PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI

PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI
TABIB BERIJIN RESMI, HERBAL 100% ALAMI, AMAN SUDAH IJIN B-POM DAN HALAL MUI, PENGOBATAN MENGGUNAKAN HERBAL YANG SUDAH DIPERKAYA DENGAN RUQYAH ISLAMI YANG SYAR'I. HARGA TERJANGKAU. INFO LENGKAP KLIK PADA GAMBAR. SMS/WA TABIB UNTUK KONSULTASI DAN PEMESANAN OBAT DI: 08121341710 ATAU 0811156812

Tuesday, October 11, 2016

BAB BEJANA-BEJANA (18-23), Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi

BAB BEJANA-BEJANA (18-23)

Oleh
Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat


Tulisan ini merupakan syarah dan takhrij terhadap kitab Bulughul Maram karya Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani. Insya Allah akan kami muat secara berseri. Mudah-mudahan Allah Subhanahu wa Ta'ala memudahkan kami dan juga Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat dalam menuangkan tinta penanya untuk pembaca.

عَنْ حُذَيْفَةَ بْنِ الْيَمَانِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُما قَالَ: قَالَ رَسُولُ الله صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تَشْرَبُوْا فِيْ آنِيَةِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، وَلاَ تَأْكُلُوْا فِيْ صِحَافِهِمَا، فَإِنَّهَا لَهُمْ فِي الدُّنْيَا، وَلَكُمْ فِي الآخِرَةِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.

18. Dari Hudzaifah Ibnul Yaman Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Janganlah kamu minum dengan gelas (yang terbuat) dari emas dan perak, dan jangan pula kamu makan pada piring yang terbuat dari emas dan perak, karena sesungguhnya yang seperti itu adalah untuk mereka (orang kafir) di dunia, dan buat kamu di akhirat.” (Muttafaq ‘alaihi).

TAKHRIJUL HADITS
Shahih. Riwayat Bukhari no.86, 5426, 5632, 5633, 5831, 5837 dan Muslim, juz 6 hlm.136 dan 137 di kitab Libas) dan lain-lain.

َعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا، قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الَّذِيْ يَشْرَبُ فِيْ إِنَاءِ الْفِضَّةِ إنّمَا يُجَرْجِرُ فِيْ بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ مُتّفَقٌ علَيْهِ

19. Dari Ummu Salamah Radhiyallahu 'anha, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Orang yang minum dengan gelas (yang terbuat) dari perak, (maka pada hakikatnya ia) hanyalah mengucurkan api neraka jahanam ke dalam perutnya.” (Muttafaq ‘alaihi).

TAKHRIJUL HADITS
Shahih. Riwayat Bukhari, no. 5633 dan Muslim, juz 6 hlm. 134 dan 135 di akhir kitab Al Asyribah, dan lain-lain.

Di dalam salah satu riwayat Muslim ada tambahan :

أَنَّ الَّذِيْ يَأْكُلُ أَوْ يَشْرَبُ فِيْ آنِيَةِ الْفِضَّةِ وَالذَّهَبِ إِنَّمَا يُجَرْجِرُ فِيْ بَطْنِهِ نَارَ جَهَنَّمَ

Sesungguhnya orang-orang yang makan dan minum dari bejana perak atau emas, hanyasanya ia memasukkan api neraka Jahannam ke dalam perutnya.

FIQIH HADITS
1. Makan dan minum dengan memakai piring dan gelas dari emas dan perak hukumnya haram. Zhahir hadits menunjukkan dosa besar, karena orang yang melakukannya diancam dengan api neraka Jahannam.

2. Menurut zhahir hadits, larangan tersebut hanya terbatas pada makan dan minum saja. Adapun menggunakan bejana emas dan perak untuk yang selain keduanya, seperti: berwudhu dari bejana emas dan perak, tidak terkena larangan tersebut, walaupun sebagian ulama memasukkannya ke dalam larangan. Misalnya, seperti Al Hafizh Ibnu Hajar. Oleh karena itu, beliau menurunkan kedua hadits tersebut dalam bab bejana sesuai dengan mazhabnya. Padahal, bukankah lebih tepat, jika kedua hadits di atas diturunkan dalam kitab makanan?! Mazhab beliau bersama sebagian ulama lainnya adalah mazhab yang lemah dalam masalah ini, karena tidak datangnya dalil, kecuali tentang larangan makan dan minum dari bejana emas dan perak. Inilah mazhab sebagian ulama seperti Shan’ani dalam kitab Subulus Salam dan Asy Syaukani ddalam Nailul Authar dan ulama-ulama lainnya.

3. Zhahir hadits, juga membolehkan menggunakan bejana selain emas dan perak untuk makan dan minum, seperti dari mutiara dan lain-lain.

4. Apakah ‘illat (sebab) larangan di atas hanya semata-mata menggunakan bejana emas dan perak untuk makan dan minum, atau karena tasyabbuh (menyerupai) orang-orang kafir? Yang benar, yang pertama karena syara’ (agama) tidak melarang menggunakan bejana emas dan perak untuk selain makan dan minum. Dan syara’ juga tidak melarang makan dan minum selain dari bejana emas dan perak, yang kadang-kadang lebih berharga dari emas dan perak.

5. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam,”Untuk mereka di dunia (yakni makan dan minum dari bejana emas dan perak) dan untuk kamu di akhirat”. Telah dijadikan alasan oleh sebagian ahli ushul, bahwa orang-orang kafir tidak terkena perintah dan larangan syara’ (agama), kecuali perintah agar mereka beriman dan meninggalkan kekufurannya.

Masalah ini memang telah diperselisihkan oleh para ulama. Akan tetapi, pendapat diatas sangat lemah sekali karena bertentangan dengan nash Al Quran dan Hadits; bahwa orang-orang kafir pun terkena perintah dan larangan agama, seperti: shalat, zakat dan perintah agama lainnya, atau larangan makan dan minum dari bejana emas dan perak seperti ditunjukkan oleh dua hadits di atas dan lain-lain.

Jadi, selain dosa kekufuran, mereka pun berdosa karena meninggalkan perintah dan mengerjakan larangan. Firman Allah,

مَا سَلَكَكُمْ فِي سَقَرَ قَالُوا لَمْ نَكُ مِنَ الْمُصَلِّينَ

Apakah yang memasukkan kamu ke dalam Saqar (neraka) Mereka menjawab: "Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan shalat.” (Al Mudatsir : 42, 43).

وَعَنْ ابْنِ عَبّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ الله صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا دُبِغَ الإِهَابُ فَقَدْ طَهُرَ. أخرجهُ مسلم.

20. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Apabila kulit bangkai itu telah disamak, maka sesungguhnya kulit itu telah suci.” (Diriwayatkan oleh Muslim).

TAKHRIJUL HADITS
Shahih. Riwayat Muslim di Shahih-nya, juz 1 hlm. 191 dan lain-lain, sebagaimana hadits di bawah ini (no. 21).

وَعِنْدَ الأَرْبَعَةِ أَيُّمَا إهَابٍ دُبِغَ.

21. Dan bagi Abu Dawud, At Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibnu Majah dengan lafazh: “Kulit bangkai apa pun yang telah disamak, (maka sesungguhnya kulit itu telah suci)”.

TAKHRIJUL HADITS
Shahih. Riwayat Abu Dawud, no. 4123; Tirmidzi, no. 1728; Nasa’i, juz 7 hlm. 173 no. 4241; Ibnu Majah, no. 3609, semuanya dengan lafazh:

أَيُّمَا إِهَابٍ دُبِغَ فَقَدْ طَهُرَ

Kulit bangkai apa saja yang telah disamak, maka sesungguhnya kulit tersebut telah menjadi suci.

Kecuali lafazh Abu Dawud, (yaitu) sama dengan lafazh Muslim. Jadi hadits di atas dengan dua lafazh-nya telah dikeluarkan oleh Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah dari jalan yang sama, yaitu dari beberapa jalan dari Zaid bin Aslam, dari Abdurrahman bin Wa’lah, dari Ibnu Abbas.

وَعَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْمُحَبِّقِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ، قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: دِبَاغُ جُلُوْدِ الْمَيْتَةِ طُهُوْرٌهَا. صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّان.

22. Dari Salamah bin Al Muhabbiq Radhiyallahu 'anhu, ia berkata, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,”Menyamak kulit bangkai itu berarti menyucikannya.” (Dan telah dishahihkan oleh Ibnu Hibban).

TAKHRIJUL HADITS
Shahih. Riwayat Abu Dawud. No. 4125; Nasa’i, juz 7 hlm.173-174; Ahmad, 3/476 dan 5/6; Ibnu Hibban, no. 124 –Mawarid-) dan Al Baihaqi, juz 1 hlm. 21, semuanya dari jalan Qatadah, dari Hasan, dari Jaun bin Qatadah, dari Salamah bin Muhabbiq (ia berkata):

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ أَتَى عَلَى بَيْتٍ فَإِذَا قِرْبَةٌ مُعَلَّقَةٌ فَسَالَ الْمَاءُ،
فَقَالُوْا: يَارَسُوْلَ اللهِ إِنَّهَا مَيْتَةٌ! فَقَالَ: دِبَاغُهَا طُهُوْرُهَا.

Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam perang Tabuk pernah mendatangi sebuah rumah, maka (di halaman rumah tersebut) ada tergantung sebuah tempat air yang terbuat dari kulit (binatang), lalu beliau meminta air (yang ada di tempat air itu). Maka mereka berkata (menjelaskan),”Ya Rasulullah, sesungguhnya tempat air itu terbuat dari kulit bangkai.” Maka beliau bersabda,”Menyamaknya adalah menyucikannya.”

Ini adalah lafazh Abu Dawud. Sedangkan lafazh Nasa’i sebagai berikut:

عَنْ سَلَمَةَ بْنِ الْمُحَبِّقِ : أَنَّ نَبِيَ اللهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ غَزْوَةِ تَبُوْكَ دَعَا بِمَاءٍ مِنْ عِنْدِ امْرَأَةٍ.
قَالَتْ: مَا عِنْدِيْ إِلاَّ فِيْ قِرْبَةٍ لِيْ مَيْتَةٍ قَالَ: أَلَيْسَ قَدْ دَبَغْتِهَا؟ قَالَ: بَلَى. قَالَ: فَإِنَّ دِبَاغُهَا ذَكَاتُهَا

Dari Salamah bin Muhabbiq (ia berkata), bahwa Nabi Allah Shallallahu 'alaihi wa sallam di dalam perang Tabuk pernah meminta air kepada seorang wanita. Wanita itu berkata,”Aku tidak memiliki (air), kecuali (air) yang ada di tempat air yang terbuat dari kulit bangkai.” Beliau bertanya,”Bukankah engkau telah menyamaknya?” Wanita itu menjawab,”Ya.” Beliau bersabda,”Maka sesungguhnya menyamaknya adalah sama dengan menyembelihnya, (yakni menghalalkannya untuk dipakai sebagai tempat air dan lain-lain).”

Adapun lafazh Ahmad, Ibnu Hibban dan Baihaqi, kurang lebih sama; sabda beliau:

ذَكَاةُ الأَدِيْمِ دِبَاغُهُ

Penyembelihan bangkai itu dengan menyamaknya.

Inilah lafazh yang ada pada Ibnu Hibban dari jalan Salamah bin Muhabbiq. Sedangkan lafazh yang dibawakan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar di atas dikeluarkan oleh Ibnu Hibban, no. 123, akan tetapi dari jalan Aisyah, bukan dari jalan Salamah bin Muhabbiq.

Sedangkan sanad hadits Salamah bin Muhabbiq dha’if, karena Jaun bin Qatadah seorang rawi yang tidak dikenal sebagaimana dikatakan oleh Imam Ahmad. (Tahdzibut Tahdzib 2/122-123; Mizanul I’tidal 1/427. Karena tidak ada yang meriwayatkan darinya kecuali Hasan Bashri dari Qurrah bin Khalid.

Akan tetapi hadits di atas shahih -yakni lighairihi- karena telah ada sejumlah syawahid-nya, diantaranya dari Ibnu Abbas, Maimunah, Aisyah, dan lain-lain.

وَعَنْ مَيْمُوْنَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُا، قَالَتْ: مَرَّ النَّبيُّ صَلّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِشَاةٍ يَجُرُّوْنَهَا، فَقَالَ: لَوْ أَخَذْتُمْ إهَابَهَا؟ فَقَالُوْا: إِنَّهَا مَيْتَةٌ، فَقَالَ: يُطَهِّرُهَا الْمَاءُ وَالْقَرَظُ. أَخْرَجَهُ أَبُوْ دَاوُدُ وَالنَّسَائِيُّ.

23. Dari Maimunah Radhiyallahu 'anha, ia berkata, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah melewati seekor kambing yang mereka seret, maka beliau pun bersabda,”Seandainya kalian ambil kulitnya?” Mereka berkata,”Ini adalah bangkai.” Beliau bersabda,” Air dan daun salam itu adalah bahan untuk menyucikannya.” (Diriwayatkan oleh Abu Dawud, Nasa’i).

TAKHRIJUL HADITS
Shahih, Riwayat Abu Dawud, no. 4126; Nasa’i, juz 7 hlm. 174-175 no 4248; Ahmad 6/334 dan Baihaqi 1/19 dari jalan Katsir bin Farqad, dari Abdullah bin Malik bin Khudzaifah, dari ibunya (yaitu) Aliyah binti Suba’i, dari Maimunah.
Sanad hadits ini dha’if, karena Abdullah bin Malik bin Khudzaifah seorang rawi yang majhul. Tidak ada yang meriwayatkan darinya, kecuali Katsir bin Farqad. Akan tetapi, hadits ini shahih karena telah datang beberapa syawahidnya:

1. Dari jalan Ibnu Abbas yang semakna dengannya dikeluarkan oleh Daruquthni, no. 95, 96 kitab Thaharah, Bab Ad Dibagh.
2. Hadits Maimunah sendiri dengan beberapa jalannya yang diriwayatkan oleh Muslim dan lain-lain.
3. Hadits-hadits di no. 20, 21 dan 22.

FIQIH HADITS
1. Najisnya bangkai berdasarkan ketegasan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, bahwa menyamak kulit bangkai, berarti menyucikannya. Mafhumnya, kalau tidak disamak, maka kulit bangkai itu tetap dalam keadaan najis.

2. Kulit bangkai dari binatang apapun, apabila telah disamak termasuk babi dan anjing, maka dengan sendirinya kulit bangkai itu menjadi suci yang dapat dimanfaatkan untuk suatu keperluan, seperti: untuk tempat air dan lain-lain. Bukan untuk dimakan, karena memakannya tetap haram, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :

إِنَّمَا حَرُمَ أَكْلُهَا

Hanyasanya yang diharamkan (dari kulit bangkai itu ialah) memakannya.

Riwayat Bukhari, no. 5531; Muslim, 1/190 dan lain-lain. Hukum di atas, yakni sucinya kulit bangkai dari binatang apapun bila telah disamak, berdasarkan keumuman beberapa sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Dalam masalah ini, beliau sendiri tidak pernah memberikan pengecualian kepada jenis binatang apapun untuk tidak boleh disamak. Demikian pendapat yang benar –insya Allah- yang telah dipilih oleh Syaukani dalam Nailul Authar dan Shan’ani dalam Subulus Salam Syarah Bulugul Maram, dari tujuh pendapat ulama dalam bab ini. Wallahu a’lam.

(Sumber: Al-Manhaj)