PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI

PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI
TABIB BERIJIN RESMI, HERBAL 100% ALAMI, AMAN SUDAH IJIN B-POM DAN HALAL MUI, PENGOBATAN MENGGUNAKAN HERBAL YANG SUDAH DIPERKAYA DENGAN RUQYAH ISLAMI YANG SYAR'I. HARGA TERJANGKAU. INFO LENGKAP KLIK PADA GAMBAR. SMS/WA TABIB UNTUK KONSULTASI DAN PEMESANAN OBAT DI: 08121341710 ATAU 0811156812

Tuesday, October 11, 2016

BAB MENGHILANGKAN NAJIS DAN PENJELASANNYA (29-32), Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi

BAB MENGHILANGKAN NAJIS DAN PENJELASANNYA (29-32)

Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat


29. عَنْ عَمْرٍو بْنِ خَارِجَةَ رضي اللّه عنه قَالَ : (( خَطَبَنَا النّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِنًى ، وَهُوَ عَلَى رَاحِلَتِهِ ، وَلُعَابُهَا يَسِيْلُ عَلَى كَتِفِْ )) .
أخرجه أحمد والترمذي وصحّحه .

29. Dari Amr bin Khaarijah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: “Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkhutbah untuk kami di Mina, dan Beliau berada di atas kendaraannya, sedangkan air liur (hewan kendaraanya)nya mengalir di atas pundakku”. (Diriwayatkan oleh Ahmad, Tirmidzi, dan ia men-shahih-kannya).

TAKHRIJUL HADITS
SHAHIH LIGHAIRIHI, dikeluarkan oleh Imam Ahmad (no. 17.815, 17.816, 17.817, 17.820, 17.821, 18.249, 18.250, 18.251, 18.254, 18.255, juz 4 hlm. 186, 187, 238, 239) dan Tirmidzi (no. 2.121), Nasaa-i (juz 6 hlm.247) dan Ibnu Majah (no. 2.712) dan lain-lain. Semuanya dari jalan Syahr bin Hausyab, dari Abdurrahman bin Ghanm dari ‘Amr bin Khaarijah dalam hadits yang panjang.
Lafazh yang dibawakan oleh Ibnu Hajar ialah bagian pertama dari hadits ini.
Kemudian sabda Beliau yang sangat terkenal:

... لاَوَصِيَّةَ لِوَارِثٍ ...

(Tidak ada wasiat bagi ahli waris).

Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”.
Mengomentari perkataan Tirmidzi di atas, Syaikh Al Albani berkata: “Barangkali tash-hihnya disebabkan (hadits di atas) syawahid banyak sekali. Kalau tidak, maka sesungguhnya Syahr bin Hausyab dha’if karena buruk hafalannya”. (Irwaa-ul Ghalil, juz 6 hlm. 88-89).

Keputusan Al Albani tentang Syahr bin Hausyab di atas, sama dengan keputusan Ibnu Hajar di dalam Taqrib-nya (no. 2.830):

صَدُوْقٌ كَثِيْرُ اْلإِرْسَالِ وَاْلأَوْهَامِ

(Syahr bin Hausyab, seorang yang benar di dalam ‘adalah-nya (shaduq), tetapi dia sering me-mursal-kan (hadits) dan (sering) wahm).

Syahr bin Hausyab termasuk salah seorang rawi yang diperselisihkan. Ada yang men-tsiqah-kan dan ada yang melemahkannya, sebagaimana dapat kita baca di kitab-kitab rijalul hadits, seperti Tahdzibul Kamal (no. 2.781), Tahdzibut Tahdzib (no. 2.928), Miizaanul I’tidal (no. 3.756), Jarh Wat Ta’dil (no. 1.668) dan lain-lain. Mereka yang melemahkannya telah memberikan alasan, yaitu kelemahan di dalam hafalan, seperti perkataan sebagian dari mereka:

1. فِيْهِ ضَعْفٌ ، وَلَيْسَ بالحافظ
2. لَيْسَ بِالْقَوِي
Dan lain-lain.

Saya mengatakan bahwa rawi yang seperti ini, apabila dia menyendiri di dalam haditsnya, tidak ada yang menguatkan riwayatnya, atau tidak ada syahid bagi haditsnya, maka dia tidak dapat dipakai sebagai hujjah, dan haditsnya dha’if.

Hadits ‘Amr bin Khaarijah di atas, dilihat dari jurusan isnad-nya, maka isnad-nya dha’if, karena semuanya beredar dari jalan Syahr bin Hausyab. Dan sepengetahuan saya, tidak ada yang menguatkannya, yakni yang meriwayatkan dari Abdurrahman bin Ghanm selain dari Syahr. Tetapi dilihat dari hadits (matan)nya, maka telah datang sejumlah syawahid-nya banyak sekali. Salah satunya hadits Abu Umamah, yang juga dibawakan oleh Ibnu Hajar di bab Al Washaaya (wasiat) dari kitab buyu’ (jual-beli). Oleh karena itu, hadits di atas masuk ke dalam derajat shahih lighairihi. Allahu a’lam.

FIQIH HADITS
Hadits ini dibawakan oleh Ibnu Hajar, untuk menjelaskan bahwa air liur binatang yang halal dimakan suci, tidak najis. Berdasarkan taqrir Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam atas perbuatan ‘Amr bin Khaarijah di atas.

Yang lebih tepat, kalau sekiranya Al Hafizh membawakan hadits ini dengan lengkap di bab Al Washaaya (wasiat) yang lebih cocok dengan hukum hadits ini, sebagaimana para imam yang meriwayatkan hadits di atas menurunkannya di bagian kitab wasiat. Karena hukum asal segala sesuatu adalah suci –yang tidak memerlukan kepada dalil satu persatunya untuk menetapkan kesuciannya- kecuali kalau ada dalil yang menyatakannya najis. Apabila tidak ada dalil yang shahih yang menghukumi kenajisannya, maka dia kembali kepada hukum asalnya, yaitu suci. (Lihat kembali syarah hadits no. 27).

وَعَنْ عَائِشَةَ رضِي اللّه عنها ، قالت : (( كَانَ رَسُوْلُ اللّّهِ صلى اللّه عليه وسلم يَغْسِلُ الْمَنِيَّ ، ثُمَّ يَخْرُجُ إلَى الصَّلاَةِ فِيْ ذَلِكَ الثّّوْبِ ، وَأنَا أَنْظُرُ إِلَى أثَرِ الْغَسْلِ )) .
متفق عليه .

30. Dari Aisyah Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mencuci (bekas) air mani (yang ada di pakaian Beliau), kemudian Beliau keluar untuk shalat dengan mengenakan pakaian tersebut dan aku melihat bekas cucian.” (Muttafaq ‘alaihi).

TAKHRIJUL HADITS
SHAHIH, Riwayat Bukhari (no. 229-230, 231, 232), Muslim (juz 1 hlm.165), Abu Dawud (no. 373), Tirmidzi (no. 117), Nasaa-i (1/156), Ibnu Majah (no. 536) dan lain-lain banyak sekali. Semuanya dari beberapa jalan (thuruq), dari ‘Amr bin Maimun bin Mihran, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Sulaiman bin Yasar tentang mani yang mengenai pakaian seseorang, apakah ia mencucinya atau mencuci pakaiannya?

Sulaiman bin Yasar menjawab: Aisyah telah mengabarkan kepadaku, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ……

Sama dengan lafazh yang dibawakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar, yaitu lafazh Muslim dalam salah satu riwayatnya.

Sedangkan lafazh Bukhari dan Muslim dalam salah satu lafazh-nya dan lain-lain diterangkan bahwa yang mencuci mani dari pakaian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah Aisyah, bukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Di bawah ini saya turunkan salah satu lafazh Bukhari (no. 230) dan Muslim (1/165) dari jalan yang sama, yang tidak diturunkan oleh Ibnu Hajar. Tetapi Muslim hanya meriwayatkan sebagiannya saja, tidak lengkap seperti Bukhari dengan lafazh:

عَنْ عَمْرُو بْنُ مَيْمُونٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ يَسَارٍ قَالَ سَأَلْتُ عَائِشَةَ عَنِ الْمَنِيِّ يُصِيبُ الثَّوْبَ ؟
فَقَالَتْ : كُنْتُ أَغْسِلُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَيَخْرُجُ إِلَى الصَّلاَةِ وَأَثَرُ الْغَسْلِ فِيْ ثَوْبِهِ بُقَعُ الْمَاءِ .

Dari ‘Amr bin Maimun, dari Sulaiman bin Yasar, ia berkata: Aku pernah bertanya kepada Aisyah tentang (hukum) air mani yang mengenai pakaian. Beliau menjawab: “Aku pernah mencucinya dari pakaian Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, kemudian Beliau keluar (ke masjid) untuk shalat, sedangkan bekas cucian tersebut masih tetap ada di pakaian Beliau, yaitu dua warna yang berbeda”.

Alangkah baiknya kalau sekiranya Al Hafizh memberitahukan kepada kita, bahwa lafazh yang ia turunkan adalah lafazh Muslim, sebagaimana kebiasaannya di kitab-kitabnya yang lain, seperti Fat-hul Bari, Mathalibul ‘Aliyah dan lain-lain.

وَلِمُسْلمٍ : (( لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُوْلِ اللَّهِ صلى اللّه عليه وسلم فَرْكاً ، فَيُصَلي فِيهِ )).

31. Dan dalam salah satu riwayat Muslim dengan lafazh: “Dan aku pun pernah mengerik bekas mani tersebut dari pakaian Rasulullah n dan Beliau shalat dengan mengenakan pakaian tersebut”.

TAKHRIJUL HADITS
SHAHIH, Lihat takhrijnya sesudah ini.
Lafazh yang dibawakan oleh Al Hafizh adalah gabungan dari dua riwayat Muslim.
Riwayat pertama dengan lafazh:

وَلَقَدْ رَأَيْتُنِي أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا فَيُصَلِّي فِيهِ .

Riwayat yang kedua dengan lafazh:

كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

Kemudian Al Hafizh menggabungkannya menjadi:

لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ ...

Seperti riwayat pertama.
Cara seperti ini dibolehkan dan banyak dilakukan oleh para ahli hadits yang dahulu dan yang sekarang, diantaranya Bukhari dan Al Hafizh.

32. وَفِيْ لَفْظٍ لَهُ : ((لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفْرِيْ مِنْ ثَوْبِهِ )) .

32. Dan dalam lafazh yang lainnnya yang juga diriwayatkan Imam Muslim: “(Berkata Aisyah:) Aku pun pernah mengeriknya dengan kuku jariku ketika bekas air mani tersebut telah mengering pada pakaian beliau.”

TAKHRIJUL HADITS
SHAHIH, riwayat Muslim (1/164, 165, 166), Abu Dawud (no. 371-372), Nasaa-i (1/156-157), Ibnu Majah (no. 537, 538, 539) dan lain-lain. Semuanya dari beberapa jalan dari Aisyah dengan lafazh seperti yang dibawakan oleh Al Hafizh. Akan tetapi, pada lafazh yang kedua ini (no. 32) Al Hafizh menurunkannya bil ma’na (secara makna). Atau bisa jadi, naskah Shahih Muslim yang ada pada Al Hafizh dengan yang sampai kepada kita yang kemudian dicetak, ada beberapa perbedaan sedikit, meskipun tidak sampai merusak hadits.

Lafazh yang ada di Shahih Muslim:

لَقَدْ رَأَيْتُنِي وَإِنِّي َلأَحُكُّهُ مِنْ ثَوْبِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَابِسًا بِظُفُرِي .

PELAJARAN ILMU HADITS
1. Yang dimaksud dengan hadits “Yang disepakati Bukhari dan Muslim” atau biasa disebut dengan “Muttafaq ‘alaihi (مُتَفَقٌ عَلَيْهِ)”, ialah hadits yang di-takhrij (dikeluarkan) oleh Bukhari dan Muslim, yang keduanya sepakat dalam asal hadits (ashlul hadits) dari jalan sahabat yang sama, meskipun terdapat perbedaan di sebagian susunan lafazh-nya.

Hal ini sebagaimana diterangkan sendiri oleh Al Hafizh di kitab besarnya Fat-hul Baari (1/279 di akhir kitab ilmu):

وَالْمُرَادُ بِمُوَافَقَةِ مُسْلِمٍ مُوَافَقَتُهُ عَلَى تَخْرِيْجِ أَصْلِ الْحَدِيْثِ عَنْ صَحَابِيْهِ وَإِنْ وَقَعَتْ بَعْضُ الْمُخَالَفَةِ فِيْ بَعْضِ السِيَقَاتِ.

2. Hadist Aisyah di atas dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim dengan lafazh “mencuci (الْغَسْلُ),” dan dengan lafazh “mengerik (الْفَرْكُ)” dan lafazh lain yang semakna dengannya.

Imam Bukhari hanya meriwayatkan dengan lafazh “mencuci (الْغَسْلُ),” tidak meriwayatkan dengan lafazh “mengerik (الْفَرْكُ)”. Tetapi Imam Bukhari sendiri, ketika meriwayatkan hadits “mencuci” di atas dalam Shahih-nya telah mengisyaratkan adanya hadits “mengerik”, meskipun ia tidak meriwayatkannya, karena memang tidak memenuhi persyaratan beliau di Shahih-nya. Beliau memberikan bab dengan judul:

بَابُ غَسْلِ الْمَنِيِّ وَفَرْكِهِ

(Bab mencuci mani dan mengeriknya).

Dari keterangan di atas ada dua faidah yang dapat kita ambil:
Pertama. Bahwa tidak semua hadits shahih dimasukkan Bukhari di kitab Shahih. Demikian juga Muslim telah menegaskan di kitab Shahih, bahwa tidak semua hadits shahih, ia masukkan di dalam Shahih-nya.

Insya Allah pada tempat dan kesempatan yang lain yang lebih tepat, akan saya turunkan perkataan keduanya dan alasan-alasannya.

Kedua. Keunggulan atau kelebihan Bukhari atas Muslim tidak mutlak. Tetapi dalam sebagian hadits, adakalanya Muslim lebih unggul dari Bukhari. Wallahu a’lam.

FIQIH HADITS
1. Bahwa air mani itu suci, tidak najis. Kedudukannya sama seperti air ludah, ingus dan air reak. Meskipun dianggap kotor, tetapi kotor bukan sebagai najis. Secara syar’i, ia tetap suci. Adapun kadang-kadang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dan ‘Aisyah mencuci air mani yang menempel di pakaian Beliau, tidak menunjukkan najisnya, tetapi sebagai kebersihan saja.

Seperti air ludah dan ingus yang mengenai pakaian kita, dikatakan kotor, kemudian dicuci untuk kebersihan. Demikian juga kuah sayur yang tumpah menimpa pakaian kita, dikatakan kotor, bukan kotor dalam arti najis secara syar’i. Dari sini, kita dapat mengambil satu kaidah, bahwa tidak setiap sesuatu yang dicuci atau dianggap kotor itu najis.

Demikianlah yang menjadi mazhab Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hambal. Dan mazhab (pendapat) inilah yang dibela oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dengan pembelaan yang sangat kuat sekali. (Lihatlah keluasan dan kelengkapannya di Majmu’ Fatawa, Ibnu Taimiyyah, juz 21 hlm. 587-607).

2. Kewajiban seorang isteri berkhidmat kepada suami, hatta dalam masalah yang dianggap kotor oleh manusia.

3. Zuhudnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam kehidupan dunia.

4. Bahwa setiap perkataan dan perbuatan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak disembunyikan dari umatnya. Meskipun sesuatu yang biasanya disembunyikan oleh manusia, seperti urusan air mani. Dari kaidah ini, kita mengetahui, alangkah batilnya perkataan Rafidhah (Syi’ah), bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah merahasiakan sesuatu kepada Ali yang tidak diketahui oleh seorangpun juga dari umatnya.

5. Bahwa isteri-isteri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, terutama Aisyah, mengetahui tentang keadaan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di rumah-rumah mereka dari sahabat yang lain.

6. Bahwa para sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in menjawab pertanyaan dengan dalil.

(Sumber: Al-Manhaj)