PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI

PENGOBATAN ALTERNATIF ONLINE RSBI
TABIB BERIJIN RESMI, HERBAL 100% ALAMI, AMAN SUDAH IJIN B-POM DAN HALAL MUI, PENGOBATAN MENGGUNAKAN HERBAL YANG SUDAH DIPERKAYA DENGAN RUQYAH ISLAMI YANG SYAR'I. HARGA TERJANGKAU. INFO LENGKAP KLIK PADA GAMBAR. SMS/WA TABIB UNTUK KONSULTASI DAN PEMESANAN OBAT DI: 08121341710 ATAU 0811156812

Wednesday, October 12, 2016

Menafsirkan ayat Al-Qur'an dan Hadis Nabi, Islam, shalat, tarbiyah,bekam, pendidikan islami, keluarga sakinah, thibbun nabawi, hadis nabi, rukun islam, rukun iman, rukun shalat, al quran, kisah islami, asmaul husna, kisah para nabi


Imam Asy Syathibi rahimahullah berkata: "Setiap orang yang mengikuti mutasyabihat atau merubah-rubah manathatau menafsirkan ayat-ayat dengan penafsiran yang tidak pernah difahami oleh salafusshalih atau berpegang dengan hadits-hadits yang lemah atau memahami dalil dengan pemahaman yang dangkal untuk membenarkan perbuatan atau perkataan atau keyakinan yang sesuai dengan seleranya maka ia tidak akan pernah beruntung..
barang siapa yang ingin menyelamatkan dirinya hendaklah ia tatsabbut (memeriksa dengan teliti) sampai menjadi jelas kepadanya jalan (kebenaran), namun barang siapa yang meremehkan masalah ini, ia akan dilemparkan oleh hawa nafsu dalam jurang yang tidak ada tempat keselamatan kecuali dengan apa yang Allah kehendaki".
Perkataan Imam Asy Syathibi di atas menyebutkan beberapa cara yang dinggunakan para imam yang menyesatkan dalam mengelabui manusia, yaitu:
Pertama: Mengikuti mutasyabihat.
Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang tidak ada yang mengetahui maknanya kecuali Allah sebagaimana firman Allah Ta'ala:
".. Adapun orang-orang yang hatinya condong (kepada kesesatan) mereka mengikuti yang mutasyabih karena menginginkan fitnah dan mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya kecuali Allah..". (Ali Imran : 7).
Contohnya adalah ayat-ayat yang menyebutkan tentang sifat-sifat Allah Ta'ala, dimana dari sisi maknanya telah diketahui dalam bahasa arab namun dari sisi hakikat dan tata caranya tidak ada yang mengetahuinya selain Allah, seperti sifat yad yang artinya tangan dari sisi sini maknanya jelas namun hakikat bentuknya tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah, dan ahlussunnah menetapkan sifat tangan bagi Allah dan mengatakan bahwa tangan Allah tidak serupa dengan tangan makhluk-Nya.
Akan tetapi kelompok jahmiyah dan Mu'tazilah mengikuti mutasyabihat, mereka tidak dapat menerima ayat-ayat seperti ini karena mereka memikirkan hakikat dan bentuk tangan Allah dengan akal mereka yang lemah, lalu menyerupakan Allah dengan makhluknya dengan mengatakan: "Bila Allah mempunyai tangan berarti Allah berupa jasad renik yang membutuhkan satu sama lainnya". Hasilnya mereka menolak sifat ini dan menta'wil maknanya dengan mengatakan bahwa maksud tangan adalah ni'mat dan sebagainya. Maha suci Allah dari apa yang mereka katakan.
Sebagian ulama menafsirkan makna mutasyabihat bahwa ia adalah ayat yang mengandung beberapa makna dan tidak mungkin menentukan salah satu maknanya kecuali dengan merujuk ayat yang muhkam. Dan makna inipun benar dan tidak bertentangan dengan ayat di atas, karena hanya Allah yang mengetahui maknanya dan makna yang benar telah Allah jelaskan dalam ayat-ayat yang muhkam, oleh karena itu sikap yang benar terhadap ayat-ayat mutsyabihat adalah dengan mengembalikannya kepada ayat-ayat yang muhkam bila ada, dan bila tidak ada maka tetap mengimaninya tanpa bertanya tata caranya. Wallahu a'lam.
ibnu Qayyim rahimahullah berkata: “Adapun tata cara para shahabat, tabi’in dan para ulama hadits seperti Asy Syafi’I, Ahmad, Malik, Abu Hanifah, Abu Yusuf, Al bukhari dan lainnya adalah mereka mengembalikan dalil yang mutsyabih kepada dalil yang muhkam, dan mereka mengambil dalil yang muhkam untuk menjelaskan dalil yang mutasyabih, sehingga dalil yang mutasyabih tersebut sepakat dengan yang muhkam, dan nash pun saling berpadu; membenarkan satu sama lainnya, karena semuanya berasal dari Allah, dan yang berasal dari Allah tidak mungkin terjadi padanya kontradiksi.”
Contohnya adalah kata yad, dalam bahasa arab ia mempunyai beberapa makna yaitu tangan, ni'mat dan lainnya sehingga kaum Asy 'Ariyah menolat sifat tangan dengan alasan bahwa makna yad dalam bahasa arab mempunyai beberapa makna, padahal bila kita melihat redaksi ayat yang muhkam tampak dengan jelas bahwa yang dimaksud adalah tangan, Allah berfirman:
"Bahkan kedua tangan Allah terbuka, Dia berinfak sesuai dengan apa yang Dia kehendaki". (Al Maidah : 64).
Dalam ayat ini disebutkan kata yad dengan bentuk mutsanna (dua), sedangkan ni'mat Allah amatlah banyak tidak hanya dua, sebagaimana dalam ayat:
"Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, kamu tidak akan dapat menghitungnya". (Ibrahim : 34).

Kedua: Merubah-rubah manath.
Manath adalah illat yaitu sifat yang tampak dan tetap dalam sebuah hukum atau dengan kata lain alasan pensyari'atan, contohnya illat diharamkannya arak adalah memabukkan, illat diharamkannya zina adalah merusak keturunan dan seterusnya. Merubah-rubah manath adalah sifat pengikut hawa nafsu yang bertujuan membenarkan hawa nafsunya, dan cara ini amat mengelabui orang awam karena mereka akan menganggap benar apa yang dilakukan olehnya.
Seperti perkataan sebagian orang bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berpuasa hari senin illatnya adalah dalam rangka merayakan hari kelahirannya dengan bukti ketika beliau ditanya tentang puasa hari senin beliau menjawab bahwa itu adalah hari kelahiran beliau shallallahu 'alaihi wasallam.
Bila kita perhatikan sekilas tampak benar namun bila kita perhatikan secara cermat dan kita bandingkan dengan pelaksanaan perayaan maulid yang ada di zaman ini akan sangat jelas kebatilan pendapat ini karena Nabi shallallahu 'alaihi wasallam melakukannya dengan cara berpuasa sedangkan mereka melaksanakannya dengan ritual-ritual yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, ini bila kita menerima bahwa illatnya adalah merayakan kelahirannya.
Akan tetapi illat ini tidak benar karena dijelaskan dalam hadits lain bahwa hari senin dan kamis adalah hari ditampakkan amal-amal shalih kepada Allah Ta'ala sebagaimana sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam :
تُعْرَضُ الْأَعْمَالُ يَوْمَ الِاثْنَيْنِ وَالْخَمِيسِ فَأُحِبُّ أَنْ يُعْرَضَ عَمَلِي وَأَنَا صَائِمٌ
"Amal-amal ditampakkan pada hari senin dan kamis maka aku suka amalanku ditampakkan dalam keadaan aku berpuasa". (HR At Tirmidzi dan beliau berkata: "Hadits hasan gharib".)
Perbuatan merubah-rubah manath sering kali dilakukan kaum liberal di zaman ini untuk merusak citra islam seperti perkataan mereka bahwa tujuan memotong tangan pencuri adalah agar pelakunya tidak mencuri lagi, jadi bisa diganti dengan cara lain seperti di beri uang atau dipenjara dan lainnya. Padahal Nabi shallallahu 'alaihi wasallam tentulah orang yang paling mengetahui makna-makna ayat dan beliau memperaktekan ayat potong tangan dengan cara memotong tangan pencuri sampai pergelangan tangannya, dan ini adalah sanksi yang paling tepat agar mereka jera dan meninggalkan pencurian, karena kenyataan membuktikan bahwa pencuri yang sanksinya sebatas dipenjara tetap tidak jera dan kembali melakukannya, bagaimana jadinya bila diberi uang. Allahul musta'an.
Ketiga: Menafsirkan ayat-ayat dengan penafsiran yang tidak pernah difahami oleh salafusshalih.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah memuji tiga generasi pertama dalam sabdanya:
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
"Sebaik-baiknya manusia adalah generasiku kemudian setelahnya kemudian setelahnya". (HR Bukhari dan Muslim).
Terutama generasi para shahabat yang telah dipuji oleh Allah secara khusus dalam kitab-Nya, dan menjadikan mereka sebagai parameter hidayah:
"Jika mereka beriman kepada apa yang kamu beriman kepadanya, sungguh mereka telah mendapat petunjuk; dan jika mereka berpaling, sesungguhnya mereka akan senantiasa berada dalam perselisihan..". (Al Baqarah : 137).
Kata ganti "kamu" dalam ayat ini adalah untuk para shahabat, artinya bila mereka beriman seperti apa yang diimani oleh para shahabat maka mereka akan mendapat hidayah dan bila tidak maka mereka akan senantiasa berselisih, dan firman Allah adalah benar sesuai dengan kenyataan yang kita saksikan dimana setiap keyakinan yang menyimpang dari keyakinan dan pemahaman para shahabat senantiasa dalam perselisihan dan permusuhan, sebagian mereka menganggap sesat sebagian lainnya bahkan saling mengkafirkan.
Para imam kesesatan selalu berpaling dari pemahaman para shahabat karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya, ia akan menafsirkan ayat-ayat atau hadits sesuai dengan hawa nafsu dan pemahamannya yang dangkal, bukan hanya itu bahkan mereka menganggap bahwa generasi khalaf (belakangan) dianggap lebih faham tentang ayat-ayat Allah dari pada generasi salaf, dan menuduh bahwa salaf katanya terlalu terkstual dan tidak kontekstual sebagaimana yang dinyatakan oleh gembong JIL di negeri ini.
Secara akal saja tidak mungkin generasi yang paling fasih yang langsung menyaksikan turunnya Al Qur'an dan melihat bagaimana Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menafsirkannya akan lebih bodoh dari kaum liberalis yang dungu itu, mungkinkah Allah memuji para shahabat dan menyatakan keridlaan-Nya sebagaimana dalam surat At Taubah ayat 100 dan ternyata kaum liberalis lebih tertunjuki dari mereka ?!
Atau mungkinkah Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengabarkan bahwa sebaik-baik generasi adalah generasinya kemudian setelahnya kemudian setelahnya, dan ternyata kaum liberalis itu lebih baik dari tiga generasi yang utama ?! atau mungkinkah para ulama akan bersepakat di atas kesesatan tatkala mereka semua bersepakat bahwa para shahabat adalah sebaik-baiknya generasi dalam ilmu, pemahaman dan agama, padahal Nabi shallallahu 'alaihi wasallam menyatakan bahwa umatnya tidak mungkin bersepakat di atas kesesatan ?!!
Keempat: Berpegang kepada dalil-dalil yang lemah.
Dalil yang lemah hanya menghasilkan dzann yang marjuh (dugaan yang lemah) dan dugaan yang lemah tidak boleh dipakai dengan kesepakatan seluruh ulama, bagaimana kiranya bila dalil tersebut sangat lemah atau bahkan palsu, oleh karena itu seluruh ulama bersepakat mengharamkan berdalil dengannya dalam masalah aqidah, hukum maupun fadlilah amal.
Berdalil dengan dalil yang lemah biasa digunakan di masyarakat yang dikuasai oleh kebodohan terhadap ilmu hadits, dan para imam kesesatan akan berusaha menyembunyikan kelemahan dalil yang ia pakai dengan berbagai macam upaya, seperti mengklaim secara dusta bahwa hadits itu dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim atau salah satunya padahal tidak demikian, atau membawakan sebuah lafadz yang lemah namun ada lafadz lain yang shahih akan tetapi lafadz yang shahih tersebut tidak terdapat padanya sesuatu yang dapat mendukung ra'yunya, lalu ia gunakan lafadz yang lemah dan menempelkannya kepada lafadz hadits yang shahih.
Contohnya adalah berdalil dengan kisah hadits orang buta yang datang kepada Nabi shallallahu 'alaihi wasallam dan memohon agar di do'akan kesembuhan untuk matanya lalu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan do'a kepadanya:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ مُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ إِنِّي تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى لِيَ اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ
"Ya Allah, aku memohon dan menghadap kepada-Mu dengan melalui Nabi-Mu Muhammad seorang Nabi rahmat. Sesungguhnya aku menghadap denganmu kepada Rabbku untuk memenuhi kebutuhanku ini, ya Allah berilah syafaat untuknya padaku". (HR At Tirmidzi).
Hadits ini dijadikan dalil bolehnya bertawassul melalui Nabi shallallahu 'alaihi wasallam setelah wafat Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam, padahal hadits ini tidak menunjukkan kepada yang pemahaman tersebut karena hadits ini terjadi ketika Nabi shallallahu 'alaihi wasallam masih hidup dan dilakukan di hadapan beliau, maka ia pun berhujjah dengan sebuah lafadz dalam salah satu lafadz dari hadits tersebut yaitu tambahan: "Jika ada hajat, lakukanlah seperti itu lagi". Tambahan inilah yang diinginkan oleh orang yang membela bolehnya tawassul melalui Nabi setelah wafatnya karena lafadz ini menunjukkan bolehnya melakukan do'a tersebut kapan ada keperluan walaupun beliau telah tiada, padahal tambahan ini diriwayatkan oleh Hammad bin Salamah, sedangkan Syu'bah bin Hajjaj meriwayatkan dengan tanpa tambahan tersebut. Dan Syu'bah jauh lebih tsiqah dari Hammad bin Salamah sehingga tambahan tersebut dihukumi syadz oleh para ulama yaitu periwayatan perawi yang tsiqah yang berlawanan dengan periwayatan perawi lain yang lebih tsiqah dan syadz adalah salah satu macam hadits lemah.
Kelima: Memahami dalil dengan pemahaman yang dangkal untuk membenarkan sebuah perbuatan atau perkataan atau keyakinan.
Memahami dengan pemahaman yang dangkal terjadi terkadang disebabkan oleh kemalasan untuk mencari dalil lain yang menjelaskannya atau ketidak tahuan peraktek para shahabat terhadap dalil tersebut atau lemahnya pengetahuan dia terhadap kaidah-kaidah ushul. Dan terkadang akibat hawa nafsu yang menjadikan ia memahaminya secara membabi buta tanpa menelitinya lebih lanjut.
Contoh kasus ini amatlah banyak terutama di kalangan ahlul bid'ah yang berusaha mempertahankan bid'ahnya mati-matian, seperti orang yang membuat lafadz-lafadz shalawat tertentu berdalil dengan keumuman hadits mengenai keutamaan bershalawat, atau orang yang merayakan maulid berdalil dengan ayat yang menunjukkan perintah untuk bergembira dengan karunia dan nikmat Allah dan lain sebagainya, bila kita perhatikan secara teliti sebetulnya dalil tersebut tidak mendukung apa yang mereka inginkan. Wallahul musta'an.
Manath adalah illat yaitu sifat yang tampak dan tetap dalam sebuah hukum atau dengan kata lain alasan pennsyari'atan, contohnya illat diharamkannya arak adalah memabukkan, illat diharamkannya zina adalah merusak keturunan dan seterusnya.
Lihat ilmu ushul bida' hal 141.
Lihat taisir Al Karimirrahman hal 101.
I’lamul muwaqi’in hal 437 tahqiq Raid bin Shabri.

(Sumber: Ust. Abu Yahya Badrusalam)