PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI

PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI
TABIB BERIJIN RESMI, HERBAL 100% ALAMI, AMAN SUDAH IJIN B-POM DAN HALAL MUI, PENGOBATAN MENGGUNAKAN HERBAL YANG SUDAH DIPERKAYA DENGAN RUQYAH ISLAMI YANG SYAR'I. HARGA TERJANGKAU. INFO LENGKAP KLIK PADA GAMBAR. SMS/WA TABIB UNTUK KONSULTASI DAN PEMESANAN OBAT DI: 08121341710 ATAU 0811156812

Tuesday, October 11, 2016

BAB MENGHILANGKAN NAJIS DAN PENJELASANNYA (34-35), Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi

BAB MENGHILANGKAN NAJIS DAN PENJELASANNYA (34-35)

Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat


وَعَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِيْ بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ -فِيْ دَمِ الحَيْضِ يُصِيْبُ الثَّوْبَ- : ((تَحُتُّهُ ، ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ ، ثُمَّ تَنْضَحُهُ ، ثُمَّ تُصَلِّيْ فِيْهِ)) .
متفق عليه.

34. Dari Asma’ binti Abu Bakar Radhiyallahu 'anha, bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda -tentang pakaian yang terkena darah haidh-: “Kamu gosok, kemudian kamu cuci dengan air, lalu shalatlah dengan pakaian tersebut.” (Muttafaq ‘alaihi).

TAKHRIJUL HADITS
SHAHIH. Riwayat Malik (I/79), Bukhari (no. 227, 307), Muslim (I/166), Abu Dawud (no. 361, 362), Tirmidzi (no. 138), Nasa-i (I/155, 195), Ibnu Majah (no. 629) dan Ahmad (VI/ 345, 346, 353) dan lain-lain dari jalan yang banyak, dari Hisyam bin ‘Urwah, dari Fatimah binti Mundzir, dari Asma’ binti Abi Bakar (seperti di atas).

Dan dalam lafazh Bukhari di salah satu riwayatnya (no. 307):

عَنْ أَسْمَاءَ بِنْتِ أَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ أَنَّهَا قَالَتْ سَأَلَتِ امْرَأَةٌ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَرَأَيْتَ إِحْدَانَا إِذَا أَصَابَ ثَوْبَهَا الدَّمُ مِنَ الْحَيْضَةِ كَيْفَ تَصْنَعُ ؟
فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِذَا أَصَابَ ثَوْبَ إِحْدَاكُنَّ الدَّمُ مِنَ الْحَيْضَةِ فَلْتَقْرُصْهُ ثُمَّ لِتَنْضَحْهُ بِمَاءٍ ثُمَّ لِتُصَلِّي فِيهِ .

Dari Asma’ binti Abi Bakar Ash Shiddiq, ia berkata: Seorang perempuan pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Ya. Rasulullah. Bagaimana pendapatmu, salah seorang dari kami pakaiannya terkena darah haidh, apa yang harus dia lakukan?”
Jawab Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam : “Apabila pakaian salah seorang dari kamu terkena darah haidh, maka hendaklah dia menggosoknya saja (untuk menghilangkan darah haidh yang mengena pakaiannya), kemudian dia mencucinya dengan air, kemudian dia shalat dengan memakai pakaian tersebut.”

وَفِيْ رِوَايَةٍ لَهُ (رقم : 227) وَلِمُسْلِمٍ –وَغَيْرُهُمَا- قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ((تَحُتُّهُ ثُمَّ تَقْرُصُهُ بِالْمَاءِ وَتَنْضَحُهُ وَتُصَلِّيْ فِيْهِ))

Dan dalam riwayat Bukhari yang lain (no. 227) dan Muslim -dan selain keduanya- Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: “Dia mengeriknya, kemudian menggosoknya dengan air, lalu mencucinya, kemudian dia shalat dengan memakai pakaian tersebut.”

Dalam bab ini telah diriwayatkan dari jalan beberapa orang sahabat, di antaranya oleh Ummu Qais binti Mihshan:

عَنْ عَدِيِّ بْنِ دِينَارٍ قَالَ : سَمِعْتُ أُمَّ قَيْسٍ بِنْتَ مِحْصَنٍ أَنَّهَا سَأَلَتْ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ دَمِ الْحَيْضِ يُصِيبُ الثَّوْبَ .
قَالَ : ((حُكِّيهِ بِضِلَعٍ وَاغْسِلِيهِ بِمَاءٍ وَسِدْرٍ )) .

Dari ‘Adi bin Dinar, ia berkata: Aku pernah mendengar Ummu Qais binti Mihshan berkata: “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah n tentang darah haidh yang mengena pakaian.”

Beliau menjawab: “Keriklah dengan kayu kecil, [1] dan cucilah dengan air dan daun bidara.” [2]

Riwayat Abu Dawud (no. 363), Nasa-i (154, 155 dan 195, 196), Ibnu Majah (no. 628), Ahmad (VI/ 355, 356), Darimi (I/ 239-240), Ibnu Khuzaimah (no. 277) dan lain-lain. Semuanya dari beberapa jalan dari Sufyan, dari Tsabit Al Haddad -yaitu Tsabit bin Hurmuz Abu Miqdam- dari ‘Adi bin Dinar (seperti di atas). Kemudian riwayat Sufyan Ats Tsauri ada mutaba’ah-nya, yaitu Israail bin Yunus bin Abi Ishaq dari Tsabit dan seterusnya. Dikeluarkan oleh Ahmad (III/356).
Isnadnya shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqah.

Adapun keterangan Al Hafizh Ibnu Hajar tentang Tsabit bin Hurmuz Abu Miqdam Al Haddad (ثابت بن هُرْمثزْ أبو المِقْدَام الحَدَّاد) di kitabnya, Taqribut Tahdzib (no. 832), bahwa dia seorang rawi [3] yang صَدُوْقٌ يَهِم , tidak sampai kepada tsiqah (ثقة), tidaklah tepat. Padahal di kitab Tahdzibut Tahdzib (II/ 16-17), beliau telah menurunkan perkataan para imam, seperti Imam Ahmad, Yahya bin Ma’in, Ali bin Madini, Abu Dawud, Nasa-i, Ya’qub bin Sufyan, Ahmad bin Shalih, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban dan Ibnu Qaththan, semuanya telah mengatakan bahwa Tsabit bin Hurmuz tsiqah. Dan tidak ada yang menurunkannya dari martabat tsiqah, kecuali Abu Hatim yang mengatakan shalih (صَالِحٌ).

Maka terhadap seorang rawi yang telah di-tsiqah-kan oleh sepuluh orang imam, tidak tepat kalau kita katakan صَدُوْقٌ يَهِم yang menunjukkan derajat haditsnya hasan. Karena pada hafalannya terdapat ke-waham-an (keragu-raguan).

وَعَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَتْ خَوْلَةُ : يَا رَسُوْلَ اللَّهِ، فَإِنْ لَمْ يَذْهَبِ الدَّمُ ؟ قَالَ: ((يَكْفِيْكِ الْمَاءُ ، وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ)) . أخرجه الترمذي. وسنده ضعيف.

35. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Khaulah bertanya,Wahai, Rasulullah. (Bagaimana) bila (bekas) darahnya belum hilang?” Jawab Beliau,”Cukup bagimu mencucinya dengan air. Adapun bekasnya tidak apa-apa.” Diriwayatkan oleh Tirmidzi dan sanadnya dha’if.

TAKHRIJUL HADITS
SHAHIH. Pertama. Hadits ini tidak diriwayatkan oleh Tirmidzi sebagaimana ditakhrij oleh Al Hafizh Ibnu Hajar. Kedua. Hadits ini telah dikeluarkan oleh Abu Dawud (no. 365) dan Ahmad (II/380) dari Qutaibah bin Said, dari Abdullah bin Lahi’ah, dari Yazid bin Abi Habib, dari Isa bin Thalhah, dari Abu Hurairah dengan lafazh:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ خَوْلَةَ بِنْتَ يَسَارٍ أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِيْ إِلاَّ ثَوْبٌ وَاحِدٌ وَأَنَا أَحِيْضُ فِيهِ ، فَكَيْفَ أَصْنَعُ ؟
قَالَ : ((إِذَا طَهُرْتِ فَاغْسِلِيهِ ثُمَّ صَلِّي فِيهِ)) فَقَالَتْ : فَإِنْ لَمْ يَخْرُجِ الدَّمُ ؟
قَالَ : ((يَكْفِيكِ غَسْلُ الدَّمِ وَلاَ يَضُرُّكِ أَثَرُهُ)) . رواه أبو دود وأحمد .

Dari Abu Hurairah: Bahwasanya Khaulah binti Yasar pernah datang menemui Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, lalu dia bertanya: “Ya, Rasulullah. Aku tidak mempunyai kecuali hanya satu pakaian, yang aku pakai ketika aku haidh. Maka apa yang harus aku perbuat?”
Beliau menjawab: “Apabila engkau telah suci, maka cucilah, kemudian shalatlah dengan memakai pakaian tersebut.”
Maka dia (Khaulah) bertanya lagi: “Kalau tidak hilang bekas darahnya?”
Jawab Beliau: “Cukuplah bagimu mencuci darahnya dan tidak mengapa bagimu bekasnya.”

Sanad hadits ini dha’if, karena Abdullah bin Lahi’ah bin ‘Uqbah Al Hadhrami (عبد اللّه بن لَهِيْعَةَ بن عُقْبَةَ الْحَضْرَمِيْ) seorang qadhi di Mesir, seorang yang alim dan shalih dari Ahlu Sunnah, tetapi hafalannya menjadi buruk dan berubah ketika rumahnya bersama kitab-kitab catatan hadits-haditsnya terbakar [4] pada tahun 170 H. Dan beliau wafat pada tahun 174 H. [5] Semenjak itu hafalannya berubah menjadi buruk, karena dia hanya mengandalkan hafalannya ketika menceritakan hadits kepada murid-muridnya tanpa kitab yang biasa beliau membacakannya. Atau dengan kata lain, dia dapat dikatakan sebagai seorang rawi yang shahihul kitab (صَحِيْحُ الْكِتَابِ), yakni shahih haditsnya, apabila dia menceritakan hadits dari kitab catatannya. Tentu saja ini terjadi sebelum kitab-kitabnya terbakar. Adapun setelah terbakar, maka haditsnya menjadi dha’if. Dari sini kita dapat mendudukkan perkataan para imam yang bertebaran di kitab-kitab rijalul hadits, berkaitan dengan Ibnu Lahi’ah ini, yang sebagian melemahkannya dan sebagian lagi menguatkannya.

Yang men-dha’if-kannya, maksudnya riwayatnya dha’if setelah kitab-kitabnya terbakar. Sedangkan yang menguatkannya, maksudnya riwayat atau haditsnya shahih sebelum kitab-kitabnya terbakar.

Adapun perkataan sebagian imam, bahwa Ibnu Lahi’ah haditsnya dha’if, baik sebelum atau sesudah kitab-kitabnya terbakar, jelas sekali perkataan inilah yang dha’if dan tidak dapat diterima karena menyalahi kenyataan yang ada pada Ibnu Lahi’ah. Karena pada dasarnya, Ibnu Lahi’ah adalah seorang rawi yang tsiqah. Sedangkan kelemahannya “mendatang” karena sesuatu sebab, yaitu terbakarnya kitab-kitab haditsnya. Maka riwayat atau hadits yang ia ceritakan hukumnya shahih sebelum datangnya sebab tersebut. Dan tidak ada alasan atau hujjah untuk menolak haditsnya secara mutlak atau tanpa tafshil (perincian) seperti di atas. Sekarang yang sangat penting kita ketahui, siapakah rawi-rawi yang meriwayatkan hadits dari Ibnu Lahi’ah sebelum kitabnya terbakar?

Jawabnya, mereka terdiri dari kelompok Al ‘Abadilah (الْعَبَادِلَةُ), yaitu:
(1) Abdullah bin Wahab bin Muslim
(عبد اللّه بن وهب بن مسلم)
(2) Abdullah bin Mubarak
(عبد اللّه بن المبارك)
(3) Abdullah bin Yazid Al ‘Adawiy Al Makkiy Al Muqri’
(عبد اللّه بن يَزِيْد العَدَوي المقري)
(4) Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab Al Qa’nabiy
(عبد اللّه بن مَسْلَمَةَ بن قَعْنَبَ الْقَعْنَبِيْ )

Keempat orang ini adalah rawi-rawi Bukhari dan Muslim. Maka apabila salah satu dari al ‘abadilah (yang nama depannya Abdullah) ini meriwayatkan dari Ibnu Lahi’ah, maka haditsnya shahih. Sedangkan sanad di atas tidak diriwayatkan oleh salah seorang dari al ‘abadilah yang empat orang di atas, sehingga dengan sendirinya sanadnya dha’if, kecuali hanya boleh dipakai sebagai pembantu atau penguat (syahid atau mutaba’ah). [6] Tetapi Imam Baihaqi telah meriwayatkan hadits di atas dalam Sunan-nya (II/ 408) dari jalan ‘Ustman bin Shalih dan dari jalan Abdullah bin Wahab dari Abdullah bin Lahi’ah seperti di atas.

Kalau kita urutkan, maka yang meriwayatkan hadits di atas dari Ibnu Lahi’ah sebanyak 3 (tiga) orang rawi:
(1) Qutaibah bin Said.
(2) ‘Ustman bin Shalih.
(3) Abdullah bin Wahb.

Maka hadits di atas derajatnya shahih.
Walillahil Hamd.

FIQIH HADIST [7]
Dari hadits-hadits yang mulia di atas, dapat kita ambil beberapa hukum yang sangat penting untuk diketahui, di antaranya:

1. Hukum najisnya darah haidh dan nifas. Dalam masalah ini para ulama telah ijma’.
Adapun selain dari darah haidh, seperti darah yang keluar dari manusia dan hewan, (maka) tidak ada satupun dalil yang sah yang menajiskannya. Karena, hukum asal segala sesuatu itu suci sampai datang dalil yang tegas dan sah yang menajiskannya. Apabila tidak ada, maka dikembalikan kepada hukum asalnya, yaitu suci. Dan dalam masalah darah, tidak datang dalil kecuali dalil tentang najisnya darah haidh. Dalam hal ini, hanya terbatas pada dalil. Kalau ada dalil yang menetapkan sesuatu itu najis, maka kita tetapkan kenajisannya. Kalau tidak ada, maka hukum asal segala sesuatu itu suci (dan) tidak bisa dipalingkan dengan jalan qiyas.

2. Darah haidh, banyak atau sedikit tetap najis.

3. Dalam membersihkan darah haidh, disukai mempergunakan sesuatu, seperti sabun dan lain-lain. Setelah itu, kalau masih ada bekasnya, tidaklah mengapa.

(Sumber: Al-Manhaj)