihkan, tapi untuk sebagian ahli ijtihad saja dan itu juga relatif, malah meyakinkan menurut pandangan ahli tahqiq.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesuatu yang maklum bagi orang yang memperhatikan syari’at ini, bahwa kebanyakan hukum perbuatan manusia itu maklum (yakin) bukan praduga, dan zhann dalam masalah itu sangat sedikit untuk sebagian ahli ijtihad dalam beberapa perkara, adapun mayoritas perbuatan kebanyakan hukumnya maklum, Alhamdulillah.

Yang saya maksud dengan maklum ini adalah perkara yang bisa diketahui ilmunya secara yakin, dan itu diperoleh oleh orang yang berijtihad dan berdalil dengan dalil-dalil syar’iyy. Bukan maksud saya bahwa ilmu tersebut dapat diperoleh oleh setiap orang, tidak juga oleh kebanyakan orang yang berlagak ahli fiqih yang taqlid kepada imamnya karena mereka hanya menggunakan zhann dan taqlid belaka.”

Para sahabat berselisih dalam masalah-masalah yang tersembunyi.

Para sahabat t tidak pernah berselisih dalam masalah yang sudah jelas, karena keterangannya jelas bagi mereka, perselisihan diantara mereka hanya terjadi dalam beberapa masalah saja seperti Talaq, dan ilmu faraidl (waris) disebabkan oleh perbedaan dalam memahami dalil syar’iy yang tersembunyi.

Mereka tidak pernah berselisih dalam masalah iman, taqdir, asma’ wa sifat, janji dan ancaman.

Asy-Syathiby berkata, ”Perselisihan yang terjadi pada zaman sahabat sampai sekarang hanya terjadi dalam masalah ijtihad.”

Kata Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Khafif, ”Pendapat kaum Muhajirin dan Anshar sepakat dalam masalah tauhidullah, mengenal nama-nama, sifat dan qadla-Nya diatas satu pendapat dan syari’at yang zhahir, mereka adalah orang yang menukil semua itu dari Rasulullah r, beliau bersabda, “Peganglah kuat-kuat sunnahku….” Dan sabdanya, “Mudah-mudahan Allah melaknat orang yang mengada-ada (bid’ah).”

Pendapat sahabat itu satu tanpa ada perselisihan, kita diperintahkan untuk mengambil dari mereka, dalam masalah tauhid, ushuluddin berupa asma wassifat tidak pernah mereka berselisih –Alhamdulillah- sebagaimana halnya mereka berselisih dalam masalah furu’ (cabang), kalaulah ada perselisihan tentu sampai kepada kita sebagaimana perselisihan (dalam masalah furu’) itu sampai kepada kita. Dan kebenaran hal ini sudah ma’ruf dikalangan ulama, mereka sampaikan dari satu generasi kepada generasi setelahnya karena menurut mereka perselisihan itu termasuk kekufuran walillahil minnah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Maksudnya bahwa para sahabat y sekalipun tidak pernah berperang disebabkan perselisihan dalam sebuah pokok dari pokok-pokok islam, mereka tidak pernah berselisih dalam kaidah-kaidah islam berupa sifat, taqdir, tidak juga masalah asma, hukum dan imamah.

Mereka tidak pernah bertengkar dengan kata-kata, lebih-lebih dengan pedang justru mereka semua menetapkan seluruh sifat Allah yang Dia kabarkan, dan tidak menyerupakannya dengan sifat makhluk-Nya.”

Kata beliau lagi, ”Tapi terkadang (perselisihan itu) terjadi dalam perkara-perkara yang tersembunyi dengan ijtihad pemiliknya, mereka telah mengeluarkan seluruh usaha mereka dalam rangka mencari kebenaran. Kebenaran serta ittiba’ pun menggenangi mereka, sebagaimana yang terjadi pada sebagian sahabat dalam masalah talaq, faraidl dan lainnya, tapi (perselisihan itu) tidak terjadi dalam perkara yang sudah jelas dan agung, tidak ada yang menyelisihinya kecuali orang yang menyelisihi Rasul dan mereka semua senantiasa berpegang dengan tali Allah dan berhukum kepada Rasul dalam perkara yang diperselisihkan, serta tidak mendahului Allah dan Rasul-Nya.”

Kata beliau lagi, “Demikian pula fiqih, perselisihan itu terjadi ketika tersembunyi pada mereka keterangan dari Allah, tapi itupun terjadi dalam perkara yang sangat tersembunyi, adapun perkara yang sudah jelas tidak pernah mereka perselisihkan. Para sahabat sendiri berselisih dalam masalah (fiqih) tapi tidak berselisih dalam masalah aqidah dan jalan menuju Allah yang dilalui oleh hamba-hamba Allah yang didekatkan.”

Beliau meneruskan lagi, “Adapun yang akan saya tulis dan katakan sekarang –walaupun belum saya tulis dalam jawaban-jawaban saya terdahulu, tapi sudah saya katakan dalam beberapa majlis- bahwa seluruh apa yang ada dalam Al-Qur’an berupa ayat-ayat sifat tidak ada perselisihan diantara para sahabat dalam penafsirannya.

Saya telah membaca seluruh tafsir yang dinukil dan diriwayatkan dari para sahabat dalam buku-buku besar maupun kecil lebih dari seratus tafsir, sampai sekarang belum saya dapati seorang pun dari para sahabat menafsirkan ayat atau hadits tentang sifat dengan penafsiran yang menyalahi kandungannya yang difahami dan terkenal.”

Mungkin seseorang berkata, “Para sahabat berselisih tentang firman Allah I : يوم يكشف عن ساق “Pada hari betis disingkapkan.” Ibnu Abbas t berpendapat bahwa yang dimaksud adalah disingkapkannya syiddah (kesulitan) pada hari kiamat, sedangkan Abu Sa’id t menganggapnya sebagai sifat Allah.”

Saya jawab, Dua pendapat tersebut tidak bertentangan, karena Allah ketika menyingkapkan betis-Nya pada hari kiamat, orang-orang munafiq tidak mampu bersujud sehingga berbedalah antara kaum mukminin dan munafiqin, dan keadaan ini masuk dalam syiddah (kesulitan).

Dalam ayat diatas kata saaq (betis) tidak disandarkan kepada Allah –tidak sebagaimana sifat lainnya- akan tetapi ada hadits yaitu hadits Abu Sa’id yang menunjukkan bahwa kata tersebut disandarkan kepada Allah.

Demikian pula para sahabat berselisih tentang melihatnya Nabi r Rabbnya pada malam isra’. Orang yang menetapkannya bermaksud penglihatan dengan hati, dan orang yang meniadakannya bermaksud penglihatan dengan mata kepala sehingga dua pendapat tersebut tidak bertentangan.

Demikian pula perang yang terjadi antara Ali dan Mu’awiyah bukan untuk merebut kekuasaan tapi disebabkan oleh alasan yang bisa diterima tentang bolehnya mentaati selain imam, bukan disebabkan perselisihan dalam pokok agama.

Adapun peperangan yang terjadi antara Thalhah dan Zubair melawan Ali bin Abi Thalib, disebabkan masing-masing mereka membela dirinya karena menyangka pasukan lawan yang memulai serangan, Ali tidak bermaksud memerangi mereka demikian pula mereka tidak bermaksud memeranginya. Tapi ketika sebagian pembunuh Utsman mengetahui bahwa kedua belah pihak telah berdamai, mereka menyerang salah satu pasukan sehingga mereka menyangka bahwa pasukan lawan yang memulai peperangan sehingga terjadilah perang.

Aqidah yang lurus adalah sebab untuk mendapatkan Al-Haq dan dikabulkannya do’a

Aqidah yang benar itu menguatkan pemahaman dan meluruskannya, oleh karena itu anda dapati ahlusunnah selalu sesuai dengan kebenaran dalam masalah halal dan haram, kebenaran mereka lebih banyak dari orang yang jauh dari sunnah.

Kurangnya mendapatkan Al-haq dalam masalah halal dan haram sesuai dengan kadar kejauhannya dengan sunnah, oleh karena itu anda dapati orang yang buta dalam masalah aqidah itu lebih buta dan sesat dalam masalah lainnya.

Adapun kesalahan yang terjadi pada sebagian ulama ahlussunnah dalam masalah halal dan haram adalah berasal dari tabiat kemanusiaan dan ketidak maksuman mereka dari kesalahan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap orang yang memeriksa keadaan ulama, mendapati bahwa mereka adalah orang yang paling tajam dan tepat akalnya, dalam tempo dekat mereka mendapat hakikat ilmu dan amal beberapa kali lipat dari apa yang didapatkan oleh selain mereka di setiap kurun dan generasi.

Demikian pula ahlussunnah dan hadits anda dapati mereka diberi kesenangan (oleh Allah) disebabkan aqidah yang benar yang dapat menguatkan dan meluruskan pemahamannya, firmanNya :والذين اهتدوا زادهم هدى “Dan orang-orang yang mendapat petunjuk, (Allah) tambahkan kepada mereka hidayah.”

وَلَوْ أَنَّهُمْ فَعَلُوا مَا يُوعَظُونَ بِهِ لَكَانَ خَيْرًا لَهُمْ وَأَشَدَّ تَثْبِيتًا(66) وَإِذًا لآِ تَيْنَاهُمْ مِنْ لَدُنَّا أَجْرًا عَظِيمًا(67) وَلَهَدَيْنَاهُمْ صِرَاطًا مُسْتَقِيمًا

“Dan sesungguhnya kalau mereka melaksanakan pelajaran yang diberikan kepada mereka, tentulah lebih baik buat mereka dan lebih menguatkan iman mereka. Dan kalau demikian, pasti Kami berikan kepada mereka pahala yangbesar dari sisi Kami. Dan pasti kami tunjuki mereka kepada jalan yang lurus.” (An-Nisaa : 66-68)

Benarnya akidah juga sebab dikabulkannya do’a, berapa banyak ahli bid’ah yang tidak dikabulkan do’anya disebabkan aqidah mereka yang buruk.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Oleh karena itu dikatakan, “Pengabulan do’a terjadi karena akidah yang lurus dan ketaatan yang sempurna, karena Allah mengakhiri ayat do’a dengan firman-Nya : فليستجيبوا لي وليؤمنوا بي ‘…maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku…’.”

Tauhidullah adalah penyebab sedikitnya kemungkaran, oleh karena itu anda dapati kemungkaran di negeri tauhid itu minim dan kebanyakan tersembunyi, kebalikannya anda dapati negeri ahli bid’ah seperti syi’ah rafidlah dibanjiri dengan perbuatan keji walaupun menganggap telah mempraktekan syari’at mereka yang bid’ah !

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya bid’ah dalam agama adalah penyebab perbuatan keji dan kemungkaran lainnya, sebagaimana mengikhlaskan agama kepada Allah itu penyebab takwa dan perbuatan baik.

Firman-Nya :

يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ

“Wahai manusia sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan menciptakan orang-orang sebelum kamu agar kalian bertaqwa.” (Al-Baqarah : 21).

Firman-Nya, “Agar kalian bertaqwa”. Berhubungan dengan firman-Nya, “Sembahlah Rabbmu”. Sehingga kalian mendapatkan taqwa karena beribadah kepada-Nya”.

Oleh karena itu kita harus memperhatikan aqidah dahulu, dan itulah (manhaj) yang dibawa oleh para Rasul :

اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ

“Sembahlah Allah tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah.” (Huud : 61).

Amru bin Al’Ash t berkata, “Sesungguhnya persiapan kami yang paling utama adalah syahadatain, ‘tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah.”

Pemahaman salaf mencegah perselisihan

Telah kita jelaskan bahwa perselisihan sahabat itu sedikit, dan itu pun terjadi dalam masalah ijtihad bukan dalam kaidah-kaidah (pokok) islam, dan memeriksa pendapat, perbuatan dan akidah mereka memberikan hasil kesepakatan yang merupakan sifat mereka.

Bahkan tidak boleh seorang muslim pun keluar dari rel pemahaman mereka dan pelakunya diancam dengan adzabyang pedih sebagaimana firman Allah Ta’ala :

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا

“Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia kedalam jahanam dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An Nisaa : 115).

Mereka diatas kita dalam semua perkara, sebagaimana Sabda Nabi r : خير الناس قرني “Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku.” Merekalah orang yang menyaksikan turunnya (Al-Qur’an), Allah I ridla kepada mereka dengan keridlaan yang mutlak dan itu hanya diperuntukkan kepada mereka tanpa yang lainnya.

Al-Barbahary berkata, “Azas yang dibangun diatasnya jama’ah adalah para sahabat, merekalah ahlus sunnah wal jama’ah. Barang siapa yang tidak mau mengambil dari mereka, pasti dia sesat dan berbuat bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat dan kesesatan serta pelakunya (bertempat) di neraka.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sebagaimana tidak ada generasi yang lebih sempurna dari generasi sahabat, demikian pula tidak ada kelompok yang lebih sempurna dari pengikut mereka. Semakin dia mengikuti sunnah dan atsar sahabat, semakin sempurnalah dia.”

Mereka adalah golongan yang paling berhak bersatu, mendapatkan petunjuk, berpegang teguh dengan tali Allah, dan paling jauh dari perpecahan, perselisihan dan fitnah. Seseorang semakin jauh dari mereka, maka dia semakin jauh dari rahmat dan masuk kedalam fitnah.

Tidak ada kelompok dari umat ini yang lebih banyak kesesatannya dari syi’ah rafidloh, sebagaimana tidak ada kelompok yang paling banyak petunjuk dan rahmatnya dari ahli sunnah dan hadits yang membela Rasulullah r, merekalah pengikutnya dan beliau adalah imam mereka secara mutlak yang murka jika sabdanya tidak diikuti, maksud mereka adalah menolong Allah dan Rasul-Nya.”

Hadits tentang shalat ‘ashar di bani quraidzah

Ibnu Umar t meriwayatkan bahwa Nabi r bersabda pada waktu perang ahzab, “Janganlah kalian shalat ‘ashar kecuali di Bani Quraidzah.” Tapi sebagian sahabat mendapati shalat ashar ditengah perjalanan, sebagian mereka berkata, “Kami akan shalat ashar disana”. Sebagian lagi berkata, “Kami shalat ashar sekarang, beliau tidak mewajibkan kepada kita.” Kemudian disampaikanlah kabar tersebut kepada Nabi r ternyata beliau tidak mencela seorangpun dari mereka.”

Hadits ini dijadikan sebagai patokan oleh ahli bid’ah dan orang yang merubah-rubah nash sifat yang menyatakan bahwa nash itu mempunyai makna batin yang tidak ditunjukkan oleh lafadznya ! sehingga hadits ini menjadi sandaran setiap orang yang salah dan berpaling dari Al-Qur’an, As-Sunnah dan pemahaman salaf.

Padahal hadits itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan mereka, karena zaman itu adalah zaman pensyari’atan sehingga sebagian sahabat menyangka bahwa boleh mengakhirkan shalat dari waktunya apabila darurat seperti perang.

Adapun sekarang seluruh hukum telah dijelaskan, maka orang yang salah setelah itu tidaklah sama dengan keadaan para sahabat.

Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata, “Pengambilan dalil dengan kisah ini bahwa setiap mujtahid itu benar secara mutlak tidak jelas. hadits ini hanya menunjukan tidak dicelanya orang yang mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk berijtihad, sehingga diambil faidah darinya bahwa dia tidak berdosa.”

Hasil dari kisah tersebut bahwa sebagian sahabat menganggap larangan itu sesuai dengan hakikatnya sehingga mereka tidak mempedulikan habisnya waktu (shalat) sebagai penguatan terhadap larangan kedua diatas larangan pertama yaitu tidak boleh mengakhirkan shalat dari waktunya, mereka berdalil bolehnya mengakhirkan shalat bagi orang yang disibukkan oleh perang dengan kejadian diperang khandaq, dan telah berlalu hadits Jabir yang menjelaskan bahwa mereka shalat ashar setelah matahari tenggelam karena disibukkan oleh perang. Mereka menganggap pembolehan itu bersifat umum untuk setiap orang yang disibukkan oleh perang, terutama zaman itu adalah zaman pensyari’atan.

