PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI

PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI
TABIB BERIJIN RESMI, HERBAL 100% ALAMI, AMAN SUDAH IJIN B-POM DAN HALAL MUI, PENGOBATAN MENGGUNAKAN HERBAL YANG SUDAH DIPERKAYA DENGAN RUQYAH ISLAMI YANG SYAR'I. HARGA TERJANGKAU. INFO LENGKAP KLIK PADA GAMBAR. SMS/WA TABIB UNTUK KONSULTASI DAN PEMESANAN OBAT DI: 08121341710 ATAU 0811156812

Wednesday, October 12, 2016

Empat cara menafsirkan Al Qur'an, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi

Dalam memahami Al Qur’an, hendaklah seorang muslim memperhatikan tata cara yang benar sebagaimana yang telah disebutkan oleh para ulama dalam kitab mereka, ibnu Katsir rahimahullah dalam muqodimah tafsirnya telah menjelaskan tata cara tafsir yang benar, beliau berkata :

“Apabila ada orang yang berkata,”Apakah cara tafsir yang paling benar ? jawabnya adalah bahwa cara yang paling benar (1) dengan menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an karena disebutkan dalam suatu ayat secara global namun telah dirinci penjelasannya dalam ayat yang lain. Jika engkau tidak mendapatkannya maka (2) carilah di dalam sunnah karena ia adalah penjelasan Al Qur’an… dan apabila kita tidak menemukannya di dalam Al Qur’an tidak juga di dalam As sunnnah maka (3) kita merujuk pendapat para shahabat karena mereka lebih mengetahui tentang tafsirnya sebab mereka langsung menyaksikan keadaan-keadaan yang hanya mereka yang mengetahuinya, juga karena mereka mempunyai pemahaman yang sempurna, ilmu yang lurus, dan amal shalih terutama para ulama mereka… dan apabila engkau tidak mendapatkannya di dalam Al Qur’an tidak juga dalam sunnah tidak juga pendapat para shahabat maka (4) banyak ulama yang merujuk pendapat Tabi’in… adapun menafsirkan Al Qur’an hanya dengan ro’yu semata maka hukumnya adalah haram.”

Menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an.

Tujuan diturunkan Al Qur’an adalah memberikan peringatan kepada manusia :

ﯹ ﯺ ﯻ ﯼ

“Agar memberikan peringatan kepada orang yang hidup (hatinya).” (Yasin : 70).

Oleh karena itu seorang muslim hendaknya bersemangat untuk memahami ayat-ayat Al Qur’an melebihi semangatnya membaca surat dari presiden atau seorang raja, sebagaimana dahulu para shahabat bersemangat memahami Al Qur’an, ibnu Mas’ud berkata :

وَالَّذِي لاَ إِلَهَ غَيْرُهُ، مَا نَزَلَتْْ آيَةٌ فِي كِتَابِ اللهِ إِلاَّ وَأَنَا أَعْلَمُ فِيْمَ نَزَلَتْ؟ وَأَيْنَ أُنْزِلَتْ؟ وَلَوْ أََعْلَمُ مَكَانَ أَحَدٍ أَعْلَمَ بِكِتَابِ اللهِ مِنِّى تَنَالُهُ الْمَطَََايَا لَأَتَيْتُهُ

“Demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak disembah selain-Nya, tidak ada satu ayatpun yang turun di dalam kitabullah kecuali saya mengetahui kepada apa ia turun dan dimana turunnya, kalaulah aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui kitabullah dariku yang dapat ditempuh oleh unta, niscaya aku akan mendatanginya.” (HR Ath Thobari).

Macam-macam penjelasan Al Qur’an dengan Al Qur’an.

Ayat-ayat Al Qur’an saling menjelaskan satu sama lainnya dengan berbagai macam bentuk penjelasan, Syaikh Muhammad bin Al Amin Asy Syanqithi menjelaskan beberapa macam penjelasan Al Qur’an dengan Al Qur’an diantaranya adalah :

Pertama : menjelaskan kegelobalan suatu ayat disebabkan oleh Persekutuan makna dalam :

1. Isim (kata benda).

Contohnya adalah kata quru’ dalam surat Al Baqarah :

ﭽ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼﭽ ﭼ

“Dan wanita-wanita yang ditalaq hendaklah menunggu tiga kali quru’.” (Al Baqarah : 228).

karena quru’ mempunyai dua makna yaitu suci dan haidl, dan Al Qur’an telah mengisyaratkan bahwa yang dimaksud quru dalam ayat tersebut adalah suci berdasarkan firman-Nya :

ﭖ ﭗ

“Dan talaqlah mereka diwaktu ‘iddah (suci) mereka.” (Ath Thalaq : 1).

Huruf laam dalam “Li’iddatihinna” menunjukkan kepada waktu artinya waktu talaq yang diperintahkan dalam ayat ini adalah suci bukan waktu haidl, sedangkan kata quru’ dalam ayat di atas berhubungan dengan waktu ‘iddah, ini menunjukkan bahwa makna quru’ dalam ayat tersebut adalah suci bukan haidl, dan yang menguatkan makna ini juga adalah adanya huruf ta’ dalam ثلاثة قروء yang menunjukkan kepada mudzakar, kalaulah maknanya haidl tentu akan disebutkan dengan lafadz ثلاث قروء dengan tanpa ta karena haidl itu muannats.

Diantara contohnya juga adalah kata Al ‘Atiiq dalam firman-Nya :

ﮱ ﯓ ﯔ

“Dan hendaklah mereka thawaf di baitil ‘atiiq.” (Al Hajj : 29).

Karena kata ‘Atiiq mempunyai beberapa makna yaitu qadiim (lama), al mu’tiq (yang memerdekakan), dan Al Kariim (yang mulia). Namun Allah menyebutkan bahwa yang dimaksud Al ‘Atiiq adalah makna yang pertama yaitu qadiim berdasarkan ayat lain :

ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ

“Sesungguhnya rumah yang pertama kali di letakkan untuk (tempat beribadah) manusia adalah yang berada di makkah.” (Ali Imran : 96).

Di dalam ayat ini Allah menegaskan bahwa baitullah adalah rumah yang paling lama yang di bangun untuk manusia.

2. Fi’il (kata kerja).

Contohnya adalah kata ‘as’as dalam firman Allah Ta’ala : والليل إذا عسعس. Karena ‘as’as mempunyai dua makna yaitu datang dan pergi, dan ayat lain menyebutkan dengan makna pergi, yaitu firman-Nya : والليل إذا أدبر “Demi malam apabila telah pergi.” Sehingga kata kerja ‘As’as dalam surat At Takwir tadi terlihat sepadan dengan yang di surat Al Muddatsir sebagaimana yang engkau lihat, akan tetapi di dalam Al Qur’an Allah seringkali bersumpah dengan malam dan kegelapannya apabila telah datang sebagaimana dalam surat Al Lail, Asy Syamsu, Wadluha dan lainnya, dan membawa makna ayat kepada yang seringkali terjadi lebih layak sebagaimana yang dipilih oleh ibnu Katsir dan itulah pendapat yang kuat.

3. Huruf.

Contohnya adalah huruf wawu (maknanya : dan) dalam firman Allah Ta’ala :

ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢﭣ ﭤ ﭥ ﭦﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ

“Allah telah mengunci mati hati dan pendengaran mereka, dan penglihatan mereka ditutup.” (Al Baqarah : 7).

Apakah wawu dalam ayat itu bermakna ‘athof (mengikuti sebelumnya) atau isti’naf (memulai), tetapi dalam surat Al Jatsiyah Allah Ta’ala berfirman :

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ

“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya.” (Al Jatsiyah : 23).

Ayat ini menjelaskan bahwa penguncian itu untuk telinga dan hati dan penutupan itu untuk mata secara husus, sehingga wawu untuk pendengaran dalam surat Al Baqarah itu adalah wawu ‘athof, sedangkan untuk penglihatan adalah wawu isti’naf.

Diantara contohnya juga adalah huruf ba dalam firman Allah Ta’ala :

ﭝ ﭞ

“Usaplah kepalamu”. (Al Maidah : 6).

Apakah ba dalam ayat ini bermakna tab’idl (sebagian) yang berkonsekwensi bolehnya mengusap sebagian kepala saja, ataukah ia bermakna ilshoq yang berkonsekwensi wajibnya menyapu kepala seluruhnya. Akan tetapi di dalam ayat tayamum Allah Ta’ala berfirman :

ﯭ ﯮ

“Maka usaplah wajahmu”. (Al Maidah : 6).

Ba dalam ayat itu maknanya adalah ilshoq sehingga tidak boleh mengusap sebagian wajah saja, maka ba di ayat wudlu pun tidak ada bedanya sehingga wajib hukumnya mengusap seluruh kepala, dan makna ini juga dikuatkan oleh hadits bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengusap seluruh kepalanya (HR Bukhari dan Muslim).

Diantara contohnya juga adalah huruf wawu dalam والراسخون ayat :

ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣﯤ

“Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata ”Kami beriman kepada ayat-ayat yang Mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.” (Ali Imran : 7).

Apakah ia wawu ‘athof ataukah wawu isti’naf. Sebab jika wawu ‘athaf maknanya adalah bahwa yang mengetahui ta’wilnya adalah Allah dan orang-orang yang mendalam ilmunya. Dan jika wawu itu isti’naf maknanya adalah bahwa tidak ada yang mengetahui ta’wilnya kecuali Allah saja.

Namun jika kita perhatikan secara seksama, kita dapati adanya penguat dalam ayat itu sendiri yang menunjukkan kepada makna isti’naf secara lafadz dan makna, adapun secara lafadz kalaulah maknanya ‘athof tentu Allah akan berfirman “Dan mereka berkata…”. Dengan wawu, Namun Allah Ta’ala berfirman “…dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata…”. Itu menunjukkan wawu tersebut isti’naf. Adapun secara makna adalah karena Allah mencela orang yang mencari-cari ta’wil, kalaulah ta’wilnya diketahui oleh orang-orang yang mendalam ilmunya tentu orang yang mencari ta’wilnya malah terpuji bukan tercela.

Kedua : menjelaskan kegelobalan suatu ayat yang disebabkan oleh ketidak jelasan (mubham) dalam :

1. Isim jenis yang berbentuk jamak atau tunggal.

Contoh yang berbentuk jamak adalah kata “kalimat” dalam firman Allah ta’ala :

ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄﰅ

“Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Rabbnya, maka Allah menerima taubatnya.” (Al Baqarah : 27).

Dalam ayat ini tidak disebutkan apa yang dimaksud dengan kalimat yang diterima oleh Nabi Adam ‘Alaihissalam, namun dalam ayat lain Allah menjelaskan maksud kalimat tersebut :

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ

“Keduanya berkata: “Ya Rabb kami, kami telah menganiaya diri kami sendiri, dan jika Engkau tidak mengampuni kami dan memberi rahmat kepada kami, niscaya pastilah kami termasuk orang-orang yang merugi.” (Al A’raaf : 23).

Contoh yang berbentuk tunggal adalah kata kalimat dalam firman Allah Ta’ala :

ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪﯫ

“Dan telah sempurnalah kalimat Rabbmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka.” (Al A’raf : 137).

Dalam ayat ini tidak disebutkan apa yang dimaksud kalimat yang baik yang Allah janjikan kepada Bani Israil, namun dalam ayat lain Allah menjelaskan maksud kalimat tersebut :

ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ

“Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) ini dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi bumi. Dan akan Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir’aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu.” (Al Qashash : 5-6).

Diantara contohnya juga adalah kata Asyudd (dewasa) dalam firman Allah Ta’ala :

ﭙ ﭚ ﭛﭜ

“Hingga sampai ia dewasa.” (Al An’am : 152).

Karena asyudd (dewasa) mempunyai beberapa makna diantaranya baligh, umur 30 tahun, 40 tahun, 50 dan 60 tahun, akan tetapi Allah menjelaskan dalam ayat lain bahwa yang dimaksud dengan asyudd adalah sampai menikah :

ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱﯲ

“Sampai mereka cukup umur untuk menikah. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah pandai memelihara harta maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (An Nisaa : 6).

2. Isim jamak.

Contohnya adalah kata kaum dalam firman Allah Ta’ala :

ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ

“Alangkah banyaknya taman dan mata air yang mereka tinggalkan. Dan kebun-kebun serta tempat yang indah-indah. Dan kesenangan-kesenangan yang mereka menikmatinya. Demikianlah, Kami wariskan semua itu kepada kaum yang lain.” (Ad Dukhan 25-28).

Kata kaum dalam ayat tersebut tidak dijelaskan siapa mereka, namun Allah menjelaskannya dalam ayat yang lain bahwa mereka adalah Bani Israil :

ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ ﰍ

“Maka kami keluarkan Fir’aun dan kaumnya dari taman-taman dan mata air. Dan dari perbendaharaan dan kedudukan yang mulia. Demikian halnya dan Kami anugrahkan semua itu kepada Bani Israil.” (Asy Sua’ra 57-59).

3. Silah maushul.

Contohnya adalah firman Allah “An’amta ‘alaihim” dalam surat Al Fatihah :

ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ

“Yaitu jalan orang-orang yang Engkau berikan nikmat kepada mereka.”

Dalam ayat ini tidak dijelaskan siapa yang dimaksud dengan orang-orang yang diberikan nikmat, namun dalam ayat lain dijelaskan siapa mereka, Allah Ta’ala berfirman :

ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇﮈ

“Dan barang siapa yang mentaati Allah dan Rosul-Nya, mereka itu akan bersama dengan orang-orang yang dianugerahi ni’mat oleh Allah yaitu Nabi-nabi, para shidiqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang shaleh.” (An Nisaa : 69).

Diantara contohnya juga adalah firman Allah Ta’ala :

ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ

“Sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan perlihatkan.” (Al Ahzab : 37).

Tidak disebutkan apa yang disembunyikan oleh Rosulullah dalam hatinya yang Allah akan perlihatkan, namun Allah menjelaskan bahwa yang disembunyikan oleh beliau adalah menikahi Zainab bintu Jahsy yang pada waktu itu sebagai istri Zaid bin Haritsah, karena pernikahan Nabi shallalahu ‘alaihi wasallam dengan Zainab itu yang diperlihatkan oleh Allah Ta’ala dengan firman-Nya :

ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ

“Maka tatkala Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap isterinya (menceraikannya), kami kawinkan kamu dengan dia (Zainab).” (Al Ahzab : 37).

Inilah yang sesuai dengan kedudukan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, adapun yang dikatakan oleh banyak ahli tafsir bahwa yang disembunyikan oleh Rosulullah dalam hatinya adalah perasaan cinta kepada Zainab dan bahwa Zainab pernah mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Maha suci Allah yang membolak-balikkan hati” sampai akhir kisah, semua itu tidaklah benar dengan dalil bahwa Allah tidak memperlihatkan rasa cinta itu, padahal Allah tegas mengabarkan bahwa Dia akan memperlihatkan apa yang disembunyikan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hatinya.

Diantara contohnya juga adalah makna min dalam firman Allah Ta’ala :

ﮏ ﮐ ﮑ

“Dan berinfaklah dari apa yang Kami berikan kepada kamu sebagai rizki.” (Al Baqarah : 254).

Min (dari) dalam ayat ini menunjukkan sebagian namun tidak dijelaskan ukuran bagiannya, dan dijelaskan dalam ayat lain bahwa ia adalah apa yang melebihi keperluan :

ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷﯸ

“Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan, katakanlah,”Yang lebih dari keperluan.” (Al Baqarah : 219).

Ketiga : Lahiriyah suatu ayat yang langsung difahami dengan bahasa arab tidak menunjukkan kepada makna lahiriyah ayat tersebut dengan dalil ayat lainnya.

Contohnya adalah firman Allah Ta’ala ﮦ ﮧﮨ “Thalaq itu dua kali”. (Al Baqarah : 229). Lahiriyah ayat ini menunjukkan bahwa thalaq itu hanya terbatas dua kali thalaq saja, namun Allah Ta’ala menjelaskan dalam ayat lainnya bahwa thalaq dua kali itu khusus untuk thalaq raj’iy (thalaq yang masih dibolehkan padanya rujuk), Allah berfirman :

ﯻ ﯼ ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅﰆ

“Kemudian jika sisuami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan lelaki lain.” (Al Baqarah : 230).

Diantara contohnya juga adalah firman Allah Ta’ala :

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛﭜ

“Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim kecuali dengan cara yang lebih baik hingga ia sampai dewasa.” (Al An’am : 152).

Yang difahami dari ayat itu bahwa bila anak yatim itu telah dewasa tidak apa-apa mendekati hartanya dengan cara yang tidak lebih baik, akan tetapi Allah Ta’ala menjelaskan dalam ayat lain bahwa apabila ia telah dewasa maka hendaklah harta itu diserahkan kepada anak yatim tersebut, Allah Ta’ala berfirman :

ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱﯲ

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin, kemudian jika menurutmu mereka telah pandai memelihara harta, maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya.” (An Nisaa : 6).

Keempat : Pemahaman terhadap keumuman suatu ayat yang tidak tepat karena adanya penguat dalam ayat tersebut.

Contohnya adalah pendapat Abu Hanifah yang mengatakan bahwa seorang muslim di bunuh bila ia membunuh kafir dzimmi berdalilkan dengan keumuman ayat yang menyebutkan bahwa jiwa dibalas dengan jiwa (Al Maidah : 45), padahal di dalam ayat tersebut ada qorinah (penguat) yang menunjukkan bahwa seorang muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh kafir dzimmi, yaitu firman Allah Ta’ala :

ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥﯦ

“Barang siapa yang bershodaqoh dengan melepaskan hak (qishas)nya, maka ia menjadi kaffarat (penebus dosa) baginya.”

Sedangkan shodaqohnya orang kafir tidak menjadi penebus dosa baginya, karena amal shalih tidak bermanfaat bila pelakunya kafir.

Contohnya juga adalah pemahaman banyak orang mengenai ayat hijab yaitu firman Allah :

ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥﯦ ﯫ

“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir (hijab).” (Al Ahzaab : 53).

Bahwa ayat ini khusus untuk isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, namun pemahaman ini tidak tepat karena Allah berfirman dalam ayat itu :

ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ

“Yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”

Menunjukkan bahwa hukum itu tidak khusus untuk mereka saja, karena tidak ada seorang muslim pun yang mengatakan bahwa selain isteri Nabi tidak butuh kepada kesucian hati, sedangkan dalam kaidah ushul fiqih disebutkan bahwa hukum itu mengikuti keberadaan illat (alasan).

Contohnya juga adalah perkataan sebagian orang bahwa isteri-isteri Nabi tidak masuk ke dalam ahlul bait dalam firman Allah Ta’ala :

ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ

“Sesungguhnya Allah bermaksud untuk hendak menghilangkan dosa dari kamu hai ahlul bait.” (Al Ahzaab : 33).

Padahal redaksi ayat tersebut sangat jelas menunjukkan bahwa isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam masuk dalam ayat itu, karena Allah berfirman sebelumnya :”Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu.” (Al Ahzaab : 28). Dan juga ayat setelahnya Allah berfirman :”Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah)”. (Al Ahzaab : 34).

Kelima : Disebutkannya sebuah kejadian dalam suatu ayat kemudian disebutkan dalam ayat lain tata cara terjadinya kejadian tersebut.

Contohnya adalah firman Allah Ta’ala :

ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ

“”Dan (ingatlah) ketika Kami berjanji kepada Musa (memberi taurat sesudah) empat puluh malam.” (Al Baqarah : 51).

Tidak dijelaskan di sini tata cara janji tersebut apakah sekailgus atau tidak namun dalam ayat lain Allah menjelaskan tata caranya yaitu firman Allah Ta’ala :

ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠﮡ

“Dan telah kami janjikan kepada Musa (memberi taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh malam lagi, maka sempurnalah waktu yang telah ditentukan Rabnya empat puluh malam.” (Al A’raaf : 142).

Keenam : disebutkannya sebuah perintah dalam sebuah ayat lalu dalam ayat lain disebutkan sesuatu yang berhubungan dengan perintah tersebut berupa :

a. Sebabnya.

Contohnya adalah firman Allah Ta’ala :

ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡﮢ

“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu bahkan lebih keras lagi.” (Al Baqarah : 74).

Dalam ayat ini tidak dijelaskan sebab kerasnya hati mereka, namun dijelaskan dalam ayat lain sebabnya, yaitu firman Allah Ta’ala :

ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫﮬ

“(tetapi) karena mereka melanggar janjinya, Kami kutuk mereka dan Kami jadikan hati mereka keras membatu.” (Al Maidah : 13).

b. Obyeknya.

Contohnya adalah firman Allah Ta’ala :

ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ

“Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran untuk orang yang takut.” (An Nazi’at :26)

Dalam ayat ini tidak disebutkan obyek dari kata takut, akan tetapi dalam ayat sebelumnya diisyaratkan bahwa yang di takutkan adalah adzab yang menimpa Fir’aun, firmanNya :

ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ

“Maka Allah mengadzabnya dengan adzab di akhirat dan adzab di dunia.”

c. Tempatnya (dzorof makan) dan waktunya (dzorof zaman).

Seperti firman Allah Ta’ala: الحمد لله رب العلمين “Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam”. Dalam ayat lain disebutkan tempat dan waktu pujian tersebut, adapun tempat yaitu firman Allah :

ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ

“Milik-Nyalah pujian di langit dan di bumi.” (Ar Ruum : 18).

Dan waktunya ditunjukkan oleh firman Allah Ta’ala :

ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂﰃ

“Milik-Nyalah pujian di dunia dan akhirat.” (Al Qashash : 70).

Contohnya juga adalah firman Allah Ta’ala :

ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵﭶ

“Agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul (muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu.” (Al Baqarah : 143).

Dalam ayat lain dijelaskan bahwa persaksian Rosul tersebut terjadi pada hari kiamat :

ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ

“Maka bagaimanakah, apabila Kami mendatangkan seorang saksi (rosul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan Kamu (muhammad) sebagai saksi atas mereka (umatmu). Di hari itu orang-orang kafir dan orang-orang yang mendurhakai rosul, ingin supaya mereka disamaratakan dengan tanah dan mereka tidak dapat menyembunyikan sesuatu kejadian pun.” (An Nisaa : 41-42).

d. Muta’alliqnya (keterkaitannya).

Seperti firman Allah Ta’ala :

ﯕ ﯖﯗ ﯘ ﯙ ﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞﯟ

“Kobarkanlah semangat kaum mukminin, semoga Allah menolak serangan orang-orang kafir itu.” (An Nisaa : 84).

Dan dalam surat Al Anfaal : 5 Allah menjelaskan bahwa perintah untuk mengobarkan semangat itu berkaitan dengan perang, Allah Ta’ala berfirman :

ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄﮅ

“Wahai Nabi, kobarkanlah semangat kaum mukminin untuk berperang.”

Ketujuh : Menentukan salah satu makna yang ada dalam sebuah ayat dengan membawa kepada makna yang mayoritas dalam Al Qur’an.

Seperti firman Allah Ta’ala:

ﰕ ﰖ ﰗﰘ

“Aku dan Rosul-Ku pasti menang.” (Al Mujadilah : 21).

Sebagian ulama ada yang menafsirkan dengan kemenangan hujjah dan penjelasan, sedangkan mayoritas makna menang dalam Al Qur’an adalah kemenangan dengan pedang dan panah (senjata), maka ayat ini pun dibawa kepada makna yang mayoritas tersebut.

Diantaranya juga kata zalim sering kali dimutlakkan dalam Al Qur’an dengan makna syirik, seperti firman Allah ta’ala :

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itulah orang-orang yang mendapatkan petunjuk.” (Al An’am : 82).

Kedelapan : Menafsirkan suatu lafadz dengan lafadz lain yang lebih terkenal.

Contohnya adalah kata sijjil dalam firman Allah Ta’ala :

ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ

“Dan Kami hujani mereka dengan batu yang terbuat dari sijjil.” (Al Hijir : 74).

Allah ta’ala menjelaskan dalam ayat lainnya bahwa yang dimaksud dengan sijjil adalah thin (tanah liat) sebagaimana firman-Nya :

ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ

“Mereka berkata,”Sesungguhnya kami diutus kepada sebuah kaum yang durhaka. Agar kami lempari mereka dengan batu yang terbuat dari thin (tanah liat).” (Adz Dzariyat : 33).

Kesembilan : Menyebutkan sesuatu untuk menetapkan sesuatu yang lain dengan isyarat yang sering kali dijadikan dalil dalam Al Qur’an.

Contohnya adalah firman Allah Ta’ala :

ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﭧ ﭨ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭽ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ ﯘ ﯙﯚ ﯛ ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ

“Wahai manusia, sembahlah Rabbmu yang telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu agar kamu bertaqwa. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rizki untukmu; karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kamu mengetahui.” (Al Baqarah : 21-22).

Di dalam ayat ini Allah menyebutkan tiga buah keterangan akan adanya kebangkitan yang sering kali disebutkan oleh Al Qur’an yaitu :

Pertama : Penciptaan makhluk pertama kali yang merupakan bukti yang paling agung akan kekuasaan Allah untuk menciptakan manusia untuk kedua kalinya, dan bukti ini sering sebutkan dalam ayat lainnya seperti dalam surat Yasin : 79, Ar Ruum : 27, Al Hajj : 5 dan lain-lain.

Kedua : Penciptaan langit dan bumi; karena bila Allah mampu menciptakan yang lebih besar dari manusia, tentu Allah lebih mampu lagi untuk membangkitkan manusia karena itu lebih mudah. Bukti ini sering Allah sebutkan dalam ayat-ayat lainnya seperti dalam surat An Nazi’at : 27, Yasin : 81, Ghafir : 57, dan lain-lain.

Ketiga : Menghidupkan tanah yang tadinya mati, sebagai bukti bahwa Allahpun berkuasa untuk membangkitkan manusia kembali dari kuburnya. Dan Allah mengisyaratkan kepada bukti ini dalam ayat-ayat lainnya seperti dalam surat fushilat : 39, Az Zukhruf : 11, Qaaf : 11 dan ayat-ayat lainnya.

Kesepuluh : menjelaskan isyarat dalam suatu ayat kepada ayat lainnya.

Contohnya adalah firman Allah Ta’ala :

ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲﯳ

“Dan terhadap orang-orang Yahudi, Kami haramkan apa yang telah Kami ceritakan dahulu kepadamu.” (An Nahl : 118).

Yang Allah ceritakan adalah yang diceritakan dalam surat Al An’am :

ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﯸ ﯹ ﯺﯻ ﯼ ﯽ ﯾﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﭼ

“Dan kepada orang-orang Yahudi Kami haramkan segala binatang yang berkuku, dan dari sapi dan domba Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu, selain lemak yang melekat dipunggung keduanya atau yang diperut besar atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka disebabkan kedurhakaan mereka dan sesungguhnya Kami adalah Maha benar.” (Al An’am : 146).

Kesebelas : menjelaskan hikmah-hikmah penciptaan suatu makhluk yang Allah sebutkan dalam beberapa ayat.

Contohnya adalah hikmah penciptaan bintang, di dalam suatu ayat Allah menjelaskan bahwa hikmah penciptaan binatang adalah sebagai kompas yang menunjukkan jalan :

ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿﮀ

“Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan laut.” (Al An’am : 97).

Dan di dalam ayat lain Allah menjelaskan hikmah lain dari penciptaan bintang :

ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏﮐ

“Sesungguhnya Kami telah menghiasi langit yang paling bawah (dunia) dengan bintang-bintang dan Kami jadikan bintang-bintang itu alat-alat pelempat setan.” (Al Mulk : 5).

Kedua belas : Menjelaskan suatu perintah atau larangan dalam suatu ayat apakah perintah atau larangan tersebut dipraktekan atau tidak.

Contohnya adalah firman Allah kepada Nabi dan kaum mukminin :

ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ

“Katakanlah,”Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada Nabi-Nabi dari Rabbnya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (Al Baqarah : 136).

Dalam ayat lain Allah menjelaskan bahwa mereka mempraktekan perintah tersebut :

ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫﮬ

“Rasul telah beriman kepada Al Qur’an yang diturunkan kepadanya dari Rabbnya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya dan rosul-rosulNya (mereka mengatakan): “Kami tidak membeda-bedakan antara seorangpun dengan yang lain dari rosul-rosulNya.” (Al Baqarah : 285).

Ketiga belas : Menjelaskan kebatilan sebuah ta’wil dengan dalil ayat lain atau redaksi ayat tersebut tidak mendukung ta’wil yang batil itu.

Contohnya ta’wil kaum Asy’ariyyah terhadap Firman Allah Ta’ala :

ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ

“Arrahman diatas Arasy beristiwa’.” (Thaha : 5).

Mereka mengatakan bahwa makna istawa ‘ala adalah istaula (berkuasa), dan ini adalah ta’wil yang batil karena istawa ‘ala artinya tinggi bersemayam berdasarkan firman Allah :

ﯴ ﯵ ﯶﯷ

“Dan bahtera itupun berlabuh di atas bukit Judi.” (Huud : 44).

Kalaulah makna istawa ‘ala artinya berkuasa maka seharusnya arti ayat itu adalah “Dan bahtera itu pun menguasai bukit Judi.” Dan ini jelas batil karena perahu tidak dikatakan “menguasai”.

Contoh lain adalah ta’wil mereka terhadap ayat :

ﯯ ﯰ ﯱ

“Justru kedua tangan-Nya terbuka”. (Al Maidah : 64).

Bahwa yang dimaksud dengan yad adalah ni’mat, dan ini batil karena kata yad dalam ayat tersebut berbentuk mutsanna (dua), sedangkan ni’mat Allah sangat banyak tidak hanya dua, maka makna yad dalam ayat tersebut adalah tangan secara hakiki, namun tidak serupa dengan makhluk-Nya sebagaimana keyakinan Ahlussunnah.

Keempat belas : Menjelaskan tata cara menetapkan sifat Allah dengan berbagai macam bentuk penetapan.

Contohnya adalah penetapan sifat Allah Al ‘Uluw (Tinggi), di dalam Al Qur’an banyak ragam dalam menetapkannya diantaranya adalah :

Pertama : Nama-nama Allah yang menunjukkan kepada makna ‘uluw seperti firman-Nya:

ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ

“Bertasbihlah dengan menyebut nama Rabmu yang paling tinggi.”

Juga firman Allah Ta’ala :

ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ

“Sesungguhnya Allah Maha tinggi lagi Maha Besar.” (An Nisa : 34).

Kedua : Menyatakan bahwa Allah bersemayam di atas ‘Arsy, dalam tujuh ayat yang disebutkan dalam Al Qur’an yaitu Al A’raf : 54, Yunus : 3, Ar Ra’du : 2, Thaha : 5, Al Furqan : 59, As Sajdah : 4, dan Al Hadid : 4.

Ketiga : Menyatakan bahwa Allah berada di atas, seperti firman Allah Ta’ala :

ﯔ ﯕ ﯖ ﯗ

“Mereka takut kepada Rabbnya yang berada di atas mereka.” An Nahl : 50).

Keempat : Menyatakan bahwa Allah berada di langit, seperti firman Allah Ta’ala :

ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﭼ

“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang. Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kamu kelak akan mengetahui bagaimana akibat mendustakan peringatanKu.” (Al Mulk : 16-17).

Kelima : Mengabarkan bahwa amalan shalih naik kepada-Nya, seperti firman Allah Ta’ala

ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬﯭ

“Kepada-Nyalah naik kalimat yang baik dan amal yang shalih dinaikkan-Nya.” (Fathir : 10).

Keenam : Mengabarkan bahwa malaikat dan Ruh naik kepada-Nya.

ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ

“Malaikat dan Ruh (jibril) naik kepada-Nya.” (Al Ma’arij : 4).

Ketujuh : Mengabarkan mi’rajnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, dan ini dalil yang amat tegas bahwa Allah berada di atas langit bersamayam di atas ‘Arasy.

Kedelapan : Mengabarkan bahwa Al Qur’an turun dari sisi-Nya dalam ayat-ayat yang sangat banyak dan semua kita tahu bahwa bahwa turun itu dari atas ke bawah.

Kelima belas : Menjelaskan sebuah perkara yang tidak masuk ke dalam sebuah ayat.

Contohnya adalah perkataan mu’tazilah bahwa Al Qur’an adalah makhluk berdalilkan dengan keumuman firman Allah Ta’ala :

ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ

“Allah menciptakan segala sesuatu.” (Ar Ra’du : 16).

Sedangkan Al Qur’an termasuk sesuatu berdasarkan hadits “Apakah bersamamu sesuatu dari Al Qur’an ?” (HR Bukhari).

Namun pemahaman ini adalah batil karena di dalam ayat lain Allah membedakan antara penciptaan dan perintah, Allah berfirman :

ﮞ ﮟ ﮠ ﮡﮢ

“Sesungguhnya milik Allahlah penciptaan dan perintah.” (Al A’raf : 54).

Dalam ayat ini Allah membedakan antara penciptaan dan perintah karena huruf wawu (dan) termasuk huruf ‘athof dan ‘athof itu diantara fungsinya adalah untuk membedakan, sedangkan Al Qur’an termasuk ke dalam perintah Allah sebagaimana firman-Nya :

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖﭗ

“Demikianlah Kami wahyukan keapda-Mu ruh (Al Qur’an) dari perintah Kami.” (Asy Syura : 52).

Sehingga Al Qur’an tidak termasuk sesuatu yang diciptakan dengan ijma’ ahlussunnah wal jama’ah.

Keenam belas : Menjelaskan manthuq (teks) dan mafhum (konteks), dan ini menjadi empat keadaan :

Pertama : Menjelaskan manthuq dengan manthuq seperti menjelaskan Allah :

ﮐ ﮑ ﮒ ﮓ ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ

“Dihalalkan untukmu binatang ternak kecuali yang dibacakan kepadamu.” (Al Maidah : 1).

Yang dibacakan kepadamu adalah yang ada di dalam ayat lain :

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬﭭ

“Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah, daging babi, daging hewan yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. Dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah.” (Al Maidah : 3).

Kedua : Menjelaskan mafhum dengan manthuq, seperti menjelaskan mafhum ayat :

ﭚ ﭛ ﭜ

“Sebagai hidayah untuk orang yang bertaqwa.” (Al Baqarah : 1).

Dengan manthuq firman Allah Ta’ala :

ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ ﯱﯲ

“Katakanlah: “Al Qur’an itu adalah hidayah dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka.” (Fushilat : 44).

Ketiga : Menjelaskan manthuq dengan mafhum, seperti menjelaskan manthuq ayat: “Diharamkan bagimu memakan bangkai, darah…” dengan mafhum ayat : “..Atau darah yang mengalir..” (Al An’am : 145). Mafhum ayat ini menjelaskan bahwa darah yang tidak mengalir hukumnya halal.

Keempat : Menjelaskan mafhum dengan mafhum, seperti menjelaskan mafhum ayat :

ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ ﯰ

“(Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita ahli kitab.” (Al Maidah : 5).

Mafhum ayat ini menunjukkan bahwa hamba sahaya ahli kitab tidak boleh dikawini, dan ini ditunjukkan oleh mafhum ayat lain yaitu firman Allah Ta’ala :

ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ ﮊ ﮋ ﮌ ﮍ ﮎ ﮏ ﮐ ﮑﮒ

“Dan barang siapa diantara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki.” (An Nisaa : 25).

Karena konteks firman Allah “ia boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu miliki.” Menunjukkan larangan mengawini hamba sahaya wanita yang kafir walaupun dalam keadaan darurat.

Dan macam-macam penjelasan lainnya yang terkandung di dalam Al Qur’an, yang tentunya membutuhkan kepada pemahaman yang dalam dan penguasaan bahasa arab yang cukup sehingga kita tidak salah di dalam menafsirkan Al Qur’an dengan Al Qur’an, sebuah contoh penafsiran Al Qur’an dengan Al Qur’an yang salah adalah penafsiran kaum liberal terhadap ayat poligami.

ia berkata :”sebenarnya kalau mau jujur, dalam al qur’an ada tiga poin yang terkait dengan poligami. Yang pertama anggaplah semacam memberikan kesempatan untuk berpoligami. Kedua adalah peringatan atau warning agar berlaku adil : fain khiftum alla’ ta’dilu fawahidah (kalau engkau sangsi tidak dapat berlaku adil, satu sajalah !, Red). Ketiga, ada ayat yang menyatakan, walan tashtati’u an ta’dilu bainan nisa wain harashtum. Artinya, kamu sekalian (wahai kaum laki-laki !) tidak akan bisa berbuat adil antara istri-istrimu, sekalipun engkau berusaha keras. Artinya, kalau kita melakukan komparasi atas berbagai ayat, kesimpulannya adalah satu ayat memperbolehkan poligami sedangkan yang dua ayat justru (seakan-akan) menafikan terwujudnya syarat pokok berpoligami : masalah keadilan. Intinya dua ayat justru mengekang poligami. Kalau kita menggunakan proporsi seperti itu, akan dihasilkan perbandingan dua ayat banding satu. Dan ingat, satu-satunya ayat yang seakan memperbolehkan poligami adalah QS An Nisa 2-3, konteksnya adalah perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang “.

Penafsiran orang ini sangat batil karena bertentangan dengan penafsiran para ulama, berikut ini tanggapannya :

Pertama : ayat-ayat al qur’an tidak akan pernah bertentangan satu sama lainnya sebagaimana dalam QS An Nisa : 82, sehingga tidak pantas dikatakan dua ayat banding satu, karena kebiasaan menghantamkan nash satu sama lainnya adalah kebiasaan ahlul bid’ah yang sesat. Dan ayat-ayat diatas tidaklah bertentangan satu sama lainnya sebagaimana yang akan dijelaskan. Dan perkataan ia : dua ayat banding satu, adalah batil karena ayat kedua yang ia bawakan masih seayat dengan pertama, bagaimana bisa dikatakan dua ayat !!

Kedua : firman Allah :

ﮔ ﮕ ﮖ ﮗ ﮘ ﮙ ﮚ ﮛ ﮜﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ

“Maka apabila kamu takut tidak akan dapat berlaku adil maka kawinilah seorang saja.” (Annisa : 3). Ayat ini menerangkan bahwa pada asalnya poligami diperbolehkan kecuali bagi mereka yang takut tidak dapat berbuat adil, mafhumnya adalah apabila kamu tidak takut maka dipersilahkan, jadi larangan hanya husus bagi orang yang merasa takut saja, maka tidak boleh difahami bahwa ayat ini menafikan poligami secara mutlak. Adapun klaim bahwa syarat poligami yaitu berbuat adil telah dinafikan dalam ayat lain maka jawabannya dalam poin berikut ini

Ketiga : bahwa yang dimaksud dengan firman Allah Annisa 129 :

ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹﭺ

“Kamu sekalian tidak akan bisa berbuat adil antara istri-istrimu, sekalipun engkau berusaha keras.”

Adalah dalam adil yang manusia tidak mampu melakukannya yaitu masalah cinta dan jima’. berkata Ibnu Katsir :” maksudnya, kalian tidak akan mampu wahai manusia untuk menyamaratakan antara wanita dari seluruh segi, walaupun terjadi pembagian bersifat shuuri, malam ini dan malam itu, akan tetapi pasti terjadi perbedaan dalam cinta, syahwat dan jima’ sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Abidah As Salmani, Mujahid, Al Hasan Al Bashri dan Adl Dlohhak bin Muzahim. Ibnu Abi Hatim berkata haddatsana Abu Zur’ah haddatsana Ibnu Abi Syaibah haddatsana Husain Al Ju’fi dari Zaidah dari Abdul ‘Aziz bin Rofii’ dari ibnu Abi Mulaikah ia berkata :” ayat ini turun mengenai Aisyah, yakni bahwa Nabi Saw mencintainya lebih dari istri-istri beliau yang lain...” (Tafsir Ibnu Katsir 1/577).

Perhatikan, Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam ternyata lebih mencintai Aisyah dari istrinya yang lain, padahal Allah menyatakan : fain khiftum alla ta’dilu fawahidah. Artinya jika kamu takut tidak berbuat adil maka satu saja. Ini menunjukkan bahwa konteks ayat tersebut bukan dalam rangka menafikan poligami akan tetapi menafikan suatu jenis adil yaitu kemampuan berbuat adil dalam cinta, sebab kalaulah yang dimaksud adalah menafikan poligami, tentu Nabi tidak akan menikahi selain Aisyah, karena kecintaan beliau kepadanya melebihi cinta kepaada istri-istri beliau yang lainnya.

Keempat : lanjutan ayat tersebut adalah firmanNya :

ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀﮁ

“Maka janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai) sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”

Ini menunjukkan bahwa yang dilarang adalah kecondongan yang berlebihan kepada salah satu istrinya sehingga menjadikan yang lainnya terkatung-katung. Adapun sebatas kecondongan yang tidak berlebihan maka ini masih dimaafkan sebagaimana firman Allah selanjutnya :

ﮂ ﮃ ﮄ ﮅ ﮆ ﮇ ﮈ ﮉ

“Dan jika kalian berbuat ishlah dan bertaqwa, maka sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha penyayang.”

Ibnu Katsir berkata :” maksudnya, jika kalian telah berbuat baik dalam urusan kalian dan membaginya dengan adil dalam perkara yang kalian mampu dan bertaqwa kepada Allah dalam seluruh keadaan, maka Allah akan mengampuni untukmu kecondongan kepada sebagian istri tanpa lainnya”.(tafsir ibnu katsir 1/577). Kesimpulannya bahwa kecondongan ada dua macam :

Pertama : kecondongan yang tidak ada seorang pun mampu untuk menolaknya yaitu dalam cinta, maka ini dimaafkan.

Kedua : kecondongan yang mampu ditinggalkan yaitu kecondongan yang berlebihan sehingga membuat yang lainnya terkatung-katung, maka ini dilarang.

Menjadi jelas dengan penjelasan diatas bahwa maksud ayat : fain khiftum alla ta’dilu. Bila kamu takut untuk tidak berbuat adil maksudnya kecondongan yang berlebihan sehingga ia tidak berbuat adil dan membuat yang lain menjadi terkatung katung, berkata Syaikh Fauzan :” Yang dimaksud adil dalam ayat tersebut adalah adil yang mampu dilakukan yaitu dalam hal pembagian nafkah, baju dan tempat tinggal”. (Al Mulakhkhosh fiqhiy 1/257). Sehingga kedua ayat tersebut sama sekali tidak saling bertentangan bahkan saling menjelaskan.

Kelima : para Shohabat Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam melakukan poligami dimasa Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam, akan tetapi tidak ada satupun nukilan bahwa Nabi melarang mereka berpoligami, bahkan ketika Hafshoh binti Umar menjadi janda, Umar menawarkannya kepada Utsman dan Abu bakar, lalu Hafshohpun dinikahi oleh Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam (HR Bukhori dan muslim). Kalaulah poligami itu perkara yang tercela tentu akan dilarang oleh Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam.

Keenam : adapun perkataan ia : konteksnya adalah perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang . ini adalah takhsish bila mukhoshish artinya penghususan tanpa dalil, karena dalil yang umum atau mutlak tidak boleh dihususkan atau diikat dengan keadaan tertentu kecuali dengan dalil sebagaimana yang disebutkan dalam ilmu ushul fiqih, dan ternyata tidak ada dalil. Bahkan bertentangan dengan dalil, yaitu bahwa Rosulullah sallallahu ‘alaihi wasallam menikah dengan Saudah binti Zam’ah beberapa hari setelah kematian Khadijah, kemudian menikah dengan Aisyah yang waktu itu umurnya masih enam tahun (lihat Zadul ma’ad 1/102 karya Ibnu Qoyyim Al Jauziyah), sedangkan Aisyah bukan yatim bukan pula janda korban perang.

Kitab yang paling bagus dalam masalah tafsir Al Qur’an dengan Al Qur’an adalah kitab adlwa’ul bayan yang di tulis oleh Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syanqithi, silahkan pembaca merujuknya karena ia adalah kitab yang mengagumkan.

Bab II. Menafsirkan Al Qur’an dengan sunnah.

Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah manusia yang paling memahami makna-makna Al Qur’an, dan beliau telah menafsirkan Al Qur’an dengan perkataan dan perbuatan yang tentunya semua itu berasal dari wahyu Allah dan bimbingan dari-Nya, Allah berfirman :

ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ

“Dan Kami telah menurunkan kepada Engkau Adz Dzikr agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (An Nahl : 44).

Ibnu Katsir rahimahullah berkata,”artinya dari Rabb mereka karena pengetahuanmu mengenai makna apa yang Allah turunkan kepadamu dan semangatmu untuk mengikutinya, juga karena Kami mengetahui bahwa engkau adalah makhluk yang paling utama dan penghulu anak Adam, maka engkau memberikan perincian kepada mereka ayat yang global dan menjelaskan yang masih samar.”

Fungsi sunnah terhadap Al Qur’an.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata,” Sunnah terhadap Al Qur’an ada tiga fungsi :

Pertama : menyepakatinya pada seluruh sisi seperti hadits-hadits yang menunjukkan kepada kewajiban sholat, zakat, puasa, haji dan lain-lain tanpa menyebutkan syarat-syarat dan rukunnya.

Kedua : menjelaskan apa yang diinginkan oleh Al Qur’an dan menafsirkannya, seperti hadits-hadits yang memberikan perincian hukum-hukum sholat, puasa, zakat, haji, jual beli, mu’amalah dan lain-lain yang tertera di dalam Al Qur’an secara global, dan ini adalah fungsi yang seringkali terjadi.

Ketiga : mewajibkan suatu hukum yang didiamkan oleh Al Qur’an atau mengharamkannya, seperti hadits-hadits yang menetapkan menggabung dalam menikahi seorang wanita dan bibinya, hukum syuf’ah dan lail-lain.

Imam Asy Syafi’I rahimahullah berkata,”Dan aku tidak mengetahui adanya penyelisihan dari ahli ilmu bahwa sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada tiga fungsi dan mereka (para ulama) bersepakat pada dua fungsi “

Pertama : Allah menurunkan nash Al Qur’an lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan seperti nash tersebut.

Kedua : Allah menurunkan ayat Al Qur’an yang bersifat global lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan makna yang diinginkan oleh Allah Ta’ala. Dua ini yang disepakati oleh para ulama.

Ketiga : Yang disunnahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang tidak ada dalam nash Al Qur’an.

Sebagian ulama berkata,”Allah memberikan kepada beliau untuk mensunnahkan apa yang tidak ada nashnya dalam Al qur’an karena Allah mewajibkan (hamba-Nya) untuk mentaati beliau dan telah terdahulu dalam ilmu-Nya berupa taufiq untuk beliau kepada keridloan-Nya.

Sebagian lagi berkata,”Semua yang disunnahkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mempunyai asal dari Al Qur’an.”

Mayoritas ulama berpendapat dengan pendapat pertama dan bahwasanya sunnah itu seperti Al Qur’an dalam menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram, mereka berdalil dengan Al Qur’an, hadits dan penelitian (istiqra’).

Adapun Al Qur’an, maka Allah Ta’ala berfirman :

ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ

“Dan tidaklah ia berbicara dari hawa nafsunya. Namun ia adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (An Najm : 3-4). Alah Ta’ala juga berfirman :

ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧﮨ

“Dan apa yang diberikan Rosul kepadamu maka terimalah, dan apa yang dilarangnya maka tinggalkanlah.” (Al Hasyr : 7). Dan ayat-ayat lainnya.

Adapun hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

أَلاَ إِنِّيْ أُوْتِيْتُ الْقُرْآنَ وَمِثْلُهُ مَعَهُ.

“Sesungguhnya aku telah diberikan Al Qur’an dan yang semisal dengannya.” (HR Abu Dawud dan Tirmidzi).

Adapun penelitian (istiqra), maka banyak sekali di dalam sunnah hukum-hukum yang tidak ada dalam Al Qur’an seperti pengharaman keledai jinak, pengharaman binatang yang bertaring dan lain-lain. Dan secara akalpun memungkinkan karena selama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ma’shum (terpelihara) dari kesalahan dan Allah memerintahkan kepada Rosul-Nya untuk menyampaikan risalah dengan cara apapun baik dengan Al Kitab atau dengan yang lainnya, lebih-lebih nash-nash yang mewajibkan mengikuti Rosul bersifat umum, tidak membedakan antara sunnah yang menjelaskan keglobalan Al Qur’an atau menguatkannya atau memberikan tambahan hukum yang tidak ada di dalam Al Qur’an.

Macam-macam penjelasan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata,” Sesungguhnya penjelasan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam ada beberapa macam :

Pertama : Penjelasan wahyu itu sendiri dengan menampakkannya melalui lisan beliau setelah tadinya tersembunyi.

Kedua : Menjelaskan makna dan tafsirnya untuk orang yang membutuhkannya seperti penjelasaan beliau tentang makna zalim dalam firman Allah Ta’ala :

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan keimanannya dengan kezaliman”. (Al An’am : 82).

Bahwa maknanya adalah syirik, dan penjelasan beliau mengenai makna hisab yang mudah bahwa ia adalah ‘aradl (menampakkan kesalahan-kesalahannya lalu mengampuninya), dan penjelasan beliau bahwa benang putih dan hitam adalah putihnya siang dan gelapnya malam, dan bahwa yang beliau lihat pada waktu yang lain di sidratil muntaha adalah Jibril.

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan firman Allah Ta’ala :

ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ

“Atau datangnya sebagian ayat-ayat Rabbmu.” (Al An’am : 158).

Bahwa ia adalah terbitnya matahari dari barat, dan penafsiran beliau mengenai ayat :

ﯺ ﯻ

“Perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik.” (Ibrahim : 24).

Maksudnya adalah pohon kurma, dan penafsiran beliau mengenai ayat :

ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ

“Allah meneguhkan orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh dalam kehidupan dunia dan kehidupan akhirat.” (Ibrahim : 27).

Maksudnya adalah di alam kubur ketika ditanya siapa Rabbmu dan apa agamamu, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan halilintar bahwa ia adalah malaikat yang ditugaskan mengatur awan, dan penafsiran beliau bahwa makna orang-orang ahli kitab menjadikan para ulama dan rahib mereka sebagai tandingan selain Allah adalah dengan ikut menghalalkan apa yang mereka halalkan dari yang haram dan ikut mengharamkan apa yang mereka haramkan dari yang halal.

Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menafsirkan makna kekuatan yang Allah perintahkan untuk mempersiapkannya bahwa ia adalah melempar (panah dan lainnya), dan penafsiran Nabi shallallahu ‘alahi wasallam terhadap firman Allah Ta’ala :

ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ

“Barang siapa yang berbuat kejahatan, niscaya ia akan diberi balasannya.” (An Nisaa : 123).

Bahwa balasannya adalah apa yang menimpa hamba di dunia berupa kelelahan, kegelisahan, ketakutan dan musibah. Dan penafsiran Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa tambahan (yang diberikan kepada ahli surga) adalah melihat wajah Allah , dan penafsiran beliau bahwa adbaronnujum artinya dua raka’at sebelum fajar, dan adbarossujud adalah dua raka’at setelah maghrib dan lain-lain.

Ketiga : Penjelasan dengan perbuatan sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan waktu-waktu sholat dengan perbuatan beliau ketika beliau ditanya tentangnya.

Keempat : Menjelaskan hukum-hukum yang ditanyakan kepada beliau yang tidak tidak ada di dalam Al Qur’an, lalu Al Qur’an turun untuk menjelaskannya sebagaimana beliau pernah ditanya tentang hukum menuduh istri dengan zina, maka Al Qur’an datang dengan hukum li’an dan lain sebagainya.

Kelima : Menjelaskan pertanyaan yang diajukan kepada beliau dengan wahyu tetapi bukan Al Qur’an, sebagaimana beliau pernah ditanya tentang hukum seseorang yang berihram dengan memakai jubah yang telah diberikan minyak wangi, maka wahyu turun memerintahkan agar melepaskan jubah dan mencuci bekas minyak wangi tersebut.

Keenam : Menjelaskan sunnah dengan tanpa pertanyaan, seperti beliau mengharamkan daging keledai jinak, mengharamkan nikah mut’ah, berburu binatang buruan di kota Madinah dan lain sebagainya.

Ketujuh : Menjelaskan kepada umat tentang kebolehan sesuatu dengan perbuatannya tanpa ada larangan untuk mengikuti beliau.

Kedelapan : Menjelaskan kebolehan sesuatu dengan mendiamkan orang yang melakukannya di hadapan beliau sementara beliau menyaksikannya atau beliau mengajarkan agar melakukannya.

Kesembilan : Menjelaskan kemubahan sesuatu dengan diam tidak mengharamkannya walaupun beliau tidak memberitahukannya dengan ucapan.

Kesepuluh : Al Qur’an menghukumi sesuatu itu wajib atau haram atau mubah dan hukum tersebut mempunyai syarat-syarat, penghalang-penghalang, ikatan-ikatan, waktu yang khusus, keadaan-keadaan dan sifat tertentu, lalu Allah menyerahkan kepada Rosul untuk menjelaskannya.

Pentingnya menafsirkan Al Qur’an dengan sunnah.

Syaikh Muhamad Nashiruddin Al Bani rahimahullah berkata: “Kamu semua mengetahui bahwa Allah Tabaraka wata’ala telah memilih Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi dan mengkhususkannya dengan kerosulan, lalu Allah turunkan Al Qur’an kepadanya dan memerintahkannya untuk menjelaskan kepada manusia, Allah berfirman :

ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ

“Dan Kami telah menurunkan kepada Engkau Adz Dzikr agar engkau menjelaskan kepada manusia apa yang diturunkan kepada mereka.” (An Nahl : 44).

Dan saya memandang bahwa penjelasan yang disebutkan dalam ayat yang mulia ini mencakup dua macam penjelasan :

Pertama : Menjelaskan lafadz dan susunannya, ia adalah penyampaian Al Qur’an dan tidak menyembunyikannya kepada umat sebagaimana yang Allah turunkan kepada hatinya , dan ini adalah maksud firman Allah Ta’ala :

ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁﮂ

“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu.” (Al Maidah : 67).

Aisyah radliyallahu ‘anha berkata: “Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa Muhamad menyembunyikan sesuatu yang seharusnya disampaikan, maka sungguh ia telah berdusta besar terhadap Allah.” (HR Bukhari dan Muslim). Dan dalam riwayat Muslim : “Kalaulah Rosulullah shallallahu ‘alahi wasallam menyembunyikan sesuatu yang diperintahkan untuk disampaikan, tentu beliau akan menyembunyikan firman Allah Ta’ala :

ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ ﭻ ﭼ ﭽ ﭾ ﭿ ﮀ ﮁ ﮂ ﮃﮄ

“Dan (ingatlah) ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan ni’mat kepadanya dan kamu juga telah memberi ni’mat kepadanya: “Tahanlah terus istrimu dan bertaqwalah kepada Allah”, sedang kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan tampakkan, dan kamu takut kepada manusia, sedang Allahlah yang lebih berhak untuk kamu takuti.” (Al Ahzab : 37).

Kedua : menjelaskan makna lafadz atau kalimat atau ayat yang dibutuhkan oleh umat, dan kebanyakan penjelasan seperti ini untuk ayat-ayat yang global atau umum atau mutlak (tidak terikat), dan menjelaskannya dengan perkataan beliau, perbuatan dan persetujuan.

Contohnya adalah tafsir tentang firman Allah Ta’ala :

ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ

“Laki-laki yang mencuri dan wanita yang mencuri potonglah tangan keduanya.” (Al Maidah : 38).

Pencuri di dalam ayat ini bersifat mutlak demikian juga kata tangan, maka sunnah menjelaskan bahwa pencuri yang dipotong tangannya adalah yang mencuri seperempat dinar atau lebih :

لاَ تُقْطَعُ يَدُ السَّارِقِ إِلاَّ فِى رُبْعِ دِينَارٍ فَصَاعِدًا

“Tidak boleh dipotong tangan pencuri kecuali (bila mencuri) seperempat dinar atau lebih.” (HR Bukhari dan Muslim).

Nabi juga menjelaskan dengan perbuatannya dimana beliau memotong tangan pencuri sampai kepada pergelangan tangan sebagaimana disebutkan dalam kitab-kitab sunnah. Berikut ini adalah sebagian ayat-ayat yang tidak mungkin memahaminya dengan pemahaman yang shahih yang sesuai dengan keinginan Allah kecuali dengan melalui sunnah.

· Allah Ta’ala berfirman :

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ

“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezaliman, mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Al An’am : 62).

Para shahabat memahami kata zalim disini dengan makna umum yang mencakup semua makna zalim walaupun kecil, oleh karena itu mereka menganggap ayat ini musykil (problem), mereka berkata,”Wahai Rosulullah, siapa diantara kita yang tidak pernah berbuat zalim? Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjelaskan bahwa yang dimaksud zalim di dalam ayat itu adalah syirik berdasarkan ayat lain yaitu firman-Nya :

ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴ ﭵ

“Sesungguhnya syirik itu adalah kezaliman yang agung.”

· Allah Ta’ala berfirman :

ﯽ ﯾ ﯿ ﰀ ﰁ ﰂ ﰃ ﰄ ﰅ ﰆ ﰇ ﰈ ﰉ ﰊ ﰋ ﰌ ﰍﰎ

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi maka tidaklah mengapa kamu mengqashar sholat jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” ( An nisaa : 101).

Lahiriyah ayat ini menunjukkan bahwa mengqashar sholat di waktu safar itu disyaratkan ketika takut, oleh karena itu sebagian shahabat bertanya kepada Rosulullah: “Mengapa kita tetap mengqashar padahal kita telah aman ? beliau bersabda: “Itu adalah shodaqah yang Allah berikan kepada kamu, maka terimalah shodaqahnya.” (HR Muslim).

· Allah Ta’ala berfirman :

ﭑ ﭒ ﭓ

“Diharamkan kepadamu bangkai, darah… (Al Maidah : 3).

Sunnahpun menjelaskan bahwa bangkai belalang dan ikan adalah halal dan dari darah yang halal adalah hati dan rempela, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

“Dihalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah; adapun dua bangkai adalah ikan dan belalang, dan dua darah adalah hati dan rempela.” Diriwayatkan oleh Al baihaqi dan lainnya secara mauquf dan marfu’ dan sanad yang mauquf adalah shahih namun ia dihukumi marfu’ karena seperti tidak mungkin dikatakan dengan ra’yu.

· Allah Ta’ala berfirman :

ﮙ ﮚ ﮛ ﮜ ﮝ ﮞ ﮟ ﮠ ﮡ ﮢ ﮣ ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ ﯕ ﯖﯗ

“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.” (Al An’am : 145).

Sunnahpun datang dan mengharamkan sesuatu yang tidak disebutkan di dalam ayat ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengharamkan yang bertaring dari binatang buas dan yang bercakar dari jenis burung, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga mengharamkan keledai jinak.

Allah Ta’ala berfirman :

ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩ ﭪ ﭫ ﭬ ﭭﭮ

“Katakanlah: “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hambaNya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rizki yang baik?” (Al A’raaf: 32).

Dan sunnah menjelaskan bahwa kain sutra dan emas diharamkan untuk laki-laki dan dihalalkan untuk wanita, dan contoh-contoh lain yang banyak dan terkenal dikalangan ahli hadits dan fiqih.

Dari pemaparan di atas menjadi jelas bagi kita urgensi sunnah di dalam pensyari’atan islam, karena apabila kita melihat contoh-contoh yang telah disebutkan tadi dan contoh-contoh lain yang belum disebutkan, kita akan yakin bahwa tidak ada jalan untuk memahami Al Qur’an dengan pemahaman yang shahih kecuali dengan jalan sunnah.”

Bab III. Menafsirkan Al Qur’an dengan pendapat shahabat dan tabi’in.

Sesungguhnya penafsiran shahabat mempunyai keistimewaan yang lebih dibandingkan dengan penafsiran generasi setelahnya, diantaranya adalah :

1. Al Qur’an turun dengan bahasa mereka.

Allah Ta’ala berfirman :

ﮩ ﮪ ﮫ ﮬ ﮭ ﮮ ﮯ

“Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa arab agar kamu memahaminya.” (Yusuf : 2).

Para shahabat adalah generasi yang paling fashih dalam bahasa arab sehingga mereka lebih memahami makna-makna yang terkandung dalam Al qur’an.

2. Mereka langsung menyaksikan turunnya Al qur’an.

Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu berkata: “Demi Allah yang tidak ada ilah yang berhak disembah selain-Nya, tidak ada satu ayatpun yang turun di dalam kitabullah kecuali saya mengetahui kepada apa ia turun dan dimana turunnya, kalaulah aku mengetahui ada seseorang yang lebih mengetahui kitabullah dariku yang dapat ditempuh oleh unta, niscaya aku akan mendatanginya.”

Orang yang langsung menyaksikan tentu lebih faham karena ia mengetahui peristiwa dan kejadian ketika turunnya Ayat-ayat Al Qur’an, sehingga lebih mampu memahami makna yang diinginkan dari ayat tersebut.

3. Mereka langsung mengambil tafsir Al Qur’an dari mulut Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang suci.

Abu Abdirrahman As Sulami berkata,”Telah bercerita kepada kami orang-orang yang mengajarkan kami Al Qur’an bahwa dahulu mereka apabila mempelajari sepuluh ayat Al Qur’an dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka tidak menambah lagi sampai mengamalkan apa yang terkandung di dalamnya dari amal, maka kamipun mempelajari Al Qur’an dan amal semuanya.” (HR Ath Thabari).

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sebaik-baiknya guru maka para shahabat adalah sebaik-baiknya murid, mereka mendapatkan bimbingan langsung dari Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sehingga pastilah mereka lebih faham dibandingkan generasi setelahnya.

4. Mereka langsung melihat praktek Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam terhadap Al Qur’an.

Aisyah radliyallahu ‘anha berkata,”Akhlak Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Al Qur’an.” (HR Ahmad).

Merekapun menyaksikan bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sholat, zakat, berpuasa, berhaji, dan perintah-perintah Al Qur’an lainnya, dan ini juga keistimewaan yang hanya dimiliki oleh generasi shahabat saja.

5. Allah dan Rosul-Nya memuji para shahabat.

Banyak pujian di dalam Al Qur’an terhadap para shahabat seperti firman Allah Ta’ala :

ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜ ﭝ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk islam) diantara Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridla kepada mereka dan merekapun ridla kepada Allah.” (At Taubah : 100).

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata,”Allah Ta’ala memuji orang yang mengikuti para shahabat; maka apabila para shahabat berpendapat dengan sebuah pendapat lalu diikuti oleh seseorang sebelum mengetahui kebenaran pendapatnya berarti ia telah mengikuti mereka, maka pasti orang tersebut terpuji dengan perbuatannya itu dan berhak mendapatkan keridoan Allah.”

Dan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun memuji shahabat, beliau bersabda :

النُّجُومُ أَمَنَةٌ لِلسَّمَاءِ فَإِذَا ذَهَبَتِ النُّجُومُ أَتَى السَّمَاءَ مَا تُوعَدُ وَأَنَا أَمَنَةٌ لأَصْحَابِى فَإِذَا ذَهَبْتُ أَتَى أَصْحَابِى مَا يُوعَدُونَ وَأَصْحَابِى أَمَنَةٌ لأُمَّتِى فَإِذَا ذَهَبَ أَصْحَابِى أَتَى أُمَّتِى مَا يُوعَدُونَ

“Bintang adalah amanah untuk langit, apabila bintang telah pergi maka datang kepada langit apa yang dijanjikan kepadanya, aku adalah amanah untuk para shahabatku, apabila aku telah pergi datang kepada shahabatku apa yang dijanjikan kepada mereka, dan shahabatku adalah amanah untuk umatku, apabila shahabatku telah pergi datang kepada umatku apa yang dijanjikan kepada mereka.” (HR Muslim).

Di dalam hadits ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menyebutkan bahwa bintang adalah amanah untuk langit, lalu beliau menyebut dirinya dan para shahabatnya bagaikan bintang dan di dalam Al Qur’an bintang mempunyai tiga fungsi yaitu sebagai penunjuk jalan, sebagai penghias langit, dan sebagai pelempar setan. Maka para shahabat adalah penunjuk jalan bagi umat islam dalam memahami Al Qur’an dan sunnah, mereka adalah hiasan bagi umat islam, dan pelempar syubhat setan yang merusak aqidah dan pemikiran umat islam.

Ini adalah keistimewaan-keistimewaan yang hanya dimiliki oleh generasi shahabat, maka sudah semestinya kita tidak boleh menyimpang dari penafsiran mereka, syaikhul islam ibnu Taimiyah berkata: “Barang siapa yang menyimpang dari madzhab shahabat dan Tabi’in dan penafsiran mereka maka ia telah salah bahkan berbuat bid’ah walaupun ia mujtahid yang diampuni dosanya.”

Kaidah-kaidah penting.

Ada beberap kaidah penting yang berhubungan dengan tafsir para shahabat yang mesti kita ketahui, diantaranya adalah :

Kaidah pertama : Perselisihan shahabat dalam tafsir kebanyakan adalah perselisihan yang bersifat pariatif.

Syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Perselisihan diantara salaf dalam tafsir adalah sedikit, dan perselisihan mereka di dalam hukum lebih banyak dari perselisihan mereka di dalam tafsir, dan mayoritas perselisihan yang shahih dari mereka adalah dari jenis perselisihan tanawwu’ (pariatif) bukan perselisihan tadlod (kontradiktif). Dan ia ada dua :

Pertama : Setiap mereka mengungkapkan dengan ungkapan yang berbeda dengan ungkapan temannya yang menunjukkan kepada makna yang berbeda dengan makna temannya namun maksudnya adalah satu.

Contohnya adalah perbedaan ungkapan mereka dalam menafsirkan “Shirotul mustaqim” sebagian mereka menafsirkan bahwa ia adalah Al Qur’an dan sebagian mereka menafsirkan bahwa ia adalah islam. Dua penafsiran ini tidak bertentangan karena agama islam adalah mengikuti Al Qur’an.. demikian pula orang yang menafsirkan bahwa ia adalah sunnah dan jama’ah, atau jalan ubudiyah, atau ketaatan kepada Allah dan Rosul-Nya, mereka semua mengisyaratkan kepada satu dzat akan tetapi setiap mereka memberikan sifat yang berbeda dengan sifat yang yang diberikan oleh orang lain.

Kedua : Setiap mereka menyebutkan sebagian jenis dari nama yang umum dalam rangka memberikan contoh/permisalan bukan dalam rangka memberikan definisi atau batasan dalam keumuman dan kekhususannya.

Contohnya adalah penafsiran mereka mengenai firman Allah Ta’ala :

ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ ﭴﭵ ﭶ ﭷ ﭸ ﭹ ﭺ

“Kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menzalimi diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada pula yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan idzin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.” (Fathir 32).

Dan telah diketahui bahwa orang yang menzalimi dirinya mencakup orang yang menyia-nyiakan kewajiban dan melanggar keharaman. Dan yang pertengahan mencakup melakukan kewajiban dan meninggalkan keharaman dan As Sabiq (orang yang mendahului) mencakup orang yang mendekatkan diri dengan hasanat selain kewajiban yang ia lakukan.

Kemudian setiap mereka menyebutkan ini pada salah satu macam dari macam-macam ketaatan, seperti perkataan seseorang: “As Sabiq adalah yang sholat di awal waktu, dan yang pertengahan adalah orang yang sholat di dalam waktunya, dan zalim adalah orang yang mengakhirkan sholat ashar sampai matahari menguning.”

Kaidah kedua : Pendapat seorang shahabat yang tidak diketahui adanya penyelisihan dari shahabat lain adalah hujjah.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Apabila pendapat seorang shahabat tidak diselisihi oleh shahabat lain maka (tidak lepas dari dua keadaan) (1) pendapat tersebut terkenal di kalangan shahabat atau (2) tidak terkenal. Apabila terkenal maka myoritas fuqoha menyatakan bahwa ia adalah ijma’ dan hujjah dan sebagian fuqoha berpendapat bahwa ia adalah hujjah namun bukan ijma’.

Dan apabila tidak terkenal atau tidak diketahui apakah ia terkenal atau tidak, maka para ulama berbeda pendapat apakah ia hujjah atau bukan; pendapat mayoritas ulama bahwa ia adalah hujjah, ini adalah pendapat mayoritas hanafiyah sebagaimana yang dinyatakan oleh Muhammad bin Al Hasan dan ia juga menyebutkan nash dari perkataan Abu Hanifah, dan ini juga pendapat Malik dan pengikutnya, dan ini juga pendapat Ishaq bin Rohawaih dan Abu Ubaid dan ini juga yang dinyatakan oleh imam Ahmad dalam beberapa tempat dan dipilih oleh mayoritas pengikutnya, dan ini juga yang dinyatakan oleh imam Asy Syafi’I dalam qoul (pendapat) dahulu dan barunya… imam Syafi’I dalam pendapat barunya menyatakan dengan tegas dari riwayat Rabie’ dari beliau bahwa pendapat shahabat adalah hujjah yang harus dipegang.

Imam Asy Syafi’I berkata: “Pendapat shahabat apabila berselisih kami pegang yang sesuai dengan Al Qur’an dan sunnah atau ijma’ karena sesuai dengan qiyas, dan apabila pendapat shahabat itu tidak diketahui adanya penyelisihan maka aku tetap mengikuti pendapatnya apabila aku tidak menemukan Al Qur’an tidak juga dalam As Sunnah atau ijma’ tidak juga yang semakna dengannya yang bisa dijadikan hukum atau ditemukan qiyas bersama pendapat tersebut.”

Kaidah ketiga : Penafsiran shahabat yang tidak dikenal suka mengambil dari Ahli kitab yang bukan dalam tempat ijtihad tidak pula penukilan dari bahasa arab hukumnya adalah marfu’.

Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman hafidzahullah berkata: “Sesungguhnya perkataan shahabat yang tidak dikenal suka mengambil dari Ahli Kitab dan bukan berasal dari ro’yu, seperti pengabaran tentang sesuatu yang ghaib maka ia dihukumi marfu’ sampai kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, walaupun shahabat itu tidak menyatakan penisbatannya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, seperti perkataan shahabat mengenai tanda-tanda hari kiamat, adzab qubur, tentang surga dan Neraka, dan sebab turunnya ayat dari shahabat yang tidak suka mengambil dari Ahli kitab seperti ibnu Mas’ud, Umar dan lainnya jika mereka mengatakan seuatu perkataan yang tidak mungkin diketahui dari ijtihad atau akal, maka perkataan seperti ini adalah hujjah yang dihukumi marfu’.

Bahkan Al Hakim dalam kitabnya “Ulumul hadits” memasukkan penafsiran shahabat dalam hukum marfu’ namun pendapat ini tidak benar, Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah memberikan koreksi terhadap pendapat tersenut dalam kitab “An Nukat ‘ala ibnu Sholah” (2/20) beliau berkata: “Yang benar bahwa batasan penafsiran shahabat jika termasuk perkara yang bukan lapangan ijtihad tidak pula dinukil dari lisan arab maka hukumnya adalah marfu’ dan jika tidak demikian maka tidak, seperti pengabaran tentang kabar umat terdahulu…”.

Beliau berkata lagi: “Adapun apabila penafsiran itu berhubungan dengan hukum syari’at, boleh jadi tafsir itu diambil dari Nabi shallallahu ‘alahi wasallam dan bisa juga dari kaidah-kaidah sehingga tidak bisa dipastikan kemarfu’annya, demikian juga penafsiran tentang kosa kata, maka ini adalah penukilan tentang lisan arab secara khusus sehingga tidak dipastikan kemarfu’annya, dan pendapat yang kami perinci ini yang dijadikan sandaran banyak ulama-ulama besar.”

Kaidah keempat : Apabila para shahabat berbeda pendapat menjadi dua pendapat misalnya maka tidak boleh kita mengadakan pendapat yang ketiga.

Syaikhul islam ibnu Taimiyah ketika menyebutkan kesalahan-kesalahan dalam menafsirkan Al Qur’an beliau berkata: “Yang paling besar kesalahannya dari mereka semua adalah orang yang maksud tujuannya adalah bukan untuk mengetahui apa yang Allah inginkan, akan tetapi tujuannya adalah menta’wil ayat untuk membantah lawannya yang berhujah dengan ayat tersebut, dan mereka jatuh ke dalam berbagai macam tahrif (merubah-rubah Al Qur’an) sehingga diantara mereka ada yang membolehkan menafsirkan ayat dengan penafsiran yang berlawanan dengan tafsir salaf, mereka berkata,”Apabila manusia (shahabat) berselisih dalam menafsirkan ayat menjadi dua pendapat maka boleh bagi orang setelahnya untuk mengadakan pendapat yang ketiga, berbeda bila mereka berselisih dalam sebuah hukum menjadi dua pendapat.

Ini adalah sebuah kesalahan, karena mereka (para shahabat) apabila bersepakat bahwa makna sebuah ayat adalah ini atau ini, maka pendapat yang mengatakan bahwa maksud ayat itu selain dua tadi berarti ia telah menyelisihi ijma’ (kesepakatan) mereka. Inilah tata cara orang yang maksudnya hanya untuk membantah bukan dalam rangka mengetahui apa yang diinginkan oleh ayat tersebut, jika tidak demikian maka bagaimana umat (para salaf) akan sesat dalam memahami Al Qur’an dan penafsiran mereka semua tidak benar, lalu orang-orang yang terakhir mengetahui makna yang diinginkan ?!

Abul Mudzofar As Sam’ani berkata: “Yang shahih adalah haram mengadakan pendapat yang ketiga, karena ijma’ mereka diatas dua pendapat adalah ijma untuk mengharamkan pendapat selainnya, dan kita tidak boleh menyelisihi ijma’ diatas satu pendapat karena ia mengandung pengharaman pendapat selainnya, demikian juga ijma’ mereka di atas dua pendapat juga mengandung pengharaman pendapat selainnnya.

Dan yang menunjukkan kepada pendapat ini juga adalah bahwa kebenaran tidak akan keluar dari ijma’, kalaulah diperbolehkan mengadakan pendapat yang ketiga yang tidak diyakini oleh mereka (kedua pendapat tadi) berarti kebenaran telah keluar dari pendapat mereka, sehingga boleh jadi kebenaran itu ada pada pendapat yang ketiga dan ini jelas membatalkan ijma’.”

Kaidah kelima : Penafsiran shahabat apabila bertentangan dengan penafsiran Rosulullah maka dikompromikan terlebih dahulu, bila tidak bisa maka penafsiran Rosulullah lebih didahulukan.

Syaikh Muhamad bin Jamil Zainu berkata: “Apabila tafsir hadits bertentangan dengan penafsiran shahabat atau tabi’in, maka kita harus mengkompromikan dua penafsiran tadi, dan jika tidak memungkinkan maka yang wajib adalah mendahulukan penafsiran Rosul shallallahu ‘alaihi wasallam karena beliau lebih mengetahui apa yang diinginkan oleh Allah Ta’ala. Contohnya adalah tafsir firman Allah Ta’ala :

ﰝ ﰞ ﰟ ﰠ

“Pada hari disingkapkannya betis.” (Al Qolam : 42).

Imam Bukhari menafsirkan ayat itu dengan hadits :

يَكْشِفُ رَبُّنَا عَنْ سَاقِهِ فَيَسْجُدُ لَهُ كُلُّ مُؤْمِنٍ وَمُؤْمِنَةٍ

“Rabb kita menyingkapkan betisnya, maka sujudlah kepada-Nya semua mukmin dan mukminah.” (HR Bukhari).

Namun dalam sebuah riwayat, ibnu Abbas menafsirkan bahwa maknanya adalah hari yang amat susah, jika riwayat ini shahih tidaklah bertentangan dengan hadits itu, maka maknanya adalah bahwa pada hari kiamat Allah menyingkapkan betisnya dan hari itu adalah hari yang amat susah, atau mungkin kita katakan bahwa ibnu Abbas belum sampai kepadanya hadits Abu Sa’id Al Khudri tadi.”

Kaidah keenam : Memeriksa keabsahan riwayat tafsir shahabat.

Contohnya adalah tafsir firman Allah Ta’ala :

ﮯ ﮰ ﮱ ﯓ ﯔ

“Tidak juga orang yang junub kecuali yang menyeberang jalan.” (An Nisaa : 43).

Ibnu Abbas dalam sebuah riwayat menafsirkan maknanya adalah Kecuali engkau melewat di masjid, namun riwayat ini dla’if karena di dalamnya ada perawi yang bernama Abu Ja’far Ar Razi, ia lemah. Demikian pula ibnu mas’ud menafsirkannya dengan penafsiran ibnu Abbas tadi akan tetapi sanadnya juga lemah karena ia diriwayatkan dari jalan Abi Ubaidah dari ibnu Mas’ud, sedangkan Abu Ubaidah tidak mendengar dari ibnu Mas’ud sehingga sanadnya terputus.

Dan tentunya kritik sanad haruslah sesuai dengan kaidah-kaidah ilmiyah dalam ilmu hadits dan tidak boleh dimasuki oleh hawa nafsu, karena banyak tafsir shahabat yang dianggap lemah karena tidak sesuai dengan hawa nafsu, contohnya adalah tafsir ibnu Abbas terhadap ayat “Barang siapa yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan maka ia termasuk orang-orang kafir.” (Al Maidah : 44), Bahwa kufur di dalam ayat ini maksudnya adalah kufur yang tidak mengeluarkan pelakunya dari millah islam ia adalah kufur dibawah kufur. Riwayat ini dilemahkan oleh kaum khowarij di zaman ini, padahal riwayat ibnu Abbas ini adalah shahih, penjelasannya sebagai berikut :

Bahwa atsar tersebut diriwayatkan dari dua jalan ; jalan Thowus dari Ibnu ‘Abbas dan Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu Abbas.

Adapun jalan thowus diriwayatkan oleh Ahmad dalam al iman (4/160/1416 dicetak dalam assunnah oleh Abu Bakar Al Khollal) Muhammad bin Nashr Al Marwazi dalam ta’dhim qodr sholah (2/521/569), Ibnu ‘Abdil Barr dalam attamhid (4/237), Al Hakim (2/313) dan lainnya dari jalan Sufyan bin Uyainah dari Hisyam bin Hujair dari Thowus dari Ibnu ‘Abbas. Al Hakim berkata :” Hadits shohih sanadnya dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim “. Dan disepakati oleh Adz Dzahabi. Syeikh Al Bani berkata :” hak keduanya untuk berkata : sesuai dengan syarat syaikhoin, karena sanadnya demikian… (silsilah shohihah 6/113). Akan tetapi di dalam sanadnya ada Hisyam bin Hujair, ia diperbincangkan oleh para ulama, kata Ibnu Syubrumah :” Tidak ada di makkah orang seperti dia “. Kata Al Ijli :” Tsiqoh “. Kata Ibnu Ma’in :” Sholih”. Kata Abu Hatim :” Yuktabu haditsuhu “. Kata Ibnu Sa’ad :” Tsiqoh lahu ahadiits “. Kata Ibnu Syahin :”tsiqoh”. Kata As Saji :” Shoduq “. Kata Adz Dzahabi :” Tsiqoh”. Kata Al Hafidz :” Shoduq lahu auham “. Dan di dlo’ifkan oleh Yahya Al Qoththon, imam Ahmad dan Ibnu Ma’in dalam satu riwayat. Sementara Bukhari dan Muslim berhujjah dengannya di dalam shahihnya.

Kesimpulannya bahwa Hisyam bin hujair adalah shoduq dan haditsnya hasan, akan tetapi ia tidak sendirian, tapi di mutaba’ah oleh Abdullah bin Thowus seorang rawi yang tsiqoh dari ayahnya dari Ibnu ‘Abbas dengan lafadz :” ia adalah kufur, akan tetapi tidak seperti kufur kepada Allah dan hari akhirat “. Dikeluarkan oleh Sufyan Ats Tsauri dalam tafsirnya (101/241). Adapun yang dikatakan muhaqqiq Sunan Sa’id bin Manshur bahwa terputus antara Sufyan dan Ibnu Thowus, maka itu sebuah kesalahan besar, karena Sufyan mendengar dari Ibnu Thawus dan riwayatnya ada dalam shohih Muslim, dan Sufyan terkadang meriwayatkannya dari Ma’mar dan terkadang dari Ibnu thowus secara langsung. Jadi kesimpulannya sanad ini shohih ditambah dengan mutaba’ah tadi.

Adapun jalan Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu ‘Abbas diriwayatkan oleh Ath Thobari dalam Jami’I al bayan (6/166) dari Al Mutsanna bin Ibrohim Al Amili dan Abu Hatim Ar Rozi dari Abdullah bin Sholih dari Mu’awiyah bin Sholih dari Ali bin Abi Tholhah dari Ibnu Abbas ia berkata :” Barang siapa yang juchud kepada apa yang Allah turunkan maka ia kafir dan barang siapa yang mengakuinya tapi tidak berhukum dengannya maka ia dzolim dan fasiq “. Dan ini adalah sanad yang hasan, dan sebagian orang ada yang menganggapnya cacat dengan alasan bahwa Ali bin Abi tholhah tidak bertemu dengan Ibnu Abbas, akan tetapi telah dijawab oleh banyak ulama diantaranya adalah As Suyuthi dalam al itqon (2/188) ia berkata :” berkata suatu kaum bahwa Ibnu Abi Tholhah tidak mendengar tafsir dari Ibnu Abbas, tapi ia mengambilnya dari Mujahid atau Sa’id bin Jubair, Al Hafidz Ibnu hajar berkata :” Setelah diketahui perantaranya yang ternyata tsiqoh maka hal tersebut tidak berbahaya “.

Adapun Abdullah bin Sholih walaupun ia mukhtalith di akhir ahayatnya, akan tetapi Al Hafidz Ibnu hajar menyatakan bahwa riwayat Abu Hatim darinya sebelum terjadi takhlit, sehingga riwayatnya shohih.(lihat Hadyu saari hal 414).

Maka tidak ragu lagi atsar tersebut semakin jelas keshohihannya lebih-lebih ditambah dengan jalan thowus tadi, dan dikuatkan lagi oleh atsar dari Tabi’in besar yaitu Atho bin Abi Robah yang dishohihkan oleh Syeikh Al bani dalam silsilah shohihah (6/114) dan para ulama hadits terdahulu dan sekarang kecuali orang yang jahil terhadap ilmu hadits telah menshohihkan atsar tersebut, diantaranya adalah : Al Hakim dalam mustadrok (2/393), Al Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya (2/64), Ath Thobari dalam jami’nya (6/166-167), Imam Muhammad bin Nashr Al Marwazi dalam ta’dzim qodrish sholah (2/520), Al Baghowi dalam ma’alim tanzil (3/61), Al Qurthubi dalam tafsirnya (6/190), Al buqo’I dalam nadzmud duror (2/460), Shiddiq hasan Khon dalam nailul marom (2/472), Al Qosim bin Sallam dalam al iman (hal 45), Abu Hayyan dalam al bahrul muhith (3/492), Ibnu Baththoh dalam al ibanah (2/723), Ibnu Abdil Barr dalam At Tamhid (4/237), Al Qosimi dalam mahasin at takwil (6/1998), Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ fatawa (7/312) (7/522), Ibnul Qoyyim dalam madarijussalikin (1/335-336), syeikh Al Bani dalam silsilah shohihah (6/109-116) dan ulama lainnya lebih dari 23 ahli hadits.

Kaidah ketujuh : Tidak boleh mengadakan penafsiran yang tidak pernah difahami oleh salafusshalih.

Ibnu Qayyim rahimahullah berkata di dalam Mukhtashar Ash Showa’iq Al Mursalah 2/128 : “Sesungguhnya mengadakan sebuah pendapat dalam menafsirkan kitabullah yang bertentangan dengan penafsiran salaf dan para imam berkonskwensi dua perkara : Boleh jadi pendapat tersebut salah atau penafsiran salaf dan para imam yang salah !! tentu orang yang berakal tidak akan merasa ragu bahwa pendapat tersebut lebih layak salah dari penafsiran salaf dan para imam.”

Al Hafidz ibnu Abdil Hadi dala kitab Ash Shorim Al Munakki hal 427 berkata: “Tidak boleh mengadakan penafsiran ayat atau hadits yang tidak ada di zaman salaf yang tidak mereka ketahui tidak juga mereka jelaskan kepada umat, karena sikap seperti itu mengandung kesan bahwa mereka tidak mengetahui kebenaran dan telah tersesat jalan lalu datang orang terakhir mengetahui kebenaran tersebut.”

Diantara contoh penafsiran yang tidak pernah difahami oleh salafushalih adalah penafsiran mengenai firman Allah Ta’ala :

ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ

“Kamu adalah sebaik-baik umat yang dikeluarkan kepada manusia.” (Ali Imran : 110).

Kata “ukhrijat” (dikeluarkan) ditafsirkan dengan makna sebuah tata cara dakwah ke masjid-masjid selama tiga hari atau tujuh hari atau empat puluh hari dan seterusnya, dan penafsiran seperti ini tidak pernah dikenal oleh para ulama terdahulu, tidak juga di dapati di dalam kitab-kitab tafsir, kalaulah itu baik tentu merekalah yang pertama kali mengamalkannya.

merujuk penafsiran Tabi’in.

Tabi’in adalah murid-murid shahabat yang mengambil ilmu dari mereka dalam keadaan masih bersih tidak dicampuri oleh kotoran, mereka adalah generasi yang mendapatkan pujian dari Rosulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam haditsnya :

خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

“Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku kemudian setelah kemudian setelahnya. (HR Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu para ulama apabila tidak menemukan tafsir dari Al Qur’an atau sunnah atau penafsiran shahabat, mereka merujuk penafsiran Tabi’in. syaikhul islam ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Apabila engkau tidak menemukan tafsir di dalam Al Qur’an, atau sunnah, dan tidak juga engkau temukan pada penafsiran shahabat, maka banyak ulama yang rujuk kepada penafsiran Tabi’in seperti Mujahid bin Jabr, ia adalah ayat dalam tafsir.

Muhamad bin Ishaq berkata: ”Haddatsana Aban bin Shalih dari Mujahid ia berkata,”Aku membacakan Al Qur’an kepada ibnu Abbas sebanyak tiga kali dari Al Fatihah sampai akhir Al Qur’an, aku berhenti di setiap ayat untuk menanyakannya.” Ibnu Jarir berkata: “Haddatsana Abu Kuraib ia berkata haddatsana Tholq bin Ghonnam dari Utsman Al Makki dari ibnu Abi Mulaikah ia berkata,” Aku melihat Mujahid bertanya kepada ibnu ‘Abbas tentang tafsir Al Qur’an dan ibnu Abbas berkata kepadanya,” Tulis ! sampai ia menanyakan tafsir Al Qur’an semuanya.” Oleh karena itu Sufyan Ats Tsauri berkata,”Apabila telah datang tafsir dari Mujahid maka cukuplah bagimu.”

Juga seperti Sa’id bin Jubair, Ikrimah maula ibnu Abbas, Atha bin Abi Robah, Al Hasan Al Bashri, Masruq bin Al Ajda’, Sa’id bin Musayyib, Abul ‘Aliyah, Rabie’ bin Anas, Qotadah, Adl Dlohhak bin Muzahim dan ulama tabi’in lainnya.

Syu’bah bin Al Hajjaj dan lainnya berkata: “Perkataan tabi’in tidak bisa dijadikan hujjah di dalam furu’ (hukum), bagaimana boleh dijadikan hujjah di dalam tafsir ?! maksud beliau adalah tidak bisa dijadikan hujjah atas ulama tabi’in lain yang menyelisihinya, dan ini benar. Adapun jika mereka bersepakat atas suatu pendapat maka ia adalah hujjah tidak diragukan lagi, dan jika mereka berselisih maka perkataan sebagian mereka tidak menjadi hujjah atas sebagian lainnya tidak juga untuk orang sesudahnya, namun hendaklah merujuk kepada bahasa Al Qur’an atau sunnah atau keumuman bahasa arab, atau perkataan para shahabat dalam perkara tersebut.

Tafsir ibnu Katsir 1/13-16 tahqiq Hani Al Haj dengan ringkas.

Walaupun demikian penafsiran dengan kemenangan hujjah dan penjelasan tidak bertentangan dengannya karena para Rosul di berikan oleh Allah dua kemenangan : kemenangan secara fisik dengan senjata dan kemenangan dengan hujjjah dan burhan.

Adlwaa’ul bayaan 1/7-30 dengan ringkas.

Bukhari no 7417.

Tafsir ibnu Katsir 4/401 Tahqiq Hani Al Haj.

Ibnu Qayyim, I’lamul muwaqqi’in hal 448 cet. Dar thoyibah tahqiq Raid bin Sobri bin Abi ‘Alfah.

Ar Risalah hal 91-92.

I’lamul muwaqqi’in hal 451-452 tahqiq Raid bin Sobri bin Abi ‘Alfah.

Bukhari no. dan Muslim 3/1311 no 1684.

Munatahal amani bifawaid mushtolah hadits Al Muhaddits Al Bani hal 25-27.

Pembahasan mengenai sunnah akan penulis sendirikan dalam kitab sendiri insya Allah.

I’lamul muwaqqi’in hal 846 tahqiq Raid bin Sobri.

Muslim 4/1961 no 2531.

Majmu’ fatawa 13/361.

Majmu’ fatawa 13/333-337 dengan ringkas.

I’lamul muwaqi’in 548-551 tahqiq Syaikh Msyhur Hasan Salman, secara ringkas.

At Tahqiqot wattanqihat hal 435-436.

Majmu’ fatawa 15/95.

Qowathi’ adillah 2/18 cet. Darul kutub ilmiyah.

Bukhari no 4919.

Riwayat itu didla’ifkan oleh syaikh Salim dalam kitab Al Minhal Ar Raqraq karena ia adalah riwayat yang mudltharib.

Kaifa nafhamul qur’an hal 12-13.

Dirujuk kitab Qurrotul ‘uyun karya Syaikh Salim Al hilali.

Lihat ilmu ushul bid’a hal 142.

Bukhari no 3651 dan Muslim 4/1962 no 2533.

Majmu’ fatawa 13/368-370.

(Sumber: Ust. Abu Yahya Badrusalam)