Dan sebagian sahabat lagi menganggap bahwa larangan tersebut bukan pada hakikatnya tapi hanya kinayah (ungkapan) tentang anjuran agar bersegera untuk sampai di Bani Quraidzah.”

Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Bany berkata : “Peringatan ! Sebagian orang pada zaman sekarang berhujjah dengan hadits ini terhadap da’i salafiyyin yang menyeru untuk kembali Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam perkara yang diperselisihkan oleh kaum muslimin bahwa Nabi r menyetujui perselisihan para sahabat dalam kisah tersebut ! Hujjah ini sangat lemah karena hadits itu hanya menunjukkan tidak dicelanya seorang pun dari sahabat tersebut, dan ini sangat sepadan dengan hadits masyhur tentang hakim yang berijtihad, disebutkan didalamnya bahwa orang yang berijtihad kemudian salah maka dia mendapat satu pahala, bagaimana akan dicela orang yang mendapat pahala ?!

Adapun penganggapan bahwa hadits itu menyetujui perselisihan adalah batil, karena bertentangan dengan dalil-dalil yang menyuruh agar kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah ketika terjadi perselisihan, sebagaimana firman Allah Ta’ala :

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً

“Jika kalian berselisih dalam suatu perkara maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya jika kalian beriman kepada Allah dan hari akhirat, yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya.” (An-Nisaa : 59)

Juga firman Allah I :

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak pula bagi perempuan mukminah apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka….” (Al-Ahzaab : 36).

Keherananku hampir tidak ada habisnya kepada orang-orang yang menganggap bahwa mereka menyeru kepada islam, jika diseru untuk berhukum kepadanya mereka berkata, “Nabi r bersabda, “Perselisihan umatku adalah rahmat”. Padahal hadits itu dlo’if tidak ada asalnya, sedangkan mereka membaca firman Allah Ta’ala tentang kaum muslimin :

إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin bila dipanggil kepada Alah dan Rasul-Nya agar Rasul mengadili diantara mereka ialah ucapan : “kami mendengar dan kami patuh”. Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An Nuur : 51).

Dan saya telah menerangkan masalah ini secara rinci juga (menerangkan) perkataan seorang da’I, “Saling membantu dalam urusan yang yang disepakati dan saling memaafkan dalam perkara yang diperselisihkan.”

Dalam komentar yang saya tulis pada sebuah risalah yang berjudul “kalimat sawaa” oleh penulis zaman sekarang yang tidak menyebut namanya. Mudah-mudahan saya masih diberikan kesempatan untuk kembali melihat dan menyebarkannya”.

Apakah dima’afkan setiap orang yang mempunyai takwilan salah ?

Allah I berfirman :

وَلَقَدْ جِئْنَاهُمْ بِكِتَابٍ فَصَّلْنَاهُ عَلَى عِلْمٍ

“Dan sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah Kitab (Al Qur'an) kepada mereka yang Kami telah menjelaskannya atas dasar pengetahuan Kami.” (Al-A’raaf : 52).

Umar bin Khoththob t berkata, “Tidak ada maaf bagi orang yang melakukan kesesatan yang dia anggap sebagai petunjuk, karena semua perkara telah dijelaskan, hujjah pun telah tegak dan udzur telah terputus.”

Al-Barbahary berkata, “Yang demikian itu karena sunnah dan jama’ah telah menetapkan seluruh perkara agama, dan telah jelas pada manusia, maka kewajiban mereka adalah ittiba’.”

Di sana ada segolongan manusia yang mengikuti hawa nafsu, pendapat dan angan-angannya, anda lihat dia menolak sunnah Rasul r yang lebih terang dari matahari dengan pendapat, istihsan (menganggap baik), prasangkaan dan penelitian yang dikotori dengan hawa nafsu. Apakah orang semacam ini perlu dimaafkan ?!

Abul Qosim Al-Ashbahany berkata, “Orang yang beralasan (takwil) apabila salah sedangkan dia termasuk orang yang beriman, harus dilihat takwilannya terlebih dahulu. Jika ternyata takwilannya itu berhubungan dengan perkara yang menyelisihi Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma yang tidak dimaafkan padanya udzur sungguh dia telah kafir karena syubhat yang berhubungan dengan orang yang seperti ini tidak mempunyai kekuatan yang bisa di maafkan, karena masalah ushul (pokok-pokok agama) sudah sangat jelas dan terang, maka ketika kebenaran itu tidak sulit untuk didapatkan juga tidak tersembunyi padanya hujjah, tidak ada maaf buat dia jika berpaling dari kebenaran itu.”

Dan barang siapa yang sengaja menyalahi pokok-pokok agama ini sedangkan dia jahil dan tidak bermaksud untuk berpaling darinya (‘inad) maka dia tidak kafir karena dia tidak bermaksud memilih kekafiran dan tidak rela padanya, sementara dia sudah mengeluarkan seluruh usahanya tapi ternyata dia jatuh ke dalam kesalahan.

Allah I telah mengabarkan bahwa Dia tidak akan mengadzab kecuali setelah datangnya keterangan dan peringatan. Allah I berfirman :

وَمَا كَانَ اللَّهُ لِيُضِلَّ قَوْمًا بَعْدَ إِذْ هَدَاهُمْ

“Dan Allah sekali-kali tidak akan menyesatkan suatu kaum, sesudah Allah memberi petunjuk kepada mereka hingga dijelaskan-Nya kepada mereka apa yang harus mereka jauhi.” (At-Taubah : 115).

Maka setiap orang yang Allah tunjuki dan masuk dalam ikatan Islam tidak keluar kepada kekufuran kecuali setelah adanya keterangan.

Penempatan perkataan Umar bin Abdul ‘Aziz

Umar bin Abdul ‘Aziz rahimahullah berkata, “Aku tidak suka para sahabat Rasulullah tidak berbeda pendapat, karena jika mereka di atas satu pendapat tentu manusia dalam kesulitan, sedangkan mereka adalah para imam yang harus diikuti, jika seseorang mengambil salah satu pendapat mereka tentu ada keluasan.”

Penjelasannya dari beberapa sudut :

Pertama : Perkataan ini hanya sebatas dalam perbedaan para sahabat sedangkan tidak ada seorangpun dari mereka yang berbuat bid’ah sesat atau mempunyai syubhat, maka tidak boleh pendapat ini dibawa untuk kebebasan berbeda pendapat setelah zaman sahabat.

Kedua : Para ulama membawa perkataan beliau ini untuk masalah-masalah ijtihad saja, karena masalah yang sudah jelas dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah tidak boleh ada seorangpun menyimpang darinya.

Ibnu Abdil Barr berkata, “Perkataan ini sebatas untuk masalah ijtihad.”

As-Syathiby rahimahullah berkata, “Kami meyakini bahwa perselisihan dalam masalah ijtihad itu terjadi untuk orang yang mendapatkan rahmat yaitu para sahabat dan orang yang mengikuti mereka dengan kebaikan, dimana tidak sah mereka dimasukkan dalam golongan yang berpecah belah dari sudut manapun.”

Ketiga : Banyak para ulama yang tidak menerima perkataan Umar bin Abdul ‘Aziz ini.

Ibnu Abdil Barr berkata, “Ini adalah pendapat yang lemah menurut jama’ah ahli ilmu, dan telah ditolak oleh kebanyakan fuqaha dan ulama.”

Kata beliau lagi, “Ini adalah pendapat Qosim bin Muhammad dan orang yang mengikutinya. Adapun Imam Malik dan Syafi’i dan para pengikutnya dan ini juga pendapat Laits bin Sa’ad, Al-Auza’iy, Abu Tsaur dan jama’ah ahli nadzor ; bahwa perselisihan itu tidak lepas dari salah dan benar, dan kewajiban kita ketika para ulama berselisih adalah mencari dalil dari Al-Qur’an, Sunnah, Ijma dan Qiyas yang benar dan itu mudah. Tapi apabila dalil itu sama kuatnya maka wajib kita mengambil yang lebih dekat kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan jika belum terang juga maka wajib tawaqquf (diam) dan tidak boleh mengambil keputusan kecuali dengan sesuatu yang yakin. Dan jika seseorang dalam keadaan darurat untuk menggunakan dalil-dalil itu terhadap dirinya sendiri, maka dia boleh melakukan apa yang dilakukan oleh orang awam berupa taqlid, dan menggunakan pendapat yang dikuatkan oleh sabda Rasulullah r ketika terjadi silang pendapat yang sama-sama dikuatkan oleh dalil.”

Faidah penting dari Imam Malik

Imam Malik rahimahullah berkata, “Tidak ada keluasan dalam perselisihan sahabat, yang ada adalah salah atau benar.”

Ungkapan ini keluar dari imam ahlus sunnah di zamannya, beliau mengambil ilmu dari generasi tabi’in yang mereka ambil dari para sahabat dari Nabi r.

Inilah ungkapan seorang imam yang sangat ‘alim tentang dalil-dalil dan maksud global syari’at ini.

Ucapan imam Malik ini sangat sepadan dengan mafhum perkataan Ibnu ‘Abbas t, ”Saya bawakan sabda Rasulullah r lalu kalian tentang dengan perkataan Abu Bakar dan ‘Umar !”

Ini adalah perkataan Imam Malik tentang sahabat dekat sekaligus murid Nabi r, sedangkan mereka adalah manusia yang paling baik maksudnya, paling ikhlas dan paling semangat dalam mencari Al-haq. mereka telah menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai imam dan mengambil agama ini dari keduanya, tidak ada seorang pun dari mereka yang berani mendahului Allah dan Rasul-Nya, tidak pula ada seorangpun yang menolak dalil dengan akalnya, atau beribadah untuk Allah dengan perasaannya (dzauq) serta keras kepala dengan pendapatnya, bagaimana jadinya dengan generasi setelah mereka ?!

Ini adalah perkataan Imam Malik tentang para sahabat yang menyaksikan turunnya (Al-Qur’an), memahami sabda Rasulullah_r, meninjau sesuatu yang menunjukkan maksud permasalahan, dan mengetahui sebab dan maksud perkataan yang terkadang tidak bisa difahami kecuali dengan menghadiri (kejadiannya). Allah menghusukan mereka dengan pemahaman yang tajam, bakat yang kuat dan prilaku baik disebabkan sifat yang Allah berikan kepada mereka seperti takut dan khusyu’, zuhud, wara’ dan perangai lain yang terpuji.

Al-Muzany berkata, “Para sahabat telah berselisih, sebagian mereka menyalahkan sebagian lainnya, sebagian mereka memeriksa pendapat sebagian lainnya, jikalah pendapat mereka semuanya benar tentu mereka tidak akan melakukannya.”

Imam Asy-Syafi’iy ditanya, “Bagaimana pendapat anda tentang pendapat para sahabat Rasulullah yang saling berselisih ?” beliau menjawab, “Kita ambil yang sesuai dengan Al-Qur’an, dan As-Sunnah, atau ijma’ atau yang paling sesuai dengan qiyas.”

Makna keluasan dalam perselisihan (khilaf)

Sebagian salaf menyifati perselisihan itu sebagai keluasan, diantara mereka adalah Imam Ahmad.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Oleh karena itu seseorang telah menulis sebuah kitab yang diberi judul “Al-Ikhtilaf”, lantas Imam Ahmad berkata, “Namailah kitab tersebut dengan ‘keluasan’.”

Tapi sebagian orang beranggapan bahwa maksud keluasan disini yaitu setiap orang boleh mengambil pendapat yang dia suka, padahal bukan itu maksudnya.

Isma’il Al-Qadly berkata, “Sesungguhnya keluasan yang terdapat pada perselisihan Sahabat Rasulullah r hanyalah keluasan pada ijtihad pikiran saja, bukan maksudnya keluasan disini yaitu setiap orang boleh memilih salah satu pendapat itu tanpa melihat mana yang benar, akan tetapi perselisihan mereka (sahabat) terjadi karena mereka berijtihad sehingga merekapun berselisih.”

Abu Umar Ibnu Abdil Barr mengomentari, “Perkataan Isma’il tadi sangat bagus.”

Asy-Syathiby rahimahullah berkata, “Faidah menetapkan syari’at adalah mengeluarkan mukallaf dari lingkaran hawa nafsu, sedangkan memberikan pilihan antara dua pendapat itu membatalkan faidah ini dan itu tidak diperbolehkan.”

Kata Beliau lagi, “Karena hasil pemberian pilihan tersebut (menunjukkan) bahwa seorang mukallaf boleh mengambil dan meningalkan sesuka dia, ini jelas menggugurkan taklif (pembebanan dengan syari’at), beda jika (pilihan itu) diikat dengan tarjih karena dia mengikuti dalil sehingga tidak mengikuti hawa nafsu dan tidak menggugurkan taklif.”

Generasi salaf selalu mencari dalil

Orang yang meneliti keadaan generasi salaf rahimahumullah akan menetapkan dengan yakin bahwa mereka senantiasa meminta orang yang berkata atau mengamalkan suatu amalan untuk menegakkan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah atas perkataan dan amalannya itu.

Ini berarti bahwa mereka tidak memberikan maaf kepada manusia dalam ucapan, amalan dan madzhab jika tidak berdasarkan dalil dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah r .

Abu Shalih berkata, saya mendengar Abu Sa’id Al-Khudry t berkata, “Dinar dibayar dengan dinar, dirham dibayar dengan dirham, yang semisal dibayar dengan yang semisal pula. Barang siapa yang menambah sungguh dia telah melakukan riba.”

Saya berkata kepadanya, “Ibnu ‘Abbas mempunyai pendapat lain ?! dia menjawab, “Sungguh saya sudah bertemu dengan Ibnu ‘Abbas dan menanyakannya, “Yang anda katakan itu apakah berasal dari apa yang anda dengar dari Rasulullah atau anda dapati dalam kitab Allah ?!”

Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Saya bertanya kepada Asy-Syafi’iy, “Apa pendapat anda tentang masalah ini dan itu ?! beliaupun menjawabnya. Saya bertanya lagi, “Dari mana anda berkata ? Adakah dalilnya dari Al-Qur’an dan As-Sunnah ? Beliau menjawab, “Ya, ada”. Kemudian beliaupun mengemukakan hadits Nabi r tentang hal tersebut.”

Hukum beralasan dengan ikhtilaf ulama.

Sebagian orang berhujjah untuk membenarkan pendapat yang dia pegang –walaupun lemah- dengan alasan bahwa masalah itu masih diikhtilafkan (diperselisihkan). Alasan ini bukanlah alasan syar’iy dan kaidah yang tidak berdasarkan dalil dari Al-Qur’an maupun As-Sunnah.

Al-Hafidz Ibnu Abdil Barr berkata, “Perselisihan itu bukan alasan menurut setiap fuqaha dari umat ini yang saya ketahui, kecuali orang yang tidak ada ilmunya, tidak ada pengetahuannya dan perkataannya itu bukan hujjah.

Al-Khaththaby berkata, “Perselisihan itu bukan hujjah dan menerangkan sunnah itulah hujjah buat orang yang berselisih dahulu maupun sekarang.”

Asy-Syathiby berkata, “Perkara ini telah melebihi batas semestinya sehingga perselisihan itu dianggap sebagai alasan pembolehan. Pembolehan sebuah perbuatan karena alasan bahwa masalah itu masih diikhtlafkan oleh para ulama telah ada pada zaman lalu dan terbelakang, tidak sesuai dengan makna (kaidah) ‘muro’atul khilaf ‘ karena kaidah itu mempunyai makna lain bukan dalam masalah ini.”

Terkadang ada fatwa yang melarang suatu masalah, lantas ditanyakan, “Mengapa anda melarang, sedangkan masalah ini masih diperselisihkan ?” dia menjadikan perselisihan sebagai alasan untuk membolehkan karena semata-mata masalah itu masih diperselisihkan, bukan berdasarkan dalil yang menunjukkan kepada keabsahan pendapat yang membolehkan itu, tidak juga berdasarkan taqlid kepada orang yang lebih patut diikuti dari orang yang melarang tadi, ini jelas kesalahan terhadap syari’at karena dia telah menjadikan sesuatu yang bukan alasan sebagai alasan, dan sesuatu yang bukan hujjah sebagai hujjah”.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Berkata, “Tidak boleh seorang pun berhujah dengan pendapat orang lain dalam perkara yang diperselisihkan, sesungguhnya hujjah itu hanyalah nash (Al-Qur’an dan As-Sunnah), ijma’ dan kaidah yang ditetapkan oleh dalil-dalil syari’at, bukan pendapat ulama, karena pendapat ulama dijadikkan hujjah disebabkan adanya dalil syari’at bukannya dalil syari’at dijadikan hujah disebabkan adanya pendapat ulama”.

Zindiq beralasan dengan ikhtilaf

Zindiq itu bernama Ahmad bin Yahya bin Ishaq Abul Husain Ibnu Ar-Rawandy, sebagian ulama telah menyebutkan biografinya agar diketahui kadar kekafiran dan penyimpangannya ! Al-‘Iyadzu billah.

Ibnul Jauzy berkata, “Saya menyebutkannya hanya untuk dikenal akan kadar kekafirannya, karena dia adalah tokoh atheis dan zindiq. Disebutkan bahwa ayahnya seorang Yahudi dan dia sendiri masuk islam, orang-orang yahudi berkata kepada kaum muslimin. Sungguh orang ini benar-benar akan merusak kitab suci kalian sebagaimana ayahnya merusak taurat.....”.

Ibnu Ar-Rawandy ini jika dijidal tentang masalah sama’ dia berhujjah terhadap lawannya dengan adanya perselisihan tentang masalah tersebut.”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Abdirrahman As-Sulamy menyebutkan tentang masalah sama’ perkataan Ibnu Ar-Rawandy, “Sesungguhnya para fuqaha berselisih tentang hukum sama’, sebagian mereka membolehkan dan sebagian lainnya memakruhkan, sedangkan saya mewajibkan dan memerintahkannya.”

Ta’lil (pemberian alasan) hukum fiqih dengan ikhtilaf

Orang yang membaca buku para fuqaha, mendapati bahwa terkadang sebagian mereka memberikan alasan (menta’lil) hukum dengan ikhtilaf, kita dapati salah seorang dari mereka berpendapat makruhnya sesuatu karena sebagian ulama mengharamkannya dan sebagian lain membolehkannya, sehingga dia pun berpendapat makruh untuk keluar dari perselisihan.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, ”Pemberian alasan sebuah hukum dengan ikhtilaf adalah batil, karena Allah tidak pernah menggantungkan hukum kepada ikhtilaf (ulama), tapi hal tersebut diada-adakan sesudah Nabi r, dan dilakukan oleh orang yang tidak mengetahui dalil-dalil syari’at untuk berhati-hati.”

Mafhum perkataan Syaikhul Islam itu menunjukkan bahwa orang yang telah kuat ilmunya tidak akan jatuh kepada hal itu, adapun orang yang belum kuat ilmunya tidak mengetahui yang benar dan yang salah dalam masalah ini, sehingga dia tidak mendapatkan keyakinan dan ketenangan untuk mengambil salah satu pendapat, dan belum jelas padanya pendapat yang benar, akibatnya diapun melakukan perbuatan itu untuk keluar dari perselisihan.

Syaikh Muhammad Shalih Al-’Utsaimin berkata, “Ta’lil dengan perselisihan tidak sah, karena jika kita berpendapat dengannya, niscaya banyak masalah yang kita makruhkan dalam bab ilmu, disebabkan banyaknya perselisihan dalam masalah-masalah ilmiyyah, ini tidak benar ! pemberian alasan dengan ikhtilaf bukan alasan yang syar’iy.”

Ta’lil tidak boleh diterima dengan anggapan “Sebagai jalan keluar dari perselisihan”, karena memberikan alasan dengan anggapan keluar dari perselisihan adalah ta’lil dengan khilaf juga, justru jika perselisihan tersebut ada benarnya dari sudut penelitian, sementara dalil-dalil juga memuatnya lalu kita makruhkan, bukan karena didalamnya ada khilaf tapi karena dalil-dalil memuatnya sehingga masuk dalam bab : “Tinggalkan keraguan kepada yang tidak meragukan.”

Adapun jika khilaf tersebut tidak benar dari sudut penelitian, maka tidak mungkin kita menta’lil masalah itu dengannya dan menjadikkannya sebagai hukum

Tidak setiap perselisihan itu dapat diterima.

Kecuali perselisihan yang benar menurut penelitian.

Karena hukum itu tidak bisa ditetapkan kecuali dengan dalil, dan kaidah muro’atul khilaf itu bukanlah dalil syar’iy yang bisa menetapkan sebuah hukum untuk memvonis ini makruh, dan ini tidak makruh.”

Berselisih dalam masalah hukum

Masalah hukum dinamakan oleh sebagian ulama sebagai masalah furu’ dan sekarang bukan tempatnya untuk membahas boleh tidaknya penamaan ini.

Sebagian ulama memperluas dalam masalah hukum dan memberikan rukhsah (keringanan) perselisihan didalamnya tapi tidak memberikan rukhsah perselisihan dalam masalah aqidah. Ini adalah kesewenang-wenangan yang tidak ada dalilnya karena semuanya berasal dari Allah bahkan hukum itu mempunyai hubungan erat dengan aqidah dari sudut kita harus meyakini hukum-hukum Allah yang Dia hukumi berupa halal, dan haram disertai kelapangan dada untuk menerima, tunduk dan patuh kepada hukum tersebut.

Halal dan haram dibutuhkan oleh setiap manusia, setiap hari dan setiap waktu bahkan dengannya kehormatan dihalalkan, wanita diharamkan dan seterusnya.

Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata tentang ilmu halal dan haram, “Dia adalah tiangnya agama islam yang dibutuhkan oleh semua orang.”

Asy-Syathiby berkata, “Maka sudah baku bahwa tidak boleh ada perselisihan dalam pokok syari’at, dan syari’at itu pun tidak diletakkan diatas perselisihan yang dijadikan sebagai rujukan yang diinginkan oleh pembuat syari’at, akan tetapi perselisihan tersebut kembali kepada pandangan manusia dan ujian yang berhubungan dengan mereka.

Peniadaan ikhtilaf dan mencelanya secara mutlak baik dalam perkara ushul maupun furu’ sudah absah dalam syari’at ini, karena jika ada satu cabang (furu’) yang berdiri diatas kehendak ikhtilaf, tentu adanya ikhtilaf itu sah secara mutlak, dan apabila perselisihan itu sah dalam masalah tertentu, berarti setiap perselisihan itu sah dan ini jelas batil beserta konskwensinya”.

Ibnul Qayyim berkata, “Sesuatu yang maklum secara yakin dengan nash, serta ijma’ shabat dan tabi’in –inilah yang disebut oleh para ulama sebagai nash- bahwa para ahli ijtihad yang berbeda pendapat dalam hukum-hukum syari’at tidak semua sama, tapi diantara mereka ada yang benar dan ada yang salah, sehingga pendapat dalam masalah yang mereka namakan ‘ushul’ dan masalah furu’ terbagi menjadi dua : yang sesuai dengan kebenaran dan yang tidak sesuai dengannya.

Maka perselisihan dalam suatu masalah hukumnya halal atau haram sama saja dengan perselisihan dalam masalah apakah Allah terlihat atau tidak (pada hari kiamat) dari sudut ada yang benar dan ada yang salah.

Berdusta atas nama Allah dalam masalah ini secara sengaja atau tidak sama dengan berdusta atas nama-Nya dalam perkara lain, karena pemberi kabar itu (berarti) mengabarkan dari Allah bahwa Dia memerintahkan hal tersebut dan membolehkannya, lawannya pun mengabarkan bahwa Allah melarang hal itu dan mengharamkannya, dan salah satunya sudah pasti salah”.

Kata Asy-Syaukany, “Dikatakan bahwa larangan berpecah dan berselisih itu hanya untuk masalah ushul (pokok-pokok agama), adapun masalah furu’ (fiqih) yang bersifat ijtihad, perselisihan itu boleh karena para sahabat, tabi’in dan orang yang mengikuti mereka senantiasa berselisih dalam hukum-hukum kontemporer.

Pendapat ini perlu ditinjau kembali, karena pada masa itu orang yang mengingkari pendapat lawannya juga ada, sedangkan menghususkan bolehnya perselisihan dalam sebagian masalah agama tanpa sebagian lainnya tidak benar, karena masalah-masalah syari’at itu semuanya satu derajat dalam penisbatannya kepada syari’at.”

Bolehkah mengambil pendapat yang paling ringan ?

Asy-Syathiby berkata dalam kitab Al-muwafaqaat (4/148-149), “Orang yang suka mengambil pendapat yang paling ringan berdalil dengan ayat :

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ

“Allah menginginkan buat kalian kemudahan.” (Al-Baqarah : 185)

Juga firman-Nya :

وما جعل عليكم فى الدين من حرج

“Dan Dia tidak menjadikan dalam agama ini kesulitan.”

Juga sabda Nabi r :

لا ضرر ولا ضرار

“Tidak boleh (berbuat) kemudlaratan dan tidak boleh memberikan kemudlaratan.”

Dan semua itu meniadakan syari’at yang berat dan sulit.

Dari sudut qiyas : bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha Mulia sedangkan hamba itu faqir dan butuh, apabila terjadi pertentangan pada dua sisi tersebut maka mengambil kemudahan itu lebih utama.

Jawaban (syubhat ini) sama dengan yang terdahulu, yaitu bahwa perbuatan tersebut menjerumuskan kepada pengguguran syari’at secara global, karena taklif itu semuanya berat, makanya disebut taklif karena kata taklif berasal dari Al-kulfah yang berarti sulit.

Jika kesulitan –yang merupakan makna taklif- tersebut harus dihilangkan dengan syubhat-syubhat tadi, konskwensinya adalah dihilangkanya syari’at bersuci, shalat, zakat, haji dan lainya secara tidak terbatas sampai akhirnya hamba tidak lagi mempunyai taklif dan ini mustahil.”

Kaidah lainnya yang rusak

Dekat dengan kaidah adanya keluasan dalam masalah yang diperselisihkan adalah kaidah adanya keluasan dalam masalah yang bersifat zhanniyy (praduga), dan wajib mengambil masalah yang qath’iy (yakin). Kaidah ini dicetuskan oleh Doktor Sholah Shawy dalam kitabnya “Ats-Tsawabit wal mutaghayyiraat.”

Dia menamakan masalah qath’iy dengan tsawabit (baku) dan masalah zhanny dengan mutaghoyyirat (relatif), dan konskwensinya sama dengan kaidah yang lalu. Dia menjadikan tanda nash yang bersifat zhanny itu adalah adanya perselisihan dalam nash tersebut, dan memasukkan sebagian masalah akidah dalam bagian mutaghoyyiraat (relatif) disebabkan adanya perselisihan dalam masalah tersebut.

Asy-Shawy berkata, “Maksud fasal ini adalah membedakan perkara tsawabit dan mutaghoyyiraat, dan perkara qath’iy dari perkara yang masih bersifat zhanny agar kita tidak melampaui batas hukum yang pasti dibawah slogan ilmu hadits dan menghidupkan (sunnah) sehingga barisan kita kacau balau gara-gara perselisihan dalam masalah yang masih bersifat praduga disebabkan adanya slogan salafiyyah, berpegang pada masalah pokok dan menjauhi ahli bid’ah.”

Ash-Shawy menafsirkan qath’iy itu adalah nash sahih yang tidak ada penentangnya, atau ijma yang tidak ada penyelisihnya, kecuali perselisihan yang merupakan kesalahan yang tidak boleh diterima.

Jika memperhatikan penafsiran Ash-Shawy terhadap qath’iy dan zhanny, anda bisa mengetahui bahwa dia belum menyimpulkan sebuah kaidah umum, karena adanya perselisihan pada sebuah nash sama sekali tidak mempengaruhi sifatnya yang qath’iyy, banyak sekali masalah-masalah furu’ yang bersifat qath’iy walaupun terjadi padanya perbedaan pendapat.

Qath’iy itu adalah sesuatu yang penunjukkannya harus bersifat tetap, maka adanya penyelisih yang tidak mengetahui ke-qath’iyyan sebuah nash tidak mempengaruhi ketetapan yang ada padanya.

Kemudian, perkara qath’iy dan zhannyy bukan sifat untuk perkataan itu sendiri tapi perkara tambahan (idlofy) yang disesuaikan dengan keadaan orang yang meyakininya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sebuah masalah itu dikatakan qath’iy dan zhannyy adalah perkara tambahan sesuai dengan keadaan orang yang meyakininya, bukan sifat untuk perkataan itu sendiri, karena seorang manusia bisa memastikan perkara yang dia ketahui secara langsung, atau dari nukilan orang yang dia percayai kejujurannya. Sementara orang lain belum tentu mengetahuinya baik secara pasti ataupun praduga.

Terkadang seseorang itu cerdas, otaknya tajam dan cepat faham sehingga bisa mengetahui kebenaran itu secara yakin, sementara orang lain tidak bisa mengetahuinya baik secara yakin maupun praduga. Jadi perkara itu bersifat qath’iy atau zhanny sesuai dengan bukti yang didapat oleh manusia, juga sesuai dengan kemampuan mereka dalam mencari bukti.

Manusia itu berbeda-beda dalam masalah ini, adanya masalah qath’iy dan zhannyy bukanlah sifat yang tetap untuk pendapat yang diperselisihkan tersebut, sehingga dikatakan : setiap orang yang menyelisihnya berarti telah menyelisihi sesuatu yang qath’iyy, tapi itu adalah sifat orang yang berdalil dan berkeyakinan, sedangkan manusia dalam hal itu berbeda-beda. Dari sini diketahui bahwa pembedaan tersebut tidak tepat.”

Di dalam Kitab ‘Atsawabit wal mutaghoyyiraat’ banyak perkara yang harus dijauhi oleh pembacanya, dimana penulisnya seringkali memberikan udzur kepada para penyembah kuburan, wali-wali dan orang-orang shalih dengan alasan yang buruk dan pembagian yang batil. Terkadang dia menganggap bahwa beristighatsah kepada para wali merupakan tawassul yang masih diperselisihkan, dan menganggap thawaf dikuburan hanya perkara bid’ah belaka bukan kesyirikan, serta mencari-cari alasan bahwa thawaf tersebut hanya thawaf penghormatan bukan thawaf ibadah, demikian katanya !!!

Dia tidak tahu bahwa thawaf itu adalah ibadah dalam setiap keadaan, dan syari’at tidak pernah memerintahkan thawaf kecuali di baitullah saja.

Kemudian, penyifatan thawaf dengan penghormatan tidak mengeluarkannya dari lingkup ibadah, bahkan menegaskannya karena dia menyamakan kedudukan kuburan dengan ka’bah sehingga dia mensyari’atkan thawaf penghormatan untuknya !!

Ash-Shawy berkata, “Setelah sepakat untuk menerima ta’wil sebagai pokok dalam memutuskan hukum, terjadi perselisihan untuk menerima ta’wil dalam masalah itu sendiri, seperti menerima ta’wilan kaum sufi yang membolehkan nadzar yang dipersembahkan kepada ahli kubur, dengan syarat nadzar itu karena Allah sedangkan pahalanya dihadiahkan untuk para wali Allah.

Demikian pula dalam masalah do’a yang mereka tujukan kepada ahli kubur, dengan syarat maksudnya adalah meminta syafa’at kepada Allah melalui wali, dan mayit yang ada di kuburan tersebut mendengar sebagaimana yang dipegang oleh banyak ahli ilmu.

Demikian pula thawaf dikuburan dengan syarat thawaf itu untuk tahiyyat (penghormatan) bukan sebagai ibadah, paling banter masalah ini termasuk bid’ah bukan syirik, dan juga memohon bantuan (kepada ahli kubur) dengan syarat berupa do’a dan meminta syafa’at kepada Allah sehingga masuk kedalam tawassul yang masih diperselisihkan.”

Dia juga memberikan udzur untuk orang yang sujud kepada wali dengan alasan penghormatan, katanya, “Oleh karena itu berbeda antara orang yang sujud kepada wali untuk penghormatan yang wajib kepada mereka, disertai pahala untuk pelakunya sebagai sebuah taqorrub kepada Allah dengan orang yang sujud kepada sapi atau manusia dari kaum hindu, majusi dan lainnya.

Karena syubhat pada masalah pertama itu ada, dan kemungkinan jahil itu dekat, adapun masalah kedua, perkara tersebut sangat berbeda dan pemberian udzur tidak tepat, karena tidak ada syari’atnya mengagungkan sapi atau manusia, tapi syari’at menganjurkan untuk mencintai dan memuliakan orang-orang shalih dan bertabarruk dengan bekas-bekas mereka adalah perselisihan yang diterima, bahkan syari’at terdahulu menyebutkan sujudnya saudara-saudara Yusuf kepada Yusuf demikian pula sujud kedua orang tuanya kepadanya, dan sebelumnya juga sujudnya malaikat kepada Adam sebagai sujud penghormatan bukan sujud ibadah.

Melangkah perlahan (tadarruj) mulai dari penghormatan yang didisyari’atkan menuju tabarruk yang dilarang bisa terjadi, dan kemungkinan untuk tetap itu dekat, ‘perhatikanlah‘.

Dia melecehkan salafiyyin dan mengagungkan harakah yang dia sebut sebagai harakah jihad, katanya, “Adapun madzhab-madzhab ilmiyyah adalah harakah ihyaiyyah yang kebanyakan bergumul dalam lingkup islam dan berdakwah kepada sejumlah pokok-pokok ilmiyah dan amaliyah, anda lihat keyakinanya termasuk konskwensi iman, tapi tidak mau menghadapi musuh yang berasal dari selain kaum muslimin dan tidak mempunyai program terencana untuk merubah kenyataan.”

Sementara lingkup gerakan harakah jihad berbeda dengan ruang lingkup gerakan madzhab ilmiyah.

Harakah jihad memobilisasi umat dengan segala macam golongannya untuk menghadapi bahaya (musuh), berdiri tegak diatas pokok keberadaannya, berusaha mencabut akarnya, dan ikatan wala dan bara’nya, serta berpegang dengan islam secara global, dan bersiap-siap untuk ikut serta dalam jihad ini.

Adapun madzhab-madzhab ilmiyah, gerakannya tertuju pada orang yang telah ada ikatan islamnya, untuk mendakwahi dia agar memegang pilihannya dalam masalah ilmiyah dan amaliyah. Musuh mereka berkisar sekitar bid’ah dan perkara yang diada-adakan, sementara wala dan bara’ nya hanya sebatas untuk berpegang teguh kepada pilihannya saja dan melarang memilih madzhab lainnya.

Saya katakan, “Kebohongan yang diada-adakan ini tidak akan menipu orang yang mempunyai ilmu dan terbebas dari hawa nafsu. Salafiyyin sendiri pada zaman sekarang adalah orang yang senantiasa menegakkan agama dan daulah yang benar, (yaitu) dakwah mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab dengan kitabnya yang memberi petunjuk, dan pedang penolong Muhammad bin Su’ud rahimahullah.”

Adapun harakah jihad yang diagungkan oleh Ash-Shawy dan mempunyai program yang jelas (menurut sangkaan mereka) sama sekali tidak pernah menegakkan agama, tidak juga memperbaiki dunia, bahkan kaum muslimin telah merasakan dua perkara tersebut dan urusan mereka kembali kepada keburukan yang lebih dahsyat dari keadaan sebelum terjadinya kekacauan harakah jihad.

Manakah dari dua kelompok tersebut yang patut dibanggakan jika kalian mengetahui ??!

Kitab itu (ats-tsawabit wal mutaghoyyirat) mengandung banyak perkara yang harus dijauhi yang tidak bisa dimuat oleh risalah yang ringkas ini, mudah-mudahan Allah memberikan kemudahan buat orang yang melaksanakan kewajiban ini.

Tidak setiap yang salah itu mendapat pahala

Imam Syafi’iy berkata, “Barang siapa yang bersusah diri dalam perkara yang tidak diketahuinya atau belum dia kuasai, maka kesesuaiannnya dengan kebenaran tidaklah terpuji, kesalahannya tidaklah dimaafkan, apabila dia berbicara dalam perkara yang tidak dia kuasai untuk membedakan yang salah dengan yang benar.”

Perkataan Imam Syafi’iy ini adalah cahaya wahyu, berapa banyak perselisihan itu terjadi disebabkan berkata atas nama Allah I dengan tanpa ilmu, Allah I berfirman :

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ

“Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (Al-‘Israa’ : 36)

Dan hadits Buraidah tentang macam-macam qadli :

اثْنَانِ فِى النَّارِ : رَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِى النَّارِ

“Dua orang masuk neraka : …seseorang yang menghukumi manusia dengan kejahilan, maka dia di dalam neraka….”

Sebagaimana dikatakan, “Jika dia diam dalam perkara yang tidak dia ketahui niscaya akan hilang perselisihan.”

Berapa banyak perselisihan terjadi disebabkan karena penyimpangan terhadap Al-Qur’an dan As-Sunnah, mengikuti pendapat orang yang diagung-agungkan, atau pendapat yang diada-adakan atau syubhat yang menyesatkan, firman-Nya :

وَمَنْ يُشاقِق الرَّسُوْلَ مِن بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا

“Dan barang siapa yang menentang Rasul setelah jelas kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman. Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dia kuasainya itu dan kami masukkan ia kedalam neraka Jahannam. Dan jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (An-Nisaa’ : 115).

Banyak perselisihan yang terjadi setelah tampak kebenaran dengan sejelas-jelasnya, tapi sebagian orang menyelisihinya bukan karena hukum itu tersembunyi tapi karena melampaui batas ?! Mereka itu tidak diragukan lagi kezhaliman dan dosanya.

Syaikhul Islam berkata, “Sesungguhnya hukum syari’at yang telah ditegakkan dalil yang qath’iy dan meyakinkan, apabila telah sampai kepada seorang mukallaf dan mampu untuk mengikutinya, kemudian dia menyalahinya karena melampaui yang Allah I tetapkan, maka tidak diragukan lagi bahwa dia salah dan berdosa. Perbuatan ini sebagai sebab datangnya adzab Allah I di dunia dan akhirat.”

Kata beliau lagi, “Maka barang siapa yang kesalahannya berasal dari pelecehan dia terhadap apa yang diwajibkan kepadanya berupa mengikuti Al-Qur’an dan iman, atau karena melampaui batas Allah dengan cara mengikuti jalan yang dilarang Allah, atau karena mengikuti hawa nafsunya tanpa ada petunjuk dari Allah, maka dia adalah zalim dan termasuk ahlul wa’iid (orang yang mendapat ancaman Allah).”

Kapan yang salah itu diberikan udzur ?

Apabila seorang ulama telah mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk mencari Al-haq, disertai niat yang baik dan mengikuti jalannya kaum mukminin dalam mencari kebenaran dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sementara dia menguasai alat untuk mengetahui kebenaran, lalu salah dalam menentukan hukum Allah, maka kesalahannya diampuni, bahkan dia diberikan pahala atas ijtihad dan ketakwaannya, sebagaimana Nabi r bersabda :

إِذَا اجتهد الحاكم فأخطأ فله أجر

“…apabila seorang hakim berijtihad kemudian salah maka baginya satu pahala.”

Seorang ulama tidak mungkin tidak pernah salah, dan tidak ada satu ulamapun yang mengaku dirinya tidak pernah bersalah, karena mendapatkan kebenaran dalam seluruh hukum adalah mustahil atau sulit.

Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata, “Para ulama semuanya yang terdahulu maupun yang belakangan mengakui bahwa tidak satupun dari mereka yang sampai kepada derajat menguasai seluruh ilmu tanpa ada salahnya sedikitpun, oleh karena itu para ulama salaf yang disepakati keutamaan dan ilmunya senantiasa menerima Al-haq itu dari siapa saja datangnya, walaupun lebih muda usianya. Mereka menyuruh teman dan para pengikutnya untuk senantiasa menerima Al-haq dari selain dia apabila telah nampak.”

Akan tetapi perlu diketahui bahwa syari’at tidak boleh terpengaruh dengan pendapat seorang ‘alim dengan ijtihadnya kemudian salah walaupun ‘alim itu termasuk generasi yang paling utama dari umat ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Oleh karena itu para sahabat apabila berbicara dari hasil ijtihadnya, mereka menyucikan Syar’iat Rasulullah r dari kesalahan mereka dan orang lain, sebagaimana Ibnu Mas’ud berkata dalam masalah mufawwidloh, Saya katakan, ini dengan ijtihadku, jika benar maka itu berasal dari Allah dan jika salah maka itu berasal dariku dan dari syetan, sedangkan Allah dan Rasul-Nya berlepas diri darinya.

Demikian pula sebagaimana diriwayatkan dari Abu Bakar Ash-Shiddiq dalam masalah Kalalah, dan diriwayatkan dari Umar dalam sebagian perkara, padahal mereka memutuskannya dengan benar pada masalah tersebut sampai didapati dalil yang menyesuai mereka, sebagaimana dalil menyesuaikan ijtihad Ibnu Mas’ud dan lainnya.

Mereka adalah orang yang paling tahu tentang Allah dan Rasul-Nya, tentang kewajiban mengagungkan Syari’at rasul r untuk menisbatkan kepadanya kecuali apa yang mereka ketahui, adapun perkara yang mereka salah di dalamnya, mereka berkata, ‘Allah dan Rasul-Nya berlepas diri darinya’.”

Patokan masalah ijtihad

Banyak masalah kontemporer pada zaman ini, masalah yang tidak ada nashnya secara khusus, akan tetapi tidak diragukan lagi bahwa syari’at telah mencakup seluruh masalah karena kesempurnaannya.

Syari’at mempunyai kaidah umum sebagai tempat kembalinya permasalahan-permasalahan seperti ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya nash-nash syari’at itu kata-katanya mencakup, permasalahannya global dan kaidahnya umum, tidak mungkin setiap perkara yang ada didunia ini disebutkan oleh nash secara sangat rinci, maka harus ada ijtihad dalam beberapa perkara, apakah perkara tersebut masuk dalam keumuman nash atau tidak ?.”

Tapi sayang, persoalan-persoalan kontemporer justru menjadi sebab jauhnya para pemuda dari para ulama, dan sebagian penuntut ilmu mempunyai pendapat sendiri dalam persoalan tersebut yang menyalahi pendapat para ulama besar yang diakui kedalaman ilmunya, kebaikan niatnya dan perjalanan hidupnya.” Apabila dikritik, dia akan menjawab, “Dalam masalah ijtihad tidak boleh saling mengingkari !”

Kaidah tersebut memang benar, akan tetapi persoalannya tidak seperti apa yang mereka inginkan. Maka harus ada sandaran dan adab dalam masalah ijtihad :

Pertama : Bahwa masalah ijtihad harus diserahkan kepada ahlinya yaitu para ulama.

Asy-Syathiby berkata, “Ijtihad yang dianggap oleh syari’at adalah ijtihad yang berasal dari ahli agama yang telah menguasai ilmu sebagai sarana dalam berijtihad.”

Kedua : Mashlahat memadukan umat dengan ulamanya lebih baik dari pada mengikuti penuntut ilmu yang nyeleneh.”

Ibnu Abil ’Izz berkata, “Nash Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijma’ salaf telah menunjukkan bahwa ulil amri, imam shalat, hakim, panglima perang dan ‘amil zakat harus ditaati dalam tempat-tempat ijtihad dan tidak wajib mengikuti ijtihad para pengikutnya, tapi yang wajib adalah mentaati mereka dan menyerahkan pendapat mereka kepada pendapatnya, karena mashlahat persatuan dan mafsadah perselisihan lebih besar dari perkara juz’iyyat (cabang).”

Inilah fiqih, karena sesungguhnya ulama itu termasuk dari dua jenis ulil amri yang wajib ditaati, jika mentaati mereka dalam persoalan kontemporer tidak wajib, lantas kapan wajibnya mentaati mereka ?!

Masalah-masalah yang ada nashnya, mentaati para ulama haruslah sesuai dengan dalil dari Allah dan Rasul-Nya. Maka hendaknya orang yang berakal itu memperhatikan masalah ini.

Ketiga : Bermusyawarah dengan para ulama, hal itu sebagai bukti atas keilmuan orang yang mengajak bermusyawarah dan mengikuti perintah Allah serta petunjuk Rasulullah r dan para sahabatnya. Sedangkan meninggalkan bermusyawarah dengan ulama adalah bukti kekurangan ilmu pelakunya”.

Ibnul Qayyim berkata, “Jika dia mempunyai orang yang bisa dipercaya keilmuannya, maka hendaklah dia mengajaknya bermusyawarah dan janganlah dia berdiri sendiri untuk menjawab (persoalan itu) dan bersombong untuk meminta bantuan fatwa para ulama, karena hal itu termasuk kejahilan.

Allah memuji kaum mukminin yang selalu melakukan musyawarah, Allah I berfirman kepada Nabi-Nya : وشاورهم فى الأمر “dan ajaklah mereka bermusyawarah.”

Umar bin Khatthab t pernah ditimpa masalah, kemudian beliau pun bermusyawarah dengan para sahabat yang hadir, terkadang beliau mengumpulkan mereka untuk bermusyarah sampai-sampai beliau mengajak Ibnu Abbas t musyawarah padahal beliau pada waktu itu umurnya paling muda, beliau juga pernah mengajak Ali, Utsman, Thalhah, Zubair, Abdurrahman bin Auf dan sahabat lainnya y untuk bermusyawarah.”

Ibnu Abbas t berkata, “Saya pernah bertanya kepada 31 sahabat dalam suatu persoalan.”

Keempat : Sebagian persoalan dan masalah kontemporer kesalahannya sangat jelas dan terang sehingga tidak boleh menolak orang yang mengingkarinya karena semata-mata alasan bahwa masalah ijtihad itu tidak boleh diingkari.

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin berkata ketika membantah orang yang membolehkan demontrasi dengan alasan diatas tadi, “Masalah ijtihad ada dua bagian :

Pertama adalah bagian yang kita ketahui kemungkarannya, maka wajib kita ingkari.

Kedua adalah bagian yang meragukan, dan inilah yang tidak boleh diingkari.”

Inilah yang diamalkan oleh seluruh ulama besar, mereka mengingkari demontrasi dan semisalnya seperti Syaikh Al-’Allaamah Abdul’Aziz bin Baaz, Al-’Allaamah Al-bany, Al-’Allaamah Shalih Fauzan dan ulama lainnya, dan mereka tidak menerima syubhat-syubhat yang sangat lemah seperti diatas.

Menjelaskan kesalahan itu wajib

Sudah maklum bahwa Allah I menjaga umat ini agar tidak bersepakat diatas kesesatan, adapun secara individu Allah tidak menjaga mereka dari kesalahan, baik itu Abu Bakar Ash Shiddiq t atau pun yang lainnya.

Ahlul haq dari umat ini tak akan dikalahkan oleh kebatilan, sehingga kebenaran itu tidak akan terisolir, apabila sebagian umat ini berada dalam kesalahan, Allah pasti menegakkan orang yang senantiasa di atas kebenaran, dan menerangkan kebenaran yang wajib diikuti serta kesalahan yang wajib dijauhi.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Para nabi semuanya terjaga (ma’shum) dari menyetujui kesalahan, berbeda dengan para ulama dan umara yang tidak ma’shum. Oleh karena itu kita wajib menerangkan Al-haq yang wajib diikuti itu, walaupun ada padanya penjelasan tentang kesalahan para ulama dan umara tersebut.”

Penjelasan ini termasuk mengingkari yang mungkar untuk menjaga dan melindungi syari’at ini agar tidak diwarnai oleh kesalahan ulama, dan ini termasuk nasihat untuk Allah, kitab-Nya dan Rasul-Nya.

Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Termasuk dari nasihat untuk Allah, kitab-Nya, dan rasul-Nya adalah membantah hawa nafsu yang menyesatkan dengan mempergunakan Al-Qur’an serta As-Sunnah –dan ini husus untuk para ulama- juga menjelaskan kandungannya yang menyalahi hawa nafsu seluruhnya, demikian pula membantah pendapat-pendapat yang lemah dari kesalahan para ulama disertai dalil Al-Qur’an dan As-Sunnah yang menolaknya.”

Ini adalah kaidah agung yang disamarkan oleh penyeru persatuan, mereka mencemooh orang yang menegakkan pokok ini dengan menamainya sebagai da’i fitnah ! Perkara ini sangat berbahaya, karena bid’ah dan kesalahan terlindungi oleh slogan menghilangkan fitnah yang mereka dengungkan, sedangkan perbuatan mereka adalah fitnah yang paling besar karena berakibat terlindungnya kebatilan dan menyerang orang yang mengingkarinya.

Bahkan mereka hampir menempatkan dalil-dalil tentang khawarij terhadap orang yang mengingkari (bid’ah), mereka berkata, “Da’i-da’i khawarij yang membunuh orang islam dan membiarkan para penyembah berhala.”

Orang yang mempunyai ilmu mengetahui bahwa hal ini adalah sebuah kebohongan, dan bahkan mereka telah menjalani jalannya pendahulu mereka yang menuduh ahli iman sebagai khawarij.

Ibnul Qayyim berkata dalam qashidah nuniyyahnya :

Termasuk dari keajaiban adalah mereka berkata,

Kepada orang yang tunduk kepada atsar dan Al-Qur’an.

Kalian telah menyamai kaum khawarij dengan pendapat itu,

Yang mengambil zhahir nash tanpa melihat makna sebenarnya.

Lihatlah kepada kebohongan ini dan itulah sifat mereka,

Yang menisbatkan ahli iman kepada kelompok khawarij.

Demikianlah mereka menolak kebenaran dengan cara mengacau dan menyifati dengan sifat yang paling buruk agar orang lari darinya sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qayyim, “Berapa banyak kebenaran itu ditolak dengan cara memburuk-burukkannya dengan memakai pakaian kata-kata yang kotor.”

Jika kaidah ini ditinggalkan, maka kebatilan dan kesalahan itu akan mengalahkan kebenaran, kesesatan mengalahkan petunjuk dan bid’ah mengalahkan sunnah, cukuplah Allah bagi kita dan Dia adalah sebaik-baiknya penolong.

Yang benar, ahli bid’ah itulah khawarij karena mereka telah keluar dari syari’at dengan mengikuti hawa nafsu mereka, Abul wafa Ibnu’Aqil berkata dalam kitab ‘Al-funun’ (1/109), “Sebagaimana tidak baik dalam mengurus kekuasaan untuk membiarkan orang yang ingin membangkang kepada penguasa, juga tidak baik membiarkan orang yang berbuat bid’ah dalam agama, karena rusaknya agama dan berbuat bid’ah seperti rusaknya negara dengan cara mebangkang kepada penguasa, karena ahli bid’ah itu telah membangkang dari syari’at.”

Lebih bahaya dari yahudi dan nashrani

Bahaya ahli bid’ah yang menyesatkan kaum muslimin lebih besar dari bahaya Yahudi dan Nashrani, karena ahli bid’ah itu merusak hati secara langsung sedangkan Yahudi, Nashrani dan penjajah negeri islam merusak hati secara tidak langsung.

Kesesatan Yahudi dan Nashrani itu telah jelas bagi kaum muslimin, sedangkan ahli bid’ah tidak setiap orang mengetahui kesesatanya.

Syaikhul islam berkata, “Kebanyakan ahli bid’ah itu munafiq dengan kemunafikan yang besar.”

Oleh karena itu para ulama telah memperingatkan bahwa mengingkari kemungkaran ahli bid’ah itu lebih utama dari pada mengingkari kemungkaran Yahudi dan Nashrani, bahkan mereka berpendapat bahwa memecat seorang guru ahli bid’ah dari sebuah sekolah itu lebih baik dari mengeluarkan orang kafir dari sebuah negeri.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Termasuk dari hikayat masyhur yang sampai kepada kami adalah bahwa Syaikh Abu ‘Amru Ibnu Sholah menyuruh untuk mengambil alih sekolah yang dipegang oleh Abul Hasan Al-Amidy, beliau berkata, ‘Mengambil sekolahan itu darinya lebih baik dari mengambil negeri ‘Akka.”

Syaikh Hamid Al-Faqi mengomentari, “Maksud beliau adalah mengambil negeri ‘Akka dari Perancis yang pada waktu itu menjajah negeri syam, dan mesir pada abad keenam.”

Kata Syaikhul Islam ketika membantah kaum sufi, “Perkataan ini dan semisalnya termasuk kebatilan yang paling besar, kami telah menjelaskan dengan kalimat yang diketahui maknanya bahwa hal itu adalah batil dan wajib diingkari, karena mengingkari kemungkaran yang banyak tersebar dikalangan kaum muslimin ini lebih utama dari pada mengingkari Yahudi dan nashrani dimana kaum muslimin tidak tersesat oleh mereka.”

Imam Ahmad berpendapat bahwa bolehnya minta bantuan kepada Yahudi dan Nashrani dari pada meminta bantuan kepada kaum jahmiyyah. Al-Marwazy berkata kepada Imam Ahmad, “Mengapa meminta bantuan kepada yahudi dan nashrani itu boleh sedangkan mereka itu kaum musyrikin, sementara meminta bantuan kepada kaum jahmiyyah tidak boleh ?” Jawab beliau, “Wahai anakku kaum muslimin akan terpengaruh oleh mereka.”

Ini adalah pernyataan tokoh dan ulama Ahlus Sunnah, tapi muncul orang yang mencemoohkan para ulama zaman ini, saya tidak tahu kenapa mereka tidak mencemooh Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah ?!

Perselisihan yang muncul akibat bantahan lebih ringan dari pada tersebarnya bid’ah dan kesalahan

Bab ini tidak diketahui oleh banyak orang awam, mereka berkata, “Mengapa para ulama itu saling mencela satu sama lainnya-?”

Bahkan sebagian penuntut ilmu pun memohon agar dihentikan bantahan kepada ahli bid’ah dan orang-orang yang jatuh kedalam kesalahan, dengan alasan persatuan.

Apakah mereka tidak tahu bahwa bid’ah dan kesalahan itu menyeret kepada perpecahan dan mengeluarkan manusia dari jalan yang lurus? Jalan-jalan yang bengkok itu tidak akan bisa menghasilkan persatuan.

Kemudian, kalau pun ditaqdirkan bahwa kita menjawab keinginan mereka, sesungguhnya perselisihan tidak akan hilang karena Allah telah mentaqdirkan adanya perselisihan, oleh karena itu kewajiban kita adalah membantah ahli bid’ah dan kesalahan untuk menjaga syari’at ini dari perubahan (tahrif).

‘Ashim Al-Ahwal berkata kepada Qatadah, “Mengapa para ulama itu saling membantah satu sama lain ? Beliau menjawab, “Wahai Ahwal ! Apakah kamu tidak tahu bahwa seseorang yang berbuat bid’ah selayaknya disebut sehingga orang-orang pun menjauhinya.”

Asy-Syathiby berkata ketika membantah ahli bid’ah dan kesalahan, “Orang semacam mereka harus disebut (namanya) dan disebarkan, karena bahayanya terhadap kaum muslimin apabila dibiarkan lebih besar dari bahaya yang muncul akibat menyebut (nama) mereka dan membuat orang lari dari mereka apabila sebab meninggalkan penyebutan nama itu adalah takut dari permusuhan dan perpecahan.

Tidak ragu lagi bahwa perpecahan antara kaum muslimin dengan para penyeru bid’ah itu lebih ringan dari perpecahan antara kaum muslimin dengan para penyeru kebenaran beserta orang-orang yang mengikutinya.

Apabila kita dihadapkan pada dua bahaya, yang diambil adalah yang paling ringan bahayanya, karena keburukan itu terkadang lebih ringan dari yang lainnya seperti mengamputasi tangan yang busuk lebih ringan dari pada nyawa yang melayang.

Ini adalah hukum syari’at selama-lamanya, yaitu mengambil yang lebih ringan untuk menghindari bahaya yang lebih besar.”

Berpaling dari kebenaran setelah jelas padanya termasuk dosa besar

Para sahabat dan tabi’in berselisih, orang yang benar menjelaskan kesalahan kepada orang yang salah dan menjelaskan kebenaran dengan dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Apabila orang yang salah itu tetap bersikeras dengan kesalahannya setelah dijelaskan kepadanya Al-haq, dicela dan diperingati dan terkadang diisolir (hajr). Walaupun masalah tersebut –menurut sebagian mereka- sebagai masalah yang ringan, dan kecil bukan masalah yang besar. Tidak ada satu pun dari mereka yang berkata, “Saling memaafkan dalam perkara yang kita perselisihkan !! Yang demikian itu karena hal tersebut penyimpangan dari dalil dan berpaling dari kebenaran setelah jelas baginya serta bersikeras dengan kebatilan. Semua ini menghancurkan ittiba’.

Abul Qasim Al-Ashbahany dalam kitab Al-hujjah fi bayanil mahajjah (2/233) berkata, “Ittiba’ menurut ulama adalah mengambil sunnah Rasulullah r yang sahih dari ahlinya, rawi yang menukilnya, dan para penghafalnya disertai ketundukan dan kepatuhan kepada perintah Nabi r .“

Abdullah Ibnu Umar y berkata, “Saya mendengar Rasulullah r bersabda, “Janganlah kamu melarang istri-istrimu (untuk shalat) di masjid, jika mereka meminta izin kepadamu.” Anak beliau yang bernama Bilal berkata, “Demi Allah saya akan melarang mereka.” Mendengar itu Ibnu Umar t pun mencelanya habis-habisan.

Abdullah bin Mughoffal ketika melihat salah seorang temannya melontar dengan pelanting berkata, “Jangan melontar karena Rasulullah r melarangnya.” Tapi temannya itu kembali melakukannya, lalu Abdullah bin Mughaffal berkata, “Saya katakan padamu bahwa Rasulullah r melarangnya, lalu kamu melakukannya lagi !! saya tidak akan mengajakmu berbicara selama-lamanya.”

Hendaknya dibedakan antara orang yang bersikeras dengan kebatilannya setelah jelas baginya kebenaran, maka orang tersebut tidak dimaafkan. Dengan orang yang jahil atau bertakwil, maka jenis ini diberikan maaf.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam majmu’ fatawa (3/288) berkata, “Adapun orang yang bertakwil, dan orang jahil itu diberikan uzur, hukum mereka tidak sama dengan hukumnya orang yang bersikeras dengan kebatilan, tapi Allah telah memutuskan bagiannya masing-masing.”

Demikian pula diberi maaf seorang ulama terdahulu karena takwilannya atau karena tidak sampai kepada mereka hujjah, adapun setelahnya tidak ada uzur, karena hujjah itu telah sampai dan syubhat telah dihilangkan.

Syaikhul Islam berkata, “Saya telah melihat makalah yang salah yang berasal dari seorang ulama terdahulu yang dimaafkan karena belum sampainya hujjah, adapun yang telah sampai kepadanya hujjah maka tidak diberi maaf berbeda dengan yang pertama, oleh karena itu orang yang mengingkari hadits-hadits tentang adzab qubur setelah sampai kepadanya, dihukumi sebagai ahli bid’ah. Sedangkan Aisyah dan yang sama keadaannya tidak dianggap berbuat bid’ah karena belum mengetahui bahwa mayit itu bisa mendengar dalam kuburnya (dalam masalah tersebut). Ini adalah pokok yang agung, maka perhatikanlah karena hal itu bermanfaat.”

Faidah emas dari Al-Wazir Ibnu Hubairah

Al-Wazir Ibnu Hubairah telah meneliti maksud-maksud syari’at dan kaidah-kaidah umumnya, beliau juga meneliti nash-nash yang menyuruh jihad terhadap kaum musyrikin dan ahli bid’ah, meneliti sirah khulafaur rasyidin dalam berjihad melawan kaum musyrikin, memperhatikan kerusakan yang ditimbulkan oleh ahli bid’ah dalam tubuh umat islam dan kerusakan yang ditimbulkan oleh musuh luar dari orang-orang kafir dan kaum musyrikin, beliau menyimpulkan bahwa kerusakan yang ditimbulkan oleh ahli bid’ah ternyata lebih dahsyat dari kerusakan yang ditimbulkan oleh kaum kuffar musyrikin.

Dimana ketika beliau menyebutkan hadits Ali bin Abi Thalib t yang menyebutkan tentang khawarij, beliau (Ali) berkata, “Diantara mereka ada seorang laki-laki yang tangannya buntung, atau pendek, atau kurus. Kalaulah bukan karena kalian meremehkan, niscaya akan saya ceritakan kepada kalian apa yang Allah janjikan buat orang yang membunuh mereka (kaum khawarij) melalui lisan Muhammad r.”

Al-Wazir Ibnu Hubairah berkata, “Dalam atsar tersebut ada beberapa faidah fiqih, diantaranya adalah pahala besar bagi orang yang membunuh khawarij, dan bahwa Ali takut para sahabatnya meremehkan, jika beliau mengabarkan tentang ganjaran orang yang membunuh khawarij.”

Beliau sebutkan ini agar tidak ada yang berpandangan bahwa memerangi kaum musyrikin lebih utama dari pada memerangi mereka ketika muncul, justru memerangi mereka (khawarij) lebih utama dari pada memerangi kaum musyrikin, sebagai penjagaan terhadap kemurnian islam yang merupakan modal utama, sedangkan memerangi kaum musyrikin adalah keuntungan dalam Islam.”

Muhammad bin Yahya Adz-Dzuhly berkata, “Saya mendengar Yahya bin Ma’in berkata, “Membela sunnah itu lebih utama dari berjihad dijalan Allah.” Saya berkata, “Ini lebih baik dari orang yang menginfakkan hartanya, dan menyusahkan dirinya untuk berjihad ? Jawab beliau, “Ya, sangat lebih utama.”

Inilah yang diyakini oleh para ulama kita, bahwa berjihad melawan ahli bid’ah adalah bagian utama ajaran Islam sedangkan jihad melawan orang-orang kafir dan atheis adalah cabang dari pokok tersebut.

Al-‘Allaamah Abdurrahman As-Sa’diy berkata, “Jihad itu ada dua macam : Jihad untuk kemashlahatan kaum muslimin, dan memperbaiki aqidah, akhlak dan seluruh urusan agama dan dunia mereka serta mentarbiyah mereka secara ilmu dan amal. Macam ini adalah pokok jihad dan pondasinya yang dibangun diatasnya macam jihad yang kedua : yaitu jihad dalam rangka berperang dengan orang yang ingin menghancurkan islam dan kaum muslimin dari orang-orang kafir, munafiq, atheis dan seluruh musuh agama.”

Timbangan ahli ilmu dan bersikap adil dalam mengkritik.

Kesalahan ulama terutama jika ulama tersebut termasuk ulama besar adalah fitnah untuk dua kelompok :

· Kelompok yang mengagung-agungkannya serta membenarkan dan mengikuti perbuatannya.

· Kelompok yang membencinya, sehingga menjadikan kesalahan tersebut perkara yang menjatuhkan martabat ketakwaan dan kewaliannya.

Kedua kelompok ini sesat, maka kita harus menelusuri jalan tengahnya. Ibnul Qayyim setelah menyebutkan kesalahan-kesalahan para ulama seperti Sufyan Ats-Tsaury, ‘Atha bin Abi Rabah, Al-A’masy dan ulama lainnya dalam beberapa masalah yang diperselisihkan berkata, “…dan kesalahan-kesalahan lainnya yang masih diperselisihkan oleh para ulama, tidak boleh seorang pun berhujjah dengan salah satu pendapat tersebut hanya semata-mata karena itu pendapat ulama madzhabnya, dan tidak boleh seorang ‘alim membiarkan tidak mengingkari mereka karena kedudukan mereka yang tinggi dalam ilmu dan agama serta menjelaskan apa yang dibawa oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Tidak boleh pula mencela para ulama (yang salah) dan menganggapnya sebagai orang fasiq dan berdosa karena kedudukan mereka yang tinggi dalam ilmu dan agama, tapi pendapat mereka tidak boleh dijadikan hujjah dan harus diingkari. Inilah timbangan ahli ilmu dan keadilan.

Orang yang menginginkan Allah, Rasul-Nya dan hari akhirat tidak akan puas mengikuti orang yang pendapatnya bukan hujah, tapi dia harus mengikuti jalan yang lurus dan apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an, As-Sunnah dan apa yang disepakati oleh para sahabat.”

DAMPAK NEGATIF AKIBAT PENGGUNAAN KAIDAH TERSEBUT

1. Kaidah tersebut bukan berasal dari salaf.

Kami telah menjelaskan dengan dalil-dalil yang telah diutarakan, bahwa kaidah (saling membantu dalam perkara yang disepakati dan saling memaafkan dalam perkara yang diperselisihkan) tidak ada asalnya dari amalan para sahabat t, justru amalan mereka sangat bertentangan dengan kaidah itu, anda lihat mereka menisbatkan dirinya kepada kesesatan apabila berpendapat dengan pendapat selainnya yang menunjukkan bahwa dia tahu perbuatan itu menyalahi kebenaran.

Kalau anda meminta dalil kepada pemegang kaidah itu dari generasi salaf yang utama pasti mereka tidak akan mampu. Kalaulah kaidah tersebut terpuji pasti akan dilakukan oleh generasi yang paling baik dan pilihan.

Allah I berfirman ketika mencela orang-orang kafir yang mengingkari keutamaan kaum mukminin dan menjadikan kabaikan itu hanya untuk mereka, firman-Nya:

وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُونَا إِلَيْهِ وَإِذْ لَمْ يَهْتَدُوا بِهِ فَسَيَقُولُونَ هَذَا إِفْكٌ قَدِيمٌ

“Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: "Kalau sekiranya dia (Al Qur'an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: ‘Ini adalah dusta yang lama’.” (Al-Ahqaaf : 11).

Ibnu Katsir berkata mengomentari ayat ini, “Adapun ahlussunnah wal jama’ah mereka menghukumi setiap perkataan dan perbuatan yang tidak berasal dari sahabat sebagai bid’ah, karena jika perbuatan tersebut baik, niscaya mereka akan mendahuluinya, karena tidaklah ada suatu perbuatan baik pun kecuali pasti mereka lakukan.”

Jika ada orang mengatakan, “Sesungguhnya salaf tidak membicarakan masalah ini, tapi mereka diam, sedangkan diamnya mereka tidak menunjukkan bahwa perkataan ini salah.”

Saya jawab, “Sesungguhnya dalil-dalil yang telah kami sebutkan membatalkan kaidah ini, kalaupun diperkirakan bahwa mereka diam, maka tidak lepas dari dua perkara :

Pertama : Mereka diam dalam keadaan mengetahuinya, maka hendaknya kita diam sebagaimana mereka diam.

Kedua : Mereka diam karena tidak mengetahuinya, maka tidak perlu kita mengetahui apa yang tidak mereka ketahui.”

Abu Hamid Al-Ghazaly berkata tentang lafadz dan kata yang tidak ada atsarnya, “Apa yang didiamkan oleh para sahabat padahal mereka adalah orang yang paling mengetahui hakikat (kebenaran) dan paling fasih dalam menyusun lafadz-lafadz, tidaklah mereka diam kecuali karena mereka tahu bahwa (lafadz tersebut) menimbulkan kejelekan.”

2. Jalan bid’ah

Konskwensi kaidah itu adalah memberikan uzur kepada semua pendapat yang berselisih dan menetapkan apa yang terkandung didalamnya, sebagaimana menetapkan perselisihan ulama dalam masalah ijtihad yang layak padanya perselisihan !! ini jelas jalan yang bid’ah.

Syaikhul islam Ibnu Taimiyah berkata, “…bagian lainnya adalah kaum yang tidak mengetahui aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah sebagaimana mestinya, atau hanya tahu sebagian saja dan tidak mengetahui yang lainya. Apa yang mereka ketahui terkadang mereka sembunyikan dan tidak menjelaskannya kepada manusia, mereka tidak melarang bid’ah tidak juga mencela ahli bid’ah, bahkan terkadang mereka mencela pembicaraan tentang sunnah dan pokok-pokok agama secara mutlak, terkadang pula mereka tidak bisa membedakan apa yang dikatakan oleh ahlus sunnah dengan apa yang dikatakan oleh ahli bid’ah, atau menetapkan seluruh madzhab yang berselisih sebagaimana menetapkan perselisihan para ulama dalam masalah ijtihad yang layak padanya perselisihan. Ini adalah keadaan banyak kaum murji’ah dan sebagian orang yang mengaku ahli fiqih, tasawuf dan filsafat.”

3. Pintu pembuka kesesatan

Jika kita mengambil konskwensi kaidah itu, tentu kita memberikan uzur kepada setiap penyelisih dan menetapkan setiap bid’ah dan kesesatan.

Kesalahan itu menjadikan kecil kesalahan lainnya, pertama kali dimaafkan kesalahan yang ringan sampai akhirnya kesalahan besarpun kita maafkan. Ibnu Taimiyah berkata, “Sesungguhnya timbulnya bid’ah pertama kali adalah (membiarkan bid’ah) yang ringan, dan semakin lemah orang yang memegang kebenaran semakin kuatlah bid’ah tersebut.”

Jika kita mengambil kaidah ini, tentu kita maafkan peminum nabidz, nikah mut’ah, penjualan dirham dengan dirham secara mufadlolah (kelebihan), orang yang makan pada bulan ramadlan setelah fajar sebelum matahari terbit, juga dimaafkan orang yang menikahi pelacur yang terus menerus melakukannya, orang yang menikahi wanita yang berzina seratus kali, juga dimaafkan orang yang beristighotsah kepada mayit, mengingkari sifat Allah, berkeyakinan jabariyyah dan mengingkari bahwa Allah terlihat pada hari kiamat.

Dan kita rela setelah itu dengan sedikit (kebenaran) yang dibawa oleh ahli bid’ah yang sesat, sementara kita maafkan kesesatan mereka dan saling membantu dalam sisanya berupa iman kepada adanya Allah yang menyelisihi kaum komunis sosialis.

Al-Khathaby berkata ketika berbicara tentang nabidz yang memabukkan, “Ada orang mengatakan bahwa sesungguhnya manusia ketika berselisih dalam masalah minuman, mereka bersepakat haramnya arak yang berasal dari anggur, dan berselisih tentang hukum arak yang bukan berasal dari angur. Kita mengambil apa yang disepakati oleh mereka dan memperbolehkan selainnya.”

Ini adalah kesalahan yang jelek, karena Allah telah memerintahkan untuk mengembalikan perselisihan kepada-Nya, maka setiap perselisihan tentang minuman harus dikembalikan pengharamannya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan telah ada dari Rasulullah r sabdanya, “Setiap minuman yang memabukkan adalah haram.” Beliau mengisyaratkan jenis dengan nama yang umum dan sifat yang husus yang merupakan alasan (illat) pengharaman, sehingga menjadi hujah yang membatalkan pendapat yang meyelisihinya.

Jika apa yang dikatakan oleh orang (diatas) tadi harus diambil, konskuensinya adalah menerima pendapat yang membolehkan riba, dan nikah mut’ah karena masalah tersebut diperselisihkan umat ini.

Asy-Syathiby menjelaskan kaidah rusak tersebut dan akibat jeleknya, beliau berkata, “Seperti lepasnya seseorang dari agama karena tidak mengikuti dalil tapi mengikuti perselisihan, juga seperti meremehkan agama dimana dengan ungkapan ini (agama) menjadi sebuah ajaran yang tidak mempunyai patokan yang jelas dan seperti meninggalkan sesuatu yang yakin kepada sesuatu yang tidak yakin.”

Saya berkata, “Bekerja sama dengan ahli bid’ah yang sesat menjadikan kita lemah pada waktu itu dan diam dari kemungkaran yang mereka lakukan pada waktu yang lainnya. Karena mereka tidak akan mau bekerja sama dengan orang yang mengingkari kebatilan dan bid’ahnya serta memperingatkan manusia dari bahaya mereka. Sesungguhnya jiwa itu benci untuk bekerja sama dengan orang yang diingkarinya, sedangkan manusia dikumpulkan bersama orang yang dicintainya.”

4. Menambah perselisihan dan perpecahan

Mengamalkan kaidah saling memaafkan dalam perkara yang diperselisihkan hanya akan menambah perpecahan umat dan penyebab tersebarnya sekte, madzhab dan keyakinan yang berbeda-beda.

Kaidah ini tidak akan menyelesaikan persoalan, justru semakin menambah buruk, selama semua sekte dimaafkan.

Syari’at datang untuk menyelesaikan perselisihan, dan menjadikan umat ini sebagai umat yang satu.

Al-Khatthaby berkata, “Adapun perpecahan dalam pendapat dan keyakinan itu terlarang secara akal, dan haram terjadi dalam masalah pokok, karena akan menjerumuskan kedalam kesesatan, dan penyebab tidak diberlakukannya (syari’at). Jika manusia dibiarkan berselisih, menjadi banyaklah sekte, agama dan pemikiran yang berbeda-beda dan tidak ada faidahnya pengutusan Rasul. Inilah perselisihan yang dicela oleh Allah I dalam Kitab-Nya dan dicerca dalam ayat yang telah disebutkan.”

5. Membuka jalan yang telah ditutup oleh syari’at

Allah I telah menyebutkan jalan yang lurus dan menjelaskan dengan segamblang-gamblangnya, menunjukkan kepadanya dengan sebaik-baiknya petunjuk dan Rasul r menyempurnakan penjelasan dan hujah tersebut.

Tidak ada di dunia ini kecuali jalan yang lurus (shirothul mustaqim) atau jalan-jalan yang bengkok. Allah I berfirman :

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

“Dan inilah jalanku yang lurus maka ikutilah dan janganlah kamu ikuti jalan-jalan lainnya niscaya akan memecah belah kalian dari jalan yang lurus.” (Al-An’am : 153).

Memberikan uzur kepada orang yang meyimpang sama saja meridloi jalan-jalan yang bengkok itu dan menyia-nyiakan jalan yang lurus.

Ibnul Qayyim berkata, “Sesungguhnya jalan yang menyampaikan kita kepada Allah hanya satu yaitu apa yang dibawa oleh Rasul-rasul-Nya, dan yang terkandung dalam kitab-kitab-Nya, seseorang tidak akan sampai kepada-Nya kecuali dengan melalui jalan ini, jika manusia mendatangi jalan lain dan masuk dari segala pintu, maka jalan-jalan itu tertutup dan pintunya pun terkunci kecuali jalan yang satu itu, jalan yang menghubungkan kita kepada Allah.”

Kebalikan kata-kata cahaya itu adalah perkataan orang yang mengatakan, “Kamu telah menjadikan sempit sesuatu yang luas ! kamu telah menyulitkan manusia ! padahal agama ini tidak menyulitkan ! dan yang semisalnya…..”

Asy-Syathiby berkomentar tentang perkataan tersebut, “Perkataan itu semuanya salah dan kebodohan terhadap tujuan syari’at.”

6. Bertentangan dengan perintah Allah

Mengamalkan kaidah ini dalam tempat tempat perselisihan, dengan cara memaafkan orang yang bersikeras dengan pendapatnya yang nyeleneh, keyakinannya yang rusak dan millahnya yang sesat bukan sesuatu yang Allah perintahkan justru tindakan tersebut bertentangan dengan perintah Allah akan wajibnya kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah ketika terjadi perselisihan sehingga menghukumi perkara yang diperselisihkan oleh manusia dan seluruhnya diatas jalan yang lurus dan agama yang lurus, inilah yang diwajibkan yaitu menjadikan perkataan Allah dan Rasul-Nya sebagai imam yang diikuti, adapun selainnya tidak boleh dijadikan sebagai panduan dalam keadaan apapun.

Tidak boleh seorang pun memaksakan manusia bahkan tidak boleh memberikan pilihan untuk mereka guna mengamalkan kaidah tersebut dan menjadikannya sebagai pokok sementara kaidah tersebut jelas menyalahi perintah Allah untuk mengembalikan perselisihan itu kepada Allah dan Rasul-Nya.

Lantas apa gunanya syari’at dan harga kebutuhan manusia kepadanya apabila setiap orang yang berbuat bid’ah atau mempunyai syubhat itu beri uzur sehingga tidak ada patokan yang jelas.

Allah I berfirman :

فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

“Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (An-Nisaa’ : 59)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Allah I telah memerintahkan dalam Al-Qur’an agar perselisihan itu dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya dan tidak memerintahkan agar mengembalikanya kepada selain keduanya.”

Inilah perintah dan hukum Allah ketika terjadi perselisihan, bukannya membiarkan setiap orang yang menyimpang itu diatas penyimpangannya, karena tindakan tersebut merupakan bid’ah yang diada-adakan bahkan meniadakan kemurnian mengikuti Allah dan Rasul-Nya.

Inilah batasan jelas antara muttabi’ (pengikut sunnah) dengan mubtadi’ (ahli bid’ah), seorang muttabi’ berpandangan bahwa tidak boleh seorang pun menyalahi kebenaran sedangkan mubtadi’ membolehkan seluruh pendapat yang batil dan memberi uzur kepada pelakunya.

7. Menelantarkan orang sunny yang komitmen

Mengamalkan kaidah itu –terutama jika ditujukan kepada orang yang tidak mau menerima nasihat dan bersikeras dengan kesalahan, bid’ah dan kesesatannya- akan menjadi penyebab batalnya pokok agung dari pokok-pokok ahlussunnah, yaitu berlepas diri dari ahli bid’ah (bara’) dan menghukuminya dengan cara di hajr (boikot).

Bahkan mengamalkan kaidah itu akan menelantarkan orang yang melaksanakan sunnah, karena perkaranya sama (antara bid’ah dan sunnah) selama mereka semuanya diberi maaf. Bid’ah tidak akan pernah pupus dan sunnah yang suci tidak pula akan tampak dari kotoran yang mengotorinya, sehingga manusia pun berada dalam kekacauan, tidak bisa membedakan antara sunnah dengan bid’ah, Al-haq dengan kebatilan, petunjuk dengan kesesatan dan kesalahan dengan kebenaran.

Diantara kebaikan yang ditulis oleh Syaikh Bakr Abu Zaid ketika beliau berbicara tentang perkara yang menimpa kaum muslimin adalah perkataan beliau, “Menghancurkan pembatas wala’ dan bara’ antara muslim dengan kafir, dan sunny dengan ahli bid’ah adalah apa yang dinamakan rangkaian yang timbul dari (pengekangan jiwa) yang dihancurkan dibawah slogan-slogan sesat seperti (teloransi), (penyatuan hati), (membuang keganjilan, keterbelakangan dan fanatik), (kemanusiaan) dan lafadz-lafadz lainnya yang sepertinya bersinar tapi dibalik itu ada persekongkolan jahat yang bertujuan memberangus muslim yang komitmen dan menghancurkan agama islam.”

Beliau berkata lagi, “Termasuk dari tanda pembedaan aqidah yang paling menonjol dan sambutan hangat terhadap sunnah serta menjaga kemurnian islam dari hal yang mengotorinya adalah menegakkan bendera wala dan bara serta menampakkan hukuman syara’ terhadap ahli bid’ah yang apabila diingatkan tidak mau menerima, dan jika dilarang tidak mau berhenti sebagai usaha perbaikan, menunjukki dan mengajak mereka kembali dari keterasingan dalam jurang bid’ah, membangun pembatas antara sunnah dan bid’ah, menumpas bid’ah yang dilakukan oleh para ahli bid’ah, membekam mereka dan bid’ahnya untuk berbuat kerusakan dimuka bumi dan menghalangi kesesatan untuk mempengaruhi aqidah, agar tampak dengan jelas sunnah dalam keadaan suci dari kotoran yang mengotorinya serta jernih dari hawa nafsu dan kotoran bid’ah yang berjalan diatas manhaj Nubuwwah dan tapak tilas (salaf). Tampaknya sunnah dengan jelas adalah seruan yang paling agung kepada (wal dan bara) dan ini semuanya adalah sebagai nasihat kepada umat.”

8. Tidak akan menghasilkan persatuan

Apakah persatuan dan kerukunan akan berhasil berkat kaidah (saling memaafkan dalam perkara yang diperselisihkan). ?

Tidak sekali kali tidak ! Tidak akan tejadi persatuan dan kerukunan kecuali dengan Al-Qur’an sebagai petunjuk. Allah I berfirman :

كَانَ النَّاسُ أُمَّةً وَاحِدَةً فَبَعَثَ اللَّهُ النَّبِيِّينَ مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ وَأَنْزَلَ مَعَهُمُ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِيَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ فِيمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ وَمَا اخْتَلَفَ فِيهِ إِلاَّ الَّذِينَ أُوتُوهُ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَتْهُمُ الْبَيِّنَاتُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ فَهَدَى اللَّهُ الَّذِينَ ءَامَنُوا لِمَا اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

“Manusia itu adalah umat yang satu. (Setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para nabi sebagai pemberi kabar gembira dan pemberi peringatan, dan Allah menurunkan bersama mereka Kitab dengan benar, untuk memberi keputusan di antara manusia tentang perkara yang mereka perselisihkan. Tidaklah berselisih tentang Kitab itu melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Kitab, yaitu setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata, karena dengki antara mereka sendiri. Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus.” (Al-Baqarah : 213)

Al-Qasimy berkata, “Kemudian mereka sesat dalam keadaan berilmu setelah wafatnya para Rasul, lalu mereka berselisih dalam agama disebabkan perselisihan mereka tentang Al-kitab, firman-Nya (tidaklah berselisih tentangnya) maksudnya tentang Kitab petunjuk yang sangat jelas, diturunkan untuk menghilangkan perselisihan, (melainkan orang yang telah didatangkan kepada mereka Al-Kitab) maksudnya bahwa mereka mengetahuinya lantas mereka ganti nikmat Alah itu dengan membuat perselisihan tentang Kitab yang turun untuk menyelesaikan perselisihan itu sendiri.

Perselisihan itu bukan disebabkan adanya kesamaran dalam Al-Kitab, tapi (setelah datang kepada mereka keterangan-keterangan yang nyata) maksudnya dalil-dalil yang sangat jelas, (karena dengki antara mereka sendiri) yaitu hasad.”

Abul Qasim Al-Ashbahany berkata, “Sebab persatuan ahli hadits adalah karena mereka mengambil Al-Qur’an dan sunnah dari jalan periwayatan sehingga membuahkan persatuan dan kerukunan.

Sedangkan ahli bid’ah mereka menjadikan akal-akalan dan pikiran sebagai agama, sehingga membuahkan perpecahan dan perselisihan.”

Kata Asy-Syathiby, “Allah berfirman : واعتصموا بحبل الله جميعا ولا تفرقوا “dan berpegang teguhlah kamu semua kepada tali Allah.”

Allah menjelaskan bahwa kerukunan itu terjadi ketika ada persatuan untuk berpegang kepada satu makna, adapun jika masing-masing golongan berpegang kepada tali yang berbeda dengan tali golongan lainnya, pasti akan terjadi perpecahan. Dan inilah makna firman Alah Ta’ala :

وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ

“Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya.” (Al-An’aam : 153)

Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertakwa.

PERKATAAN PARA ULAMA TENTANG KAIDAH TERSEBUT

1. Penjelasan maksud perkataan Syaikh Abdurrahman As-Sa’dy.

Sebagian orang yang membaca perkataan syaikh Abdurrahman As-Sa’dy dalam kitabnya “Al-Munadlaraat Al-fiqhiyyah” menyangka bahwa beliau menyetujui kaidah tersebut secara mutlak ! Ini tidak benar, sebagaimana yang akan kami jelaskan.

Syaikh berkata ketika berbicara tentang faidah-faidah menulis dalam masalah-masalah yang diperselisihkan, diantaranya, “Perlu diketahui bahwa perselisihan pendapat antara ulama dalam masalah masalah seperti ini, tidak mengharuskan celaan dan aib, tapi sebagaimana yang dikatakan oleh sebagian orang, “Saling membantu dalam perkara yang disepakati dan saling memaafkan dalam perkara yang diperselisihkan.”

Berbeda dengan keadaan orang jahil yang mempunyai pandangan sempit, yang menganggap bahwa orang yang menyelisihinya atau menyelisihi orang yang dia agung-agungkan telah berbuat dosa besar, padahal orang tersebut mempunyai udzur, bahkan bisa jadi kebenaran itu bersamanya. Keadaan seperti ini tidak disukai oleh seorang pun dari para ulama, dan kita memohon kepada Allah I keselamatan dan berlindung dari apa-apa yang dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya.”

Pertama : Perkataan beliau jelas hanya berkisar pada (masalah-masalah seperti ini) yaitu masalah fiqih, dan hal itu sudah jelas karena buku beliau tersebut seluruhnya membahas masalah-masalah fiqih yang dalil-dalilnya sama kuat, seperti pembagian air, hukum orang yang shalat sendirian dibelakang shaff dan lain-lain.

Kedua : Perkataan syaikh terikat dengan masalah-masalah yang penyelisihnya mempunyai udzur, perhatikanlah perkataan beliau (padahal orang tersebut mempunyai uzur).

Ketiga : Perbuatan syaikh dalam kitabnya ‘Al-munadlaraat’ menjelaskan maksud ungkapan beliau tersebut, dimana beliau menyebutkan perbedaan pendapat antara dua kelompok, lalu menyebutkan dalil dan sandaran masing-masing kelompok tersebut, kemudian beliau menghukumi perelisihan tersebut sesuai dengan apa yang ditunjukkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Anda dapati hal tersebut jelas dalam perkataan beliau, “Kebenaran itu adalah barang yang dicari oleh orang yang menginginkan Al-haq, dan jika kamu tidak punya apa-apa selain dalil yang kamu sebutkan dan memang keadaannya demikian, maka seharusnya kamu tunduk kepada hujjah.”

Juga perkataan beliau, “Kewajiban kita adalah satu, yaitu mengikuti pendapat yang dikuatkan oleh dalil yang selamat dari pertentangan.”

Bagaimana mungkin perbuatan beliau ini hendak dibandingkan dengan orang yang menggunakan kaidah itu terhadap pengekor hawa nafsu, bahkan juga terhadap sekte yang paling sesat yaitu syi’ah rafidlah, tanpa menyuruh mereka untuk tunduk kepada sunnah !!

Kempat : kita harus mengumpulkan semua perkataan syaikh dalam satu tempat sehingga bisa diketahui maksud beliau.

Jika kita lakukan ini, kita dapati syaikh tidak memberlakukan kaidah tersebut terhadap ahli bid’ah, bahkan beliau memandang bahwa berjihad melawan mereka lebih utama dari pada berjihad melawan musuh luar (kuffar).

Perkataan syaikh tersebut bersifat global, tidak ada dalam perkatan itu sesuatu yang menunjukkan bahwa beliau memberlakukannya terhadap ahli bid’ah juga.

Berhati-hatilah dari metode ahli bid’ah yang berdalil dengan perkataan sebagian ulama yang bersifat global dan samar, lau dibawa kepada makna yang rancu dan rusak.

Syaikhul islam berkata, “Mereka itu tekadang menemukan perkataan sebagian ulama yang bersifat global dan samar, lalu dibawa kepada makna yang rancu sebagaimana dilakukan oleh orang-orang nashrani yang menukil dari para nabi, mereka meninggalkan sesuatu yang jelas dan mengikuti sesuatu yang samar (mutasyabih).”

2. Pendapat Syaikh Al-’Allamah Abdul ‘Aziz bin Baaz

Beliau berkata, “Ya, kita wajib saling membantu dalam pekara yang kita sepakati seperti menolong kebenaran dan mendakwahkannya serta mejauhi apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya, adapun saling memaafkan dalam perkara yang diperselisihkan tidak boleh secara mutlak, tapi harus dirinci yaitu perkara yang termasuk masalah ijtihad yang dalilnya tersembunyi, kita tidak boleh saling mengingkari. Adapun jika perkara itu menyalahi nash dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, maka kewajiban kita adalah mengingkarinya dengan cara hikmah, peringatan yang baik dan jidal dengan yang lebih baik, sebagai pengamalan firman Allah-I :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa dan jangan saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan”. (Al-Maidah : 2)

وَالْمُؤْمِنُونَ وَالْمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ يَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ

“Laki-laki yang mu’min dan wanita-wanita yang mu’minah sebagian mereka adalah penolong untuk sebagian lainnya, menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran.” (At Taubah : 71).

Dan firman-Nya :

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl : 125).

Dan sabda Rasulullah r, “Barang siapa yang melihat kemungkaran maka hendaklah dia rubah dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya, jika tidak mampu maka dengan hatinya dan itu adalah selemah-lemahnya iman”.

Juga sabda beliau, “Barang siapa yang menunjukkan (seseorang) kepada kebaikan maka dia akan mendapat seperti pahala orang yang melakukannya. Ayat-ayat dan hadits tentang hal ini banyak.”

3. Pendapat Syaikh Al-’Allamah Muhammad Bin Shalih Al-’Utsaimin.

Beliau berkata, “Perkataan mereka (bersatu dalam perkara yang disepakati) adalah benar, adapun perkataan mereka (saling memaafkan dalam perkara yang diperselisihkan) perlu dirinci.

Jika berasal dari ijtihad yang layak, maka kita saling memaafkan, tapi tidak boleh hati kita berselisih disebabkan perbedaan ijtihad tersebut.

Adapun jika ijtihad tersebut tidak layak, tidak boleh kita memaafkan orang yang menyimpang, dan dia harus tunduk kepada kebenaran.

Ungkapan pertama benar dan ungkapan yang terakhir butuh kepada perincian.”

4. Pendapat Ulama Syam Al-Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Bany

Beliau mengkritik orang yang berpegang dengan kaidah tersebut, katanya, “Mereka adalah orang yang pertama menyelisihi kaidah itu, walaupun kita tidak ragu akan kebenaran ungkapan yang pertama yaitu (saling membantu dalam perkara yang disepakati).

Kalimat pertama itu diambil dari firman Allah : وتعاونوا على البر والتقوى “Dan saling tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan taqwa.”

Adapun kalimat yang kedua harus dikhususkan…kapan ? yaitu ketika saling menasehati dan kita katakan kepada orang yang salah, “Anda telah salah”, karena dalil begini dan begitu, jika dia tidak puas sementara dia seorang yang ikhlas kita biarkan urusannya.

Adapun jika dia bersikeras, bersombong dan berpaling, maka pada waktu itu tidak benar ungkapan tersebut dan tidak boleh saling memaafkan.”

5. Fatwa panitia Tetap untuk penelitian ilmiyah dan fatwa (Di Saudi Arabia)

Pertanyaan :

Berdasarkan firman Allah I :

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوا عَلَى الإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ

“Tolong menolonglah kalian dalam kebajikan dan takwa dan jangan saling tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah : 2)

Dikatakan bahwa kita wajib saling tolong menolong dengan jama’ah-jama’ah islam walaupun manhaj dan cara dakwahnya berbeda, karena jama’ah tabligh cara dakwahnya berbeda dengan cara dakwah ikhwanul muslimin, atau hizbuttahrir, atau jama’ah jihad atau salafiyyun. Lantas patokan dalam berta’awun bersama mereka ? Apakah terbatas seperti ikut serta dalam seminar dan muktmar ? Dan apa jadinya ketika mendakwah selaim kaum muslimin, dimana orang yang baru masuk islam akan merasa bingung, karena masing-masing jama’ah akan membawanya kepada ulama dan markas mereka ? Apa jalan keluar dari masalah ini ?

Jawab :

“Yang wajib adalah berta’awun dengan jama’ah yang berjalan diatas Al-Qur’an dan As-Sunnah sesuai dengan pemahman salaf dalam dakwa kepada tauhid, memurnikan ibadah kepadanya, menjauhi syirik, bid’ah dan maksiat, serta menasehati jama’ah-jama’ah yang meyimpang, jika kembali kepada kebenaran maka boleh berta’awun dengan mereka, tapi jika berseikeras dengan penyimpangannya maka wajib menjauhi mereka dan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-sunnah.

Berta’awun dengan jama’ah yang berpegang kepada manhaj Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah dalam setiap perkara yang mengandung kebajikan dan takwa berupa seminar, muktmar, kajian dan muhadlarah, juga dalam perkara yang bermanfaat untuk islam dan kaum muslimin.”





Majmu’ fatawa (6/103).

Majmu’ fatawa (13/305).

Majmu’ fatawa (12/114).

I’lamul muwaqqi’in (4/192).

I’lamul muwaqqi’in (4/170).

Diriwayatkan oleh Ahmad dalam musnadnya (4/126), Abu Daud no. 4607 dan dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam takhrij mukhtashor Ibnul Hajib (1/137).

lihat kitab assunnah (63-71) karya Ibnu Abi ‘Ashim dengan ta’liq Al-Bany.

Al-Ihkam fi ushulil ahkam (5/64).

Majmu’ fatawa (4/167).

Syarah sunnah (1/210).

Diriwayatkan oleh Ath Thabary dalam Jami’ul bayan (12/85), dari jalan Suwaid bin Nashr, dia berkata : “Telah mengabarkan kepada kami Ibnul Mubarak....”

Al-I’tisham (1/113).

Al-Istiqomah (1/42).

Sebagaimana dalam kitab Al-hujjah fi bayanil mahajjah (2/ 224-225).

Disebutkan oleh Bukhary dalam shahihnya secara mu’allaq (1/565), juga dalam kitab sholat, bab menyilangkan jari jemari dalam masjid, dari hadits Ibnu Umar, juga diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (7/575), dari jalan Al’Ala bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah. Dan ini termasuk dari sanad Muslim

Riwayat Bukhary dalam kitab Al-adabul mufrod no. 108. dan dishahihkan oleh Al-Bany dalam as shahihah no. 637.

Riwayat Ath Thabary dalam Jami’ul bayan (12/85), haddatsana Bisyir, dia berkata : haddatsana Yazid, dia berkata : haddatsana Sa’id dari Qatadah....

Disebutkan pula oleh Ibnu Hibban dalam kitab Roudlotul ‘uqala hal. 108, mengabarkan kepada kami Ibnu Mukram di Bashra, haddatsana Bisyir bin Walid : haddatsna Al-Hakam bin Abdul Malik dari Qatadah...

Majmu’ fatawa (14/157-159).

Riwayat Abu Daud no.4337, Attirmidzy no. 3059, Ibnu Majah no. 4005 dan Ahmad no. 1, 16, 29, dan 53 dari Abu Bakar t. Dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Bany dalam shahihahnya no.1563.

Riwayat Bukhary no. 3202 dari Ubadah bin Shamit.

Ahkaamul qur’an (3/1072) karya Abu Bakar Ibnul ’Araby.

Al-Ihkaam (5/66).

Al-I’tisham (2/169).

Al-Ahkaam (5/66).

Majmu’ Fatawa (4/25).

Majmu’ fatawa (4/236).

Syarah Thahawiyah (2/775).

Jami’ Bayanil ‘ilmi wa fadllihi (2/910).

Riwayat Abu Daud (3/94) no. 2628 dan dishahihkan oleh Ibnu Hiban, Al-Hakim dan Adz Dzahaby.

Riwayat Abu Dawud dalam sunannya, kitab manasik bab shalat di mina, no. 1960 dengan sanad yang shahih, dan asalnya ada dalam shahihain.

Riwayat Bukhary dalam kitab fadla-il shahabat bab manaqib Ali bin Abi Thalib, no.3707.

Fathul bary (7/73).

Matan Thahawiyah bersama syarahnya (2/775).

Majmu’ fatawa (3/321).

Faidlul qadiir (1/212).

Al-Ihkam fi ushulil ahkam (5/61).

Mahasinut ta’wil (4/928).

Riwayat Ahmad dan Abu Daud, dan ada dalam shahih sunan Abu Daud no.670, karya Syaikh Al-Bany.

Al-Madkhal no. 152.

Silsilah dlo’ifah (1/77).

Iqtidlo shirathul mustaqim karya Ibnu Taimiyah hal. 37

Riwayat Bukhary no. 2410

Al-Jami li ahkamil qur’an (8/336).

Lihat ahkamul qur’an karya Abu Bakar Al-‘araby (3/1052).

Mukhtashar shawa’iq (2/522).

mukhtashar shaw’iq (2/566).

Majmu’ fatawa (33/41).

Adlwa-ul bayaan (4/650).

Riwayat Bukhary no. 4121 dan Muslim no. 1768, 63

Riwayat Bukhary no. 7352, dan Muslim no. 1716, 15

Riwayat Muslim no. 1731, 3

Al-I’tisham (2/249).

Riwayat Bukhary no. 3427.

Fathul bary (6/465).

Riwayat Bukhary no. 6736

Riwayat Abdurrazaq dalam kitab Al-mushanaf (10/255 no.19024) dari Mu’ammir dari Ibnu Thawus, dia berkata, ayahku mengabarkan aku abhwa dia mendengar Ibnu ‘Abbas berkata....dan sanadnya shahih.

Jami’ bayanil ‘ilmi wafadllihi (2/907).

Sebagaimana dalam kitab Al-bahrul muhith (6/243).

Penisbatan ungkapan (setiap mujtahid itu benar) kepada Imam Syafi’iy tidak benar. Abu Ishaq Al-marwazy berkata dalam syarah adab qadla, “sesungguhnya yang menisbatkan ungkapan tersebut kepada beliau hanya orang-orang belakangan yang tidak mengetahui madzhabnya”. Al-bahrul muhith (6/242).

Al-Istiqamah (1/49).

Majmu’ fatawa (33/42).

Attafsir (4/264).

Mukhtashar shawa’iq (1/57).

Riwayat Bukhary no. 25, dan Muslim no. 1599 dari hadits Nu’man bin Basyir.

Jami’ul ulum wal hikam hal. 72

Syarah matan Thahawiyah (2/787).

Taudlih Al-kafiyatusyafiah hal 79-80.

Al-istiqomah (1/56)

Majmu’ fatawa (13/118)

Al-Istiqamah (1/55)

Al-I’tisham (2/191).

Dalam kitabnya : I’tiqad tauhid bi itsbati asma’ wassifat, dengan perantara majmu’ fatawa (5/71).

Minhajussunnah (6/336).

Majmu’ fatawa (13/64-65).

Majmu’ fatawa (19/274).

Majmu’ fatawa (6/394).

Minhajussunnah (6/28).

Majmu’ fatawa (4/10).

Majmu’ fatawa (14/33).

Arraddu ‘alAl-bakri (1/274).

Riwayat Muslim (95).

Muttafaq ‘alaihi dari hadits Imran bin Hushain dan lainnya.

Syarah sunnah jAl-67.

Minhajussunnah (6/368).

Muttafaq ‘alaihi

Fathul bary (7/409-410)

Dalam kitab beliau silsilah hadits dlo’if (4/448).

Assunnah hal 22.

Al-hujjah fi bayanil mahajjah (2/510).

Diriwayatkan oleh Ibnu Wahb, dari Nafi’ bin Abi Nu’aim, dari Abdurrahman bin Al-Qasim dari bapaknya dia berkata, “saya kagum dengan perkataan ‘Umar bin Abdul ‘Aziz”, kemudian beliau pun menyebutkannya. Juga diriwayatkan oleh Ibnu ’Abdil Barr dalam Jami’ bayanil’ilmi wa fadllihi dari jalan Ibnu Wahb. Jalan ini menjelaskan bahwa perkataan Al-Qasim itu berasal dari Umar bin Abdul’ Aziz.

Al-Jami’ (2/902).

Al-I’tisham (170).

Disebutkan sanadnya oleh Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ bayanil’ilmi wa fadllihi (2/905-906) dari jalan Asyhab, dan Ibnul Qasim dari Malik.

Jami’ bayanil ilmi wa fadllihi (2/911).

Arrisalah hal 596, 597.

Majmu’ fatawa (14/159).

Jami’ bayanil’ilmi wa fadllihi (2/902).

Al-muwafaqaat (4/131).

Al-muwafaqaat (4/134).

Riwayat Bukhary no. 2178 dan Muslim no. 1596

Jami’ bayanil’ilmi wa fadllihi (2/229).

A’lamul hadits (3/2092).

Al-Muwafaqat (4/141).

Beliau mengatakan tentang makna (mura’atul khilaf) : “Memberikan kepada salah satu dari keduanya apa yang ditunjukkan oleh yang lainnya atau sebagiannya, dan ini mengumpulkan dua perkara yang saling bertentangan”. (Al-muwafaqat (4/151).

Majmu’ fatawa (26/202, 203).

Al-Muntadzim (31/801) dan lihat Al-bidayah wa nihayah (10/374) dan lisanul mizan (1/324).

Yaitu lagu yang diiringi alat musik yang yang dilakukan oleh orang sufi (pent).

Majmu’ fatawa (11/570), dan lihat kitab tahrim alat thorb hal.164).

Dengan perantara kitab majmu’ rosail fiqhiyyah karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin hal 55.

Syarah Mumti’ ‘ala zadil mustaqni’ (1/52).

Majmu’ fatawa (4/409).

Al-Muwafaqat (3/131).

Ash Shawa’iq Al-mursalah (2/564).

Fathul Qadir (1/370).

Yaitu perkataannya, “Kelurusan dan kemudahan itu harus terikat dengan sesuatu yang sesuai dengan kaidah-kaidahnya, bukan mencari-cari keringanan, atau memilih pendapat sesuka dia.”

Juga perkataan beliau, “Tempat-tempat perselisihan itu tidak boleh dikembalikan kepada hawa nafsu, tapi hendaknya dikembalikan kepada syari’at, yaitu mencari pendapat yang paling kuat untuk diikuti, bukan memilih pendapat yang sesuai dengan nafsu”. Al-muwafaqat (4/145).

Dalil yang paling jelas adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Surga itu dikelilingi dengan sesuatu yang berat, sedangkan neraka itu dikelilingi dengan syahwat”. (ditulis oleh syaikh Abdul Muchsin Abbad”. Lihat kitab mu’jam manahi lafdziyyah hal. 207 karya syaikh Bakr Abu Zaid.

Terbitan Al-Muntanda Al-Islami Inggris.

Ash-Shawy mengembalikan masalah yang disebut mutaghayirat itu kepada pandangan para peneliti nash. Ini adalah kesewenang-wenangan yang tidak ada dalilnya, karena masalah mutaghayyirat dalam hukum syari’at itu dikembalikan kepada niyat, waktu dan tempat.

Ats-Tsawabit wal mutaghayyirat hal 45.

Ats-Tsawabit wal mutaghayyirat hal 34.

Al-muswaddah oleh ali taimiyyah hal 442.

Lihat kitab thoriqul wushul hal 53.

Minhajussunnah (5/91).

Thawaf itu husus untuk ka’bah, tidak boleh untuk yang lain, orang yang membolehkannya berarti telah membuat syari’at yang tidak pernah Allah syari’atkan. Dan barang siapa yang menghalalkan hal tersebut maka dia kafir. (ditulis oleh Shalih Fauzan).

Ats-Tsawabit wal mutaghayyirat hal 219.

Ats-tsawabit wal mutaghayyirat hal 187.

Ats-tsawabit wal mutaghayyirat hal 15-16.

Salafiyyun pada hakikatnya tidak pernah memaksakan seseorang kecuali dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.

Ar risalah hal 53.

Lihat irwa-ul ghalil no 2614, 2628.

Al-luthfu wAl-lathaif hal 41.

Majmu’ fatawa (19/142) dengan sedikit tambahan.

Riwayat Bukhary no 7352. dan Muslim (1716) (15).

Al-Farqu baina nishihah wa ta’yiir hal 20.

Majmu’ fatawa (33/41-42).

Yaitu wanita yang dinikahkan tanpa mahar, lihat Al-mughni (10/138).

Minhajussunnah (6/139-140).

perkara ini diketahui dengan meneliti sikap dan sirah mereka, bukan sesuatu yang gaib. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam minhajussunnah (8/474-475), “keimanan itu bisa diketahui dari seseorang sebagaimana bisa diketahui seluruh keadaan hatinya berupa memberikan loyalitas, memusuhi, gembira, marah, lapar, dahaga dan yang lainnya. Karena perkara tersebut mempunyai bekas yang terlihat, sedangkan zhahir seseorang itu menunjukkan keadaan batinnya. Perkara ini sudah diketahui oleh manusia bagi mereka yang telah menguji cobanya”.

Al-muwafaqat (4/167).

Syarah thahawiyah (2/534-535).

I’lamul muwaqqi’in (4/256).

Siyar a’lam nubala (3/344) adz dzahaby berketa setelahnya : “sanadnya shahih”.

Kaset no 5738, studio rekaman Ibnul Qayyim Al-islamiyyah- kuwait.

Majmu’ fatawa (19/123).

Jami’ul ulum wal hikam hal 85.

Sebagaimana mereka memutlakkan sifat tersebut kepada hamba-hamba Allah, Allah pun adakan sebagian dari kelompok itu yang mensifati mereka dengan sifat tersebut sebagai balasan yang sesuai. Allah tidak akan menzalimi seorang pun, maka adakah orang yang berakal yang mau mengambil pelajaran ?!

Miftah daaris sa’adah (1/444).

Majmu’ fatawa (28/232).

Dengan perantara kitab thariqul wushul hal 251.

Naqdlul manthiq hal 156.

Dalam futnot naqdlul mantiq hal 156.

Majmu’ fatawa (2/359).

Al-adab asy syar’iyyah karya Ibnu Muflih (1/256).

Sebagian jama’ah da’wah melepaskan sifat tersebut dengan lisan dan pena mereka, lihat kitab Al-wala wal bara’.

Ushul ahlus sunnah karya Imam Allalika-iy (1/154) no 256.

Al-I’tisham (2/229).

Asalnya ada dalam shahihain, adapun penyebutan cacian dan nama orang yang dicaci ada dalam shahih Muslim (1/327).

Riwayat Muslim (3/1548).

Ibnu Taimiyah berkata, “Banyak dari mujtahid dahulu dan belakangan berkata dan berbuat bid’ah, sedangkan mereka tidak tahu kalau itu adalah bid’ah, bisa jadi karena hadits dlo’if yang disangka shahih, atau memahami ayat bukan pada tempatnya, atau megikuti pendapat, sementara ada nash yang belum sampai kepada mereka”. Majmu’ fatawa (19/191).

Majmu’ fatawa (6/61).

Pendenghan yang ditiadakan oleh A’isyah tersebut ada dalam shahihain dari hadits Anas dan Ibnu Umar, sedangkan yang menetapkan didahulukan dari yang meniadakan. Adapun ayat tersebut meniadakan pendengaran biasa yang bermanfaat kepada pemiliknya, bukan asal pendengaran itu sendiri. Lihat majmu’ fatawa (4/297-299).

Riwayat Muslim (1066).

Al-Ifshah ‘an ma’ani shihah (1/280).

Siyar a’lamin nubala’ (10/518).

Wujub ta’awun bainal -uslimin hal 7-8.

Manhaj ini yang disebut oleh Syaikh Al-Bany sebagai “Tashfiyah wa tarbiyah”.

Thariqul wushul no 243 hal 82.

Al-Kalaam ‘ala mas-alatis sama’ hal 391-392).

Tafsir Ibnu Katsir (7/278).

Al-Hujjah fi bayanil mahajjah (1/100).

Dinukil oleh Syaikhul islam Ibnu Taimiyah dalam kitab Al-istiqomah (1/81).

Majmu’ fatawa (12/466-467).

Risalah tadmuriyyah hal 194.

A’lamul hadits (3/2091-2092).

Al-muwafaqat (4/147).

Al’uzlah hal 57-58.

At-tafsirul qayyim hal 14-15.

Al-muwafaqat (4/142).

Mihnatu Ibnu Taimiyah hal 1. dengan perantara kitab fiqih nawazil karya Bakr Abu Zaid (1/58).

Hajrul mubtadi’ hal 5-6.

Ibnul Qayyim berkata dalam kitab ighatsatu lahfan (2/81), “setiap pelaku kebatilan tidak mungkin membuat laku kebatilannya itu kecuali dengan cara membungkusnya dengan bungkus Al-haq.”

Hajrul mubtadi’ hal 7.

Mahasinut ta’wil (3/528).

Al-Hujjah fi bayanil mahajjah (2/226).

Al-I’tisham (2/192).

Muqadimah kitab munadlarat fiqhiyah hal 7.

Sebagaimana hal itu konteks perkataannya.

Munadlarat fiqhiyah hal 16.

Munadlarat fiqhiyyah hal 23.

Sebagaimana di halaman 72-73 dalam kitab tersebut.

Majmu’ fatawa (2/374).

Majmu’ul fatawa (3/58-59) kumpulan Doktor Muhamad Asy Syuwai’ir.

Ash-Shohwah Al-islamiyyah dlowabith wa taujihat (1/218-219). Kumpulan Ali Abu Luz.

Majalah Al-Furqan Kuwait no. 77 hal 22.

Mereka adalah Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Syaikh Abdul ’Aziz bin Abdillah Ali Syaikh, Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Ghudayyan, Syaikh Bakar Abu Zaid, dan Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan.

Fatwa no 18870, tanggal 16-11-1417H.

(Sumber: Ust. Abu Yahya Badrusalam